Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amnesia
Sore itu, langit Jakarta mulai memerah ketika bel rumah keluarga Prasetyo berbunyi nyaring. Dimas, yang baru saja pulang dari kantor, bergegas membuka pintu. Ia terkejut melihat sosok wanita paruh baya berdiri di hadapannya, membawa tas besar dan senyum hangat di wajahnya.
"Ibu?" ucap Dimas, sedikit gugup. Ia tidak menyangka akan kedatangan mertuanya hari ini. "Kami tidak tahu Ibu akan datang."
Ibu Adinda, atau yang biasa dipanggil Bu Siti, tersenyum lebar. "Ibu ingin memberi kejutan untuk Adinda. Bagaimana kabarnya? Sudah lama sekali Ibu tidak bertemu dengannya."
Dimas terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Sejak kecelakaan itu, istrinya telah berubah. Namun, mereka belum memberitahu keluarga besarnya tentang kondisi ini.
"Ah, dia... baik-baik saja," jawab Dimas akhirnya. "Silakan masuk, Bu. Adinda ada di dalam."
Mereka berdua melangkah ke ruang tamu. Di sana, Rani sedang duduk di sofa, asyik membaca sebuah novel. Mendengar langkah kaki mendekat, ia mengangkat wajahnya.
"Adinda, sayang!" seru Bu Siti, bergegas menghampiri Rani dengan tangan terbuka, siap memeluk.
Namun, alih-alih menyambut pelukan, Rani justru terlihat bingung dan sedikit mundur. Matanya menatap Bu Siti dengan sorot tak mengenal, seolah melihat orang asing.
"Ma-maaf," ucap Rani terbata-bata. "Anda siapa?"
Seketika, suasana ruang tamu berubah. Bu Siti terhenti, wajahnya berubah pucat. Senyum hangatnya lenyap, digantikan ekspresi kebingungan dan kekhawatiran.
"Adinda, ini Ibu. Kamu tidak mengenali Ibu?" tanya Bu Siti, suaranya bergetar.
Rani melirik ke arah Dimas, mencari bantuan. Dimas hanya bisa berdiri kaku, pikirannya berkecamuk. Ini moment yang tidak Ia prediksikan.
"Saya... saya minta maaf," jawab Rani lirih. "Saya tidak ingat...."
Suasana ruang tamu mendadak hening. Bu Siti menatap putrinya dengan tatapan tak percaya, sementara Dimas mulai merasa cemas dengan situasi ini.
"Dimas," panggil Bu Siti dengan suara bergetar. "Ada apa ini? Kenapa Adinda tidak mengenaliku? Dan kenapa dia ingin dipanggil Rani?"
Dimas menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu bahwa situasi ini tidak bisa lagi disembunyikan. Perilaku Adinda yang aneh selama ini, ketidakmampuannya mengingat banyak hal, dan sekarang ketidakmampuannya mengenali ibunya sendiri dan semua ini menunjukkan ada sesuatu yang aneh.
"Bu," Dimas akhirnya bersuara. "Ada yang perlu kita bicarakan. Ini... ini mungkin akan sulit dipercaya, tapi Adinda, sepertinya mengalami masalah dengan ingatannya."
Bu Siti terduduk di sofa, matanya masih terpaku pada Rani yang kini menunduk, menghindari tatapan. Dimas merasa berat hati, tapi ia tahu inilah saatnya mengungkapkan kebenaran tentang kondisi istrinya.
"Dua minggu yang lalu," Dimas mulai menjelaskan, "Adinda mengalami kecelakaan mobil. Awalnya kami pikir lukanya tidak serius, hanya luka ringan dan gegar otak ringan. Tapi setelah pulang dari rumah sakit, kami menyadari ada yang tidak beres."
Bu Siti mendengarkan dengan seksama, matanya berkaca-kaca. "Kenapa kalian tidak memberitahu Ibu?"
Dimas menghela nafas. "Kami... saya pikir kondisinya akan membaik dengan sendirinya. Dokter bilang kadang amnesia bisa bersifat sementara. Tapi ternyata..."
"Amnesia?" potong Bu Siti. "Jadi Adinda tidak ingat apa-apa?"
"Tidak sepenuhnya," jawab Dimas. "Dia ingat beberapa hal, tapi banyak yang hilang. Termasuk... termasuk tentang keluarganya."
Rani, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Maafkan saya," ucapnya pelan.
Bu Siti tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Kenapa anakku sendiri tidak bisa mengenaliku?"
Dimas mendekati mertuanya, mencoba menenangkan. "Bu, saya tahu ini mengejutkan. Tapi kita harus kuat, demi Adinda... maksud saya, Rani."
Sementara itu, Rani hanya bisa memandang dengan perasaan bersalah. Ia ingin menghibur wanita yang katanya adalah ibunya ini, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa asing baginya.
"Jadi," Bu Siti mencoba mengumpulkan kekuatannya, "selama ini kalian menghadapi ini sendirian? Tanpa memberitahu keluarga?"
Dimas mengangguk lemah. "Maafkan kami, Bu. Kami tidak bermaksud menyembunyikannya. Kami hanya... tidak ingin membuatmu khawatir."
Bu Siti menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya dengan situasi ini. "Lalu, apa kata dokter? Apakah ingatan Adinda bisa kembali?"
"Dokter bilang ada kemungkinan," jawab Dimas. "Tapi mereka tidak bisa memastikan kapan atau apakah akan kembali sepenuhnya. Yang bisa kita lakukan hanya mendukung dan membantunya mengingat perlahan-lahan."
Rani, yang merasa tidak nyaman dengan pembicaraan tentang dirinya, akhirnya berdiri. "Maaf, saya merasa sedikit pusing. Boleh saya ke kamar sebentar?"
Dimas mengangguk, sementara Bu Siti memandang putrinya dengan tatapan sedih. Rani berjalan ke arah kamar, meninggalkan Dimas dan Bu Siti di ruang tamu.
Setelah Rani menghilang di balik pintu kamar, Bu Siti kembali terisak. "Dimas, bagaimana bisa kita membantunya? Bagaimana caranya membuat putriku ingat lagi?"
Dimas duduk di samping mertuanya, mencoba memberikan dukungan. "Kita akan lalui ini bersama, Bu. Dokter bilang kita tidak boleh memaksa ingatannya. Kita harus sabar dan memberinya waktu."
Bu Siti mengangguk lemah. "Ibu akan tinggal di sini untuk sementara. Ibu ingin membantu Adinda... maksud Ibu, Rani, untuk mengingat kembali. Bolehkah?"
Dimas tersenyum kecil. "Tentu saja, Bu. Kami akan sangat terbantu dengan kehadiran Ibu di sini."
Sementara itu, di dalam kamar, Rani duduk di tepi tempat tidur, pikirannya berkecamuk. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mengingat wanita yang katanya adalah ibunya itu. Tapi di sisi lain, ia juga merasa frustasi karena semua orang mengharapkannya untuk menjadi seseorang yang ia sendiri tidak ingat.
Rani memandang ke arah cermin, melihat refleksi dirinya sendiri. 'Apa mereka akan mencurigaiku?'
'Harusnya aku mencari tahu lebih banyak soal dirimu, Adinda.' Batinnya.