My Arogant Boss

Di dalam mobil milih Kevin, suasana terasa canggung. Apalagi setelah kejadian tadi siang dimana Kevin mencium bibir Safira.

Wanita itu menutup rapat bibirnya. Sementara Kevin, senyum-senyum tidak jelas.

"Baru menang tender?" Bagas yang heran dengan tingkat Kevin akhirnya berani buka suara. "Berapa M? Atau bukan tender? Melainkan bibir ranum seorang gadis?"

ucapnya lagi sontak membuat Kevin tersedak air liurnya sendiri.

"Jangan sok tahu."

"Haha," tawa Bagas pecah karena sudah berhasil membuat pipi Kevin memerah.

"Berisik! Mau dipecat?"

Bagas terdiam.

Jika sedang bersikap seperti ini, Kevin sangat mirip dengan Sean, sahabatnya. Yang dulu selalu seenak jidat memerintah ini itu padanya.

"Mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Bagas melirik Safira dari kaca spion yang ada di atasnya.

"Pulang," jawab Kevin.

"Anda bisa menurunkan saya di halte bus depan depan sana?" sahut Safira. Ia terlihat gelisah sembari melihat jam tangannya.

"Nggak." bukan Bagas yang menjawab melainkan Kevin.

Ia masih penasaran siapa seseorang yang akan Safira temui. Tapi, Kevin tidak mungkin menanyakannya langsung pada wanita itu.

Gengsinya terlalu besar.

"Saya ada janji. Dan tidak bisa membatalkannya begitu saja. Jadi tolong turunkan saya--"

"Siapa?"

Safira mengernyit. "Maksud anda?"

"Dengan siapa kamu pergi? Bagas siap mengantarmu kemana saja."

"Tidak perlu," tolak Safira. "Dan dengan siapa saja pergi, itu bukan urusan anda, Pak. Ada hal privasi yang tidak harus saja jelaskan, bukan?"

Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Safira, hati Kevin memanas. Darahnya seakan mendidih.

Apa sesulit itu mengatakan dia pergi dengan siapa?

"Pulanglah bersamaku."

"Saya tetap tidak bisa. Urusan saya benar-benar penting dari apapun." memang benar, pertemuan kali ini dengan seseorang sangatlah penting. Menentukan akan seperti apa masa depan Safira nanti.

"Kamu pikir aku peduli? Ingat Fira, kamu masih terikat kontrak denganku."

Safira menghempaskan kasar punggungnya. Muak karena lagi-lagi Kevin mengancamnya dengan ancaman yang sama.

"Kalau begitu, saya akan melunasi hutang-hutang itu secepat mungkin. Supaya saya segera terlepas dari anda."

Kevin tersenyum kecut. Begitu muak kah Safira berada disampingnya? Sampai-sampai wanita itu ingin segera terlepas darinya?

"Aku kurang apa?"

"Tidak ada. Saya rasa sudah cukup saya menjadi asisten anda selama ini. Saya butuh kebebasan," ucap Safira menatap datar Kevin. Bibirnya sampai bergetar saat mengatakan itu.

"Dan sekarang waktunya saya untuk mph!" kedua bola mata Safira membulat sempurna saat Kevin membungkamnya dengan ciuman kasar.

Lalu menggigitnya hingga berdarah.

Melihat itu, Bagas menambah kecepatan mobilnya sebelum terjadi sesuatu pada Safira.

"Dasar bocah arogan. Bukan seperti itu caranya mendapatkan hati seorang wanita, bodoh!" umpat Bagas dalam hati.

****

"Astaga, Kevin! Apa yang terjadi, hah?!" saking terkejutnya melihat keadaan Safira, Violet bergegas menghampiri wanita itu.

"Ini kenapa bisa bengkak gini? Kamu jatuh atau gimana? Katakan." Violet benar-benar sangat khawatir.

Kemarin bibir Kevin yang bengkak dan sekarang bibir asisten putranya. Apa mereka baru main gigit-gigitan?

"Saya baik-baik saja, Nyonya."

"No! Nggak ada yang baik-baik aja." Violet memapah Safira duduk di sofa ruang keluarga. Ia beralih menatap Kevin yang sejak tadi diam saja. "Bisu? Nggak dengar tadi Mama tanya apa?"

Hening. Kevin masih tak menghiraukan pertanyaan Violet.

"Mau Mama panggilkan papa kamu supaya dia—"

"Fira buat aku kesal, Ma." akhirnya Kevin membuka suara.

Jika ayahnya sudah turun tangan, bisa-bisa wajahnya hancur karena dihajar habis-habisan oleh pria itu.

"Buat kesal kenapa? Mama lihat Safira bukan gadis seperti itu." Violet mengusap lengan Safira, menahan wanita itu untuk tidak ikut bicara. "Kamu pukul dia? Jahat kamu. Mama nggak pernah ngajarin kamu kasar sama perempuan."

"Bukan dipukul, Ma. Lebih tepatnya aku gigit." Kevin menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.

"What?"

"Safira ingin mengundurkan diri sebagai asisten pribadiku," ucap Kevin tak rela membayangkan hidupnya tanpa seorang Safira.

Selama ini, Safira bukan hanya seorang asisten baginya. Safira sudah seperti pasangan hidup yang sempurna. Penyayang, sabar dan juga pintar dalam segala hal.

Meski, Kevin masih belum berani mengungkapkan perasaannya pada wanita itu.

Bukankah seharusnya Safira tahu apa yang Kevin rasakan untuknya tanpa Kevin harus mengatakannya?

"Saya rasa empat tahun sudah cukup berada di samping pak Kevin. Memberikan tenaga dan juga pikiran saya untuk perusahaan. Saya ingin fokus mengurus ibu saya."

"Aku bilang tidak ya tidak! Kamu milik aku dan akan tetap seperti itu, titik!" tegas Kevin tak mau dibantah sembari menatap Safira dengan tatapan tajam.

"Milik siapa kamu bilang?" sahut Tristan yang sudah berdiri di belakang Kevin dengan menahan amarah.

Kevin meneguk ludahnya kasar. Ternyata membawa Safira ke mansion utama adalah keputusan yang amat sangat salah.

"Mampus! Kali ini tamatlah riwayatku," batin Kevin.