"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Ke-17 Buku Itu
“Sejak aku pindah ke Padang, Miko hampir setiap malam datang ke rumahku. Jarak tempat tinggalku yang nggak jauh dari rumah Miko, membuatnya sering menghabiskan waktu di rumahku. Hubungan Miko yang dekat dengan keluargaku, membuatnya lebih leluasa berada di rumahku, dan Ayahku juga telah berencana menjodohkan aku dengan keponakannya itu.
“Malam itu Miko ada di rumahku. Aku sedang sibuk belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian sekolah yang sedang berlangsung. Nomermu yang belum bisa dihubungi, membuatku nggak begitu peduli dengan HP-ku. Miko diam-diam membuka HP-ku yang tertinggal di ruang tamu, dan menemukan semua pesan-pesan darimu yang tersimpan di HP-ku, dan dia melaporkannya pada Ayahku. Aku dimarahi waktu itu. Ayahku mengambil kartu HP-ku dan merusaknya. Aku membeli kartu baru dan mencoba menghubungimu kembali. Tapi, nomermu tetap nggak pernah aktif lagi.” Rani menjelaskan kejadian sembilan tahun lalu.
“Fan!” Rani memandangiku. Wajahnya yang penuh kesedihan, kembali berharap dengan sorot matanya. “Aku nggak ingin menikah dengan Miko. Bawa aku bersamamu!
Aku sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan Rani. Aku tidak menyangka dia akan berpikir senekat itu.
“Hidupku aja masih belum jelas entah kemana aku akan membawanya. Bagaimana aku bisa membawamu bersamaku Ran?” keluhku tak mengerti apa yang harus kulakukan.
“Aku ingin masuk ke dalam hidupmu yang belum jelas itu Fan. Aku nggak butuh kejelasan apapun dalam hidupmu. Yang aku butuh saat ini hanya kejelasan perasaan yang pernah kau sampaikan dulu! Walau semua isi hatimu hanya kamu tuliskan lewat pesan, tapi kata-kata itu masih kuingat sampai hari ini. Aku hanya inginkan rasa yang pernah kamu janjikan dulu! Masih adakah rasa itu di hatimu Fan?
Aku memandangi wajah Rani yang telah basah oleh air mata. Jilbabnya yang berwarna merah tak lagi serapi sebelumnya. Matanya yang indah memandangiku dengan haru, namun pandangan itu seakan jauh menyusup ke masa lalu. Menyusup ke masa di mana hubungan pertemananku dengannya penuh dengan kerinduan dan kata cinta.
Dari bola matanya, aku bisa melihat harapan indah yang sedang ia pikirkan. Wajah anggunnya menyiratkan keinginan besar yang ingin segera terwujud. Bibir kecilnya yang baru saja meminta, masih menunggu kepastian kata-kata yang pernah kutuliskan di sembilan tahun yang lalu.
Aku mengusap wajahku, mengalihkan pandangan dari gadis yang selama ini kurindukan. Ada kebahagian yang telah dekat di depan mata, namun juga ada jurang dalam di sekelilingnya. Kemana aku harus melangkah, sedangkan aku tak melihat satupun jalan yang terbentang di hadapanku.
“Pulanglah ke rumahmu. Saat ini, aku belum bisa mengambil keputusan apapun. Aku butuh waktu untuk berpikir,” ucapku pada Rani akhirnya, tanpa memberikan harapan apapun.
“Rasa yang dulu ada di hatimu hadir tanpa berpikir. Kamu bisa menyukaiku tanpa harus bertemu. Kenapa sekarang kamu nggak bisa mengambil keputusan untuk melanjutkan rasa itu tanpa harus berpikir?
“Keadaan sudah berbeda Ran! Aku nggak punya apapun saat ini. Dengan apa kita akan melanjutkan hidup?
“Dengan rasa dan keyakinan yang ada di hatimu Fan!” Rani membuka tasnya, mengambil sesuatu dari dalam tas itu. “Ini undangan pernikahanku yang akan berlangsung esok hari,” Rani meletakan undangan di pahaku.
Aku melihat undangan itu. Di sampul undangan tertulis nama Miko dan Rani. Undangan merah jambu yang terbungkus plastik bening, memperlihatkan dua merpati putih yang di rajut pita cinta.
“Kamu akan menikah besok Ran?
Rani mengangguk. “Aku nggak punya waktu lagi Fan. Hari ini hari terakhir aku bebas. Besok, hidupku akan berbeda. Mungkin kita nggak akan bisa bertemu lagi? Jika kamu masih ingin melihatku, bawa aku bersamamu.” ucap Rani kembali berharap.
Entah mengapa aku masih tidak bisa memutuskan apapun di saat itu. Cintaku yang teramat besar untuk Rani, berbanding terbalik dengan keberanian yang ada dalam diriku. Tak terpikir sedikitpun cara untuk membawanya pergi bersamaku. Yang ku ingat saat itu hanya pangkat di lengan baju Ayahnya.
“Kemana aku akan membawa Rani? Ayahnya seorang polisi. Tak akan sulit baginya untuk menemukan keberadaanku bersama Rani. Jika aku membawa Rani pergi, lalu Ayahnya menemukan keberadaanku, apa yang akan terjadi? Aku tak ingin lagi mempermalukan keluargaku untuk yang kedua kalinya,” begitulah pemikiran yang timbul di benakku saat itu.
“Kenapa kamu hanya diam Fan?” tanya Rani padaku yang hanya diam tertunduk menatap undangan hari pernikahannya.
“Tidak pernahkah kamu membayangkan seharusnya nama kita yang tertulis di undangan itu?
Rani meletakan tangan kirinya di atas undangan. Menutupi nama yang tertulis di kertas undangan itu. “Tidak bisakah kamu membantuku melepaskan cincin ini dari jariku?” sambungnya memperlihatkan cincin di jari manisnya. Cincin emas putih yang bertuliskan nama Miko di jari Rani, semakin meremukan perasaan ini, melebihi dua nama yang tertulis di kertas undangan pernikahan yang akan terjadi.
Ku tatap kembali wajah Rani. Wajah itu masih penuh harap seperti sebelumnya. Wajah itu sungguh-sungguh ingin pergi bersamaku. “Aku hanya,…” Aku kembali diam. Sebuah mobil berwarna merah berhenti di tepi jalan depan kos Andra. Laki-laki yang semalam bersama Rani keluar dari mobil itu. Laki-laki itu Miko, orang yang akan menikah dengan Rani.
“Dia sudah menemukanku,” bisik Rani melihat Miko yang turun dari mobil itu. Dia langsung berdiri dan menghapus bekas air mata yang ada di pipinya.
“Apa yang kau lakukan di sini!?” tanya Miko pada Rani sambil terus berjalan mendekati kami. Wajahnya tampak kusut dan penuh kekesalan.
“Aku sedang mencari alamat temanku. Masih ada satu orang lagi yang belum aku beri undangan,” terang Rani memberi alasan kepada Miko yang sudah ada di sampingnya.
Miko melihat ke arahku. Tatapannya penuh kecurigaan.
“Apa kau mengenal dia?” tanyanya kembali pada Rani.
Rani Menggeleng sambil memalingkan wajahnya.
“Lalu buat apa kau mencarinya?
“Aku nggak mencarinya,” Elak Rani lagi. “Kenapa kau bisa sampai di sini?” Rani balik bertanya.
“Temanmu yang memberitahuku! Dia bilang kau memintanya untuk mengantarmu ke warnet yang kita kunjungi semalam. Aku bertanya pada pemilik warnet, dia bilang kau mencari pria ini!” Miko menunjukku. “Kalau kau nggak kenal dia, buat apa kau mencarinya!?” Nada bicara Miko berubah keras. Ia tidak bodoh sehingga bisa begitu saja menerima penjelasan Rani.
Rani tak menjawab. Ada ketakutan yang tercermin dari matanya yang kembali tampak basah. Entah mengapa aku akhirnya hanya bisa diam tertunduk di saat itu, menatap undangan yang masih tergeletak di pahaku, tanpa sedikitpun berani menatap laki-laki yang ada di hadapanku. Aku tiba-tiba menjadi laki-laki pengecut yang tak bisa berbuat apa-apa.
“Kau kenal dia kan!?” Miko kembali ingin membuktikan kecurigaannya. “Kalau kau nggak kenali dia, buat apa kau memberikan undangan itu padanya?
“Ya! Awalnya aku merasa aku mengenal dia! Untuk itulah aku menjenguknya ke sini. Tapi setelah aku bertemu dengannya, ternyata aku salah! Dia bukan orang yang pernah aku kenal waktu dikampung dulu! Aku salah orang. Dia hanya mirip dengan temanku waktu SMA!” ujar Rani dengan keras, lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.
“Tunggu Ran!” Miko segera mengejarnya. “Kamu mau kemana lagi? Kita harus mencari gaun untuk pernikahan kita. Besok acara pernikahan kita akan berlangsung, tapi belum satupun gaun yang kau pilih sampai saat ini!” ungkap Miko memegang tangan Rani dan memaksanya memasuki mobil.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,