Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Malam itu, suasana rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah perbincangan singkat dengan Dion tentang keluarganya dan segala barang - barang yang mereka ambil dari rumah, hatiku masih tersisa perih. Aku merasa diabaikan, tidak dianggap. Sementara itu, Dion tampak seolah-olah masalah ini tidak pernah ada. Aku duduk di ruang tamu, melihat ruang yang dulu terasa nyaman, kini mulai kosong perlahan.
"Dion, kita perlu bicara lagi," aku memulai percakapan, dengan hati-hati memilih kata.
Dion yang sedang asyik dengan ponselnya, mendesah panjang. "Kirana, aku lelah. Setiap kali pulang kerja, kamu selalu mengeluh tentang hal yang sama."
"Aku tidak mengeluh, Dion. Aku hanya—" Aku berusaha menahan emosi. "Aku hanya ingin kita, sebagai suami-istri, membuat keputusan bersama tentang rumah ini, tentang apa yang kita punya."
Dia menatapku sekilas dengan tatapan bosan. "Apa lagi? Ini tentang barang-barang yang ibu ambil lagi?"
Aku mengangguk, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang. "Iya, Dion. Rumah ini milik kita berdua. Tapi aku merasa kita tidak punya kendali atas apa yang terjadi di dalamnya. Ibumu sering datang, mengambil barang-barang, dan aku tidak pernah diajak bicara dulu."
Dion mendengus dan kembali menatap ponselnya. "Kirana, itu hanya barang. Apa sih pentingnya? Mereka keluargaku. Mereka membutuhkan sesuatu, jadi aku bantu. Itu wajar kan?"
"Wajar?" aku mulai tak bisa menahan amarahku. "Ini sudah terlalu sering, Dion. TV kita diambil, beras diambil, sepeda listrik juga hilang. Ini bukan cuma sekali-dua kali. Aku juga tinggal di sini. Apa aku tidak punya hak untuk mengatakan sesuatu?"
"Jangan lebay, Kirana," dia menegur dengan suara lebih keras dari biasanya. "Ibuku hanya meminjam, bukan mencuri. Mereka keluargaku. Apa kamu tidak bisa sedikit pengertian?"
Aku terdiam sejenak, berusaha mengatur napasku. "Tapi, Dion... Aku ini istrimu. Kenapa kau selalu membela ibumu setiap kali aku mencoba bicara soal ini?"
"Kirana," Dion memotong, suaranya penuh kesal. "Kamu harus ingat, ibuku membesarkanku. Dia sudah banyak berkorban. Kalau dia ingin sesuatu, wajar kalau aku memenuhinya."
"Tapi ini rumah kita! Ini kehidupan kita! Aku merasa tidak dihargai, Dion. Bagaimana kamu bisa berpikir itu wajar?"
Dia mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Kirana, kamu selalu berpikir pendek. Kamu merasa terancam karena ibu datang dan meminjam barang-barang? Itu tidak masuk akal."
Aku menatapnya, berusaha mencari kilasan empati di matanya, tapi hanya ada kekosongan. "Dion, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin kita bisa hidup sebagai pasangan yang punya batas dengan keluarga masing-masing. Aku ingin ruang di mana kita bisa membuat keputusan tanpa selalu diintervensi."
Dia menatapku dengan mata tajam, lalu berkata, "Kamu tidak mengerti, Kirana. Kamu selalu membuat hal kecil jadi besar. Aku bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan kita, sementara kamu hanya tinggal di rumah. Ibu hanya minta bantuan sedikit, kenapa kamu selalu mempermasalahkan hal ini?"
Mataku membulat karena terkejut. "Apa maksudmu dengan 'hanya tinggal di rumah'? Aku mengurus rumah ini, Dion. Aku yang menjaga agar semua berjalan lancar. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus menghadapi keluargamu setiap hari yang terus datang dan mengambil barang-barang tanpa izin."
"Dan kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus terus-menerus mendengar keluhanmu setiap hari," balas Dion dengan tegas.
Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti berbicara ke dinding. "Dion, aku hanya ingin rumah ini menjadi tempat yang nyaman untuk kita berdua, bukan tempat di mana keluargamu bisa datang dan pergi sesuka hati."
Dia menatapku lama, seolah sedang mencoba memutuskan apakah akan merespon atau tidak. Akhirnya, dengan nada dingin, dia berkata, "Kalau kamu tidak bisa mengerti, mungkin kamu yang harus introspeksi. Ini keluargaku, Kirana. Ibu akan selalu jadi prioritas. Dan jika kamu merasa tidak nyaman dengan itu, aku tidak tahu harus berkata apa."
Jantungku terasa seperti dicengkeram. Kata-katanya menghujamku lebih dalam daripada yang pernah kubayangkan. "Prioritas?" tanyaku, suaraku bergetar. "Jadi aku tidak pernah jadi prioritasmu?"
Dion mengangkat bahu, tampak acuh tak acuh. "Aku tidak bilang begitu. Tapi ibuku... dia membesarkan aku. Kamu tidak bisa berharap aku mengabaikannya begitu saja hanya karena kamu merasa tidak nyaman."
Aku merasakan panas di pipiku. "Ini bukan soal mengabaikan, Dion. Ini soal menghormati batasan. Batasan antara keluarga kita dengan keluarga besarmu. Kita harus bisa berdiri sendiri tanpa selalu bergantung pada mereka."
Dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri."
Aku terdiam sejenak, merasa seperti ditampar oleh kata-katanya. Apakah aku benar-benar egois? Apakah aku terlalu menuntut? Tapi di dalam hatiku, aku tahu yang kuminta hanyalah sedikit ruang untuk diriku sendiri, sedikit penghargaan sebagai istri.
"Kalau begitu, Dion, suaraku melembut, tapi penuh tekad, apa artinya pernikahan ini kalau aku harus selalu hidup di bawah bayang-bayang keluargamu?"
Dion bangkit dari kursinya, menghela napas panjang. "Aku lelah mendengar ini, Kirana. Setiap hari kamu mengeluh. Aku bekerja keras, aku memberikan semuanya untukmu, tapi kamu masih saja merasa tidak cukup."
"Ini bukan tentang materi, Dion. Ini tentang bagaimana aku merasa tidak dihargai di rumah ini. Tentang bagaimana aku merasa kau selalu lebih memilih ibumu daripada aku."
Dia menatapku dengan mata yang tajam, lalu berkata dengan nada rendah tapi penuh tekanan, "Kalau kamu tidak bisa menerima itu, mungkin kamu harus berpikir ulang tentang pernikahan kita."
Kata-katanya menggema di kepalaku. Aku tidak percaya dia benar-benar mengatakannya. Hanya karena aku ingin dihargai dan diberi ruang sebagai istri, dia malah mengancam pernikahan kami.
"Jadi, kamu akan memilih ibumu daripada aku?" tanyaku lirih.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata dengan dingin, "Aku tidak bilang begitu. Tapi kalau kamu terus-menerus membuat masalah ini jadi besar, mungkin kita memang perlu mempertimbangkannya."
Hatiku terasa remuk. "Dion, aku mencintaimu. Aku hanya ingin kita punya kehidupan yang normal, tanpa selalu diintervensi oleh keluargamu."
Dia tidak menjawab. Hanya berbalik dan berjalan pergi ke kamarnya, meninggalkanku sendirian di ruang tamu yang semakin sunyi.
Aku duduk di sana, menatap ruang kosong di sekelilingku. Perasaan kecewa dan kesepian semakin menggerogoti diriku. Di satu sisi, aku mencintai Dion, suamiku, dan aku ingin pernikahan kami berhasil. Tapi di sisi lain, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup dalam bayang-bayang keluarganya?
Aku menyeka air mata yang mulai mengalir di pipiku. Mungkin inilah saatnya aku benar-benar mulai memikirkan diriku sendiri, bukan hanya pernikahan yang terasa semakin jauh dari harapan.
Dan di saat itulah, aku tahu. Sesuatu harus berubah. Tapi pertanyaannya, apakah Dion siap untuk perubahan itu? Atau aku yang harus memilih jalan lain?