Ibrahim, ketua geng motor, jatuh cinta pada pandangan pertama pada Ayleen, barista cantik yang telah menolongnya.
Tak peduli meski gadis itu menjauh, dia terus mendekatinya tanpa kenal menyerah, bahkan langsung berani mengajaknya menikah.
"Kenapa kamu ingin nikah muda?" tanya Ayleen.
"Karena aku ingin punya keluarga. Ingin ada yang menanyakan kabarku dan menungguku pulang setiap hari." Jawaban Ibra membuat hati Ayleen terenyuh. Semenyedihkan itukah hidup pemuda itu. Sampai dia merasa benar-benar sendiri didunia ini.
Hubungan mereka ditentang oleh keluarga Ayleen karena Ibra dianggap berandalan tanpa masa depan.
Akankah Ibra terus berjuang mendapatkan restu keluarga Ayleen, ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Sesampainya dirumah, Ayleen masih kepikiran tentang Ibra. Luka dibetisnya tampak sangat serius, bagaimana jika pria itu kehabisan darah lalu meninggal? Ayleen dibuat gundah gulana, tak bisa tidur hingga pukul 3 dini hari. Besok memang libur kuliah, tapi dini hari belum tidur, jelas bukan sesuatu yang bagus.
Ayleen memikirkan luka dikaki Ibra yang tampak janggal. Pria itu tak seperti habis kecelakaan. Tak ada luka lain selain dibetisnya, membuatnya bertanya-tanya, luka karena apakah itu? Ah..sudahlah, makin pusing kalau mikirin luka itu. Lebih baik segera tidur agar besok pagi dia bisa segera kekafe sebelum teman-temannya datang.
Jam 7 pagi, Ayleen sudah siap dan berlari menuruni tangga rumahnya.
"Pagi Mah," sapa Ayleen sambil mencium pipi mamanya. Wanita paruh baya yang sedang memasak itu balas mencium pipi dan kening putri kesayangannya.
"Tumben hari minggu udah rapi jam segini?" tanya Mama Nara.
"Em...." Ayleen tak mungkin menceritakan tentang Ibra. "Leen mau ke kafe Mah."
"Hah, bukannya kafe buka jam 9 kalau minggu?" Biasanya kalau buka jam 9, Ayleen bahkan baru berangkat jam 10. Dengan alasan, males bantu yang lain siap-siap, mau jadi saja, langsung standby didepan coffee maker.
Ayleen tersenyum simpul sambil garuk-garuk kepala. "Catatan penting Leen ketinggalan di kafe. Takut ada yang baca, jadi aku mau datang lebih awal sebelum ada yang datang."
"Ish, dasar teledor." Mama Nara menarik hidung mancung Ayleen karena gemas.
"Pagi." Ayleen dan Mama Nara menoleh mendengar suara Ayah Septian. Pria itu baru memasuki dapur setelah tadi olahraga bersama Aidin dan Alfath di halaman belakang. Keringat tampak masih membasahi kening dan lehernya.
"Pagi juga Ayahku tersayang," sahut Ayleen sambil menghampiri, lalu memeluk ayahnya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Ayleen sangat dekat dengan ayahnya.
"Mau kemana, udah cantik aja?"
Astaga, Ayleen hampir lupa kalau dia harus buru-buru ke kafe. "Leen harus segera ke kafe. Leen pergi dulu." Dia mencium tangan ayahnya lalu mamanya. Mengambil satu plastik roti tawar dan setoples kecil nutela lalu memasukkan kedalam tasnya.
"Kok diambil semua?" tanya Mama Nara.
"Jaga-jaga kalau ada yang minta Mah," sahut Ayleen sambil bergegas meninggalkan dapur.
Dengan motor matic kesayangannya, Ayleen bergegas menuju Mezra kafe. Sedikit ngebut karena cemas memikirkan kondisi Ibra.
Sesampainya didepan kafe, setelah memarkir motor, buru-buru dia membuka kafe dan berlari ketempat semalam Ibra duduk. Pria itu masih disana, tergeletak dilantai dengan posisi meringkuk.
"Apakah dia mati?" Dengan langkah ragu-ragu, Ayleen mendekati tubuh Ibra, bersimpuh didekatnya. Menyentuh lengannya lalu mengguncang perlahan.
"Kak, Kak Ibra," panggilnya sengan suara bergetar. "Kak," teriaknya sambil mengguncang kuat lengan Ibra. "Kak, aku mohon jangan meninggal dulu. Kak...." Ayleen hampir saja menangis. Dia terus mengguncang bahu Ibra dengan kuat.
"Aku belum mati."
Deg
Ayleen yang terkejut langsung terlonjak kebelakang sambil memegangi dadanya.
Ibra membuka mata sambil terkekeh pelan. "Aku belum mati, jadi jangan kamu tangisi dulu. Sayang air matamu."
Ayleen menghela nafas lega sambil. Hampir saja jantungnya copot saking kagetnya.
Pelan-pelan, Ibra mencoba untuk bangun. Memegangi paha sambil meringis menahan nyeri dibetis.
Ayleen teringat roti yang tadi dia bawa dari rumah. Mengeluarkan roti itu dari dalam tas beserta setoples kecil nutela.
"Kau membawakannya untukku?" Ibra mengernyit heran. Bukankah mereka tak saling kenal, tapi kenapa gadis didepannya itu begitu baik padanya.
Melihat gadis dihadapannya mengangguk, Ibra seketika tersenyum. "Apa kau itu malaikat?"
Ayleen yang sedang membuka tutup nutela langsung terbahak. "Kamu bilang tadi belum mati, mana mungkin sudah bertemu malaikat?"
"Cantik, baik, apa coba kalau bukan malaikat?"
"Ganteng, pinter gombal, apa namanya kalau bukan play boy." Ibra tertawa ngakak mendengar Ayleen membalik kalimatnya.
Ayleen beranjak untuk mengambil pisau di pantry. Disana, dia langsung menepuk jidat. Bisa-bisanya dia repot membawa roti dari rumah saat di pantry ada cake dan dessert box. Selain itu juga ada berbagai macam selai dan toping lain di pantry. Kadang gelisah membuat orang jadi lupa segalanya.
Ayleen kembali dengan pisau buah buah dan sekotak brownis lumer.
"Mau ini?" Dia menyodorkan sekotak brownis lumer pada Ibra.
"Terimakasih," Ibra menerimanya dan langsung mencoba dessert yang terlihat enak tersebut. Ayleen sendiri, dia lebih memilih memakan roti yang dia oles dengan nutela. "Enak sekali, apa kau yang membuatnya?"
Ayleen menggeleng, "Aku barista, bukan chef."
"Barista, wow!" Ibra tampak berdecak kagum. Dibalik gadis yang berwajah lembut, begitupun dengan tutup bicaranya, ternyata dia adalah seorang barista. Padahal menurut dia, gadis didepannya itu lebih cocok bekerja didapur membuat kue.
Ayleen menatap Ibra yang memakan brownis lumer pemberiannya dengan sangat lahap. Tak sampai 5 menit, sekotak kecil brownis sudah tandas tak tersisa.
"Apa aku harus membayar untuk ini?" Ibra menunjukkan kotak brownis yang sudah kosong.
"Gratis untuk hari ini, tapi selanjutnya, kau harus bayar."
Ibra mengangguk cepat. "Aku akan datang lagi kesini nanti. Oh iya, kemarin kau pulang paling akhir, dan hari ini, datang paling awal. Apa kau yang bertugas membawa kunci?"
Ayleen tersenyum, "Kafe ini ini milik ayahku."
"Jadi kau owner disini?"
"Bukan, Ayahku ownernya, aku hanya numpang bekerja sambil belajar." Sahut Ayleen sambil mengunyah rotinya. "Kau masih lapar? Mau roti?"
"Boleh," sahutnya sambil mengangguk.
Setelah Ibra menghabiskan hampir setengah bungkus roti, Ayleen menawarkan mengantarnya kerumah sakit. Dia tak mau teman-temannya tahu jika semalam, dia menyembunyikan seorang pria disini. Tapi Ibra menolak, dia malah meminta diantar kesebuah alamat.
Ibra terkekeh saat menaiki motor matic Ayleen. Karena apa, karena dia duduk dibelakang alias dibonceng. Sepertinya sepanjang jalan dia harus menunduk agar tidak malu. Cowok sekeren dia, ketua geng motor, dibonceng cewek? Semoga saja sepanjang jalan nanti, tak ada yang mengatainya banci.
Motor yang dikendarai Ayleen berhenti didepan rumah yang tampak ramai. Banyak sekali motor besar terparkir dihalamannya yang luas. Tampak beberapa pria sedang asyik, memainkan gas motor, ada juga yang sedang sibuk mengotak atik motor.
"Ayo masuk, ini basecamp anak Joker." Mata Ayleen seketika melotot dan mulutnya menganga. Joker, nama geng motor itu cukup familiar baginya, karena teman-temannya sering membicarakan. Tapi bahasan paling utama, tentu tentang ketua geng joker yang terkenal tampan, siapa lagi kalau bukan Ibrahim alias Ibra. Tapi bukan itu yang ada dikepala Ayleen saat ini. Masuk kedalam sarang geng motor yang dia yakin didominasi para pria, mungkinkah aman baginya?
"Gak usah takut, ada aku. Lagian gak ada yang bakal ngapa-ngapain kamu."
"A-aku pulang saja," tolak Ayleen.
"Ibra!" Teriak Fikri, teman Ibra yang kebetulan melihat kearah mereka. Dia dan dua orang temannya langsung menghampiri Ibra dan Ayleen.
"Lo gak papa Bra?" tanya Fikri sambil memperhatikan Ibra dari atas kebawah. "Kita cemas banget saat lo tiba-tiba ngilang semalam."
"Motor gue gimana?" tanya Ibra.
"Aman, ada didalam."
"Eh, siapa dia?" tanya Reza sambil menatap Ayleen.
"Dia malaikat yang nolong gue," sahut Ibra sambil menoleh kearah Ayleen. Sedangkan Ayleen, dia hanya bisa tersenyum simpul. Malaikat, rasanya itu terlalu berlebihan.
"Aku pulang dulu," pamit Ayleen.
"Ngapain buru-buru pulang, masuk dulu ngapa? Didalam juga ada cewek loh," ujar Reza sambil menaikkan sebelah alisnya.
Ayleen menggeleng cepat, "Gak usah." Segera dia memakai helm lalu buru-buru naik keatas motor. Dikepalanya, geng motor sudah pasti kumpulan cowok-cowok gak bener. Gimana kalau didalam, dia malah diperkosa. Ayleen bergidik ngeri lalu tancap gas.