Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Suasana makan malam terasa canggung sekali, sesekali Ibra melirik Lintang yang menunduk malu. Gadis mungil yang dulu selalu di kuncir dua rambutnya, sekarang tampak semakin menawan. Rambut hitamnya kini hanya sebatas bahu, dengan poni yang sebagian menutupi mata. Diam-diam Ibra memuji dalam hati, gadis kecil yang dulu tampak ringkih dan manja menjelma menjadi cantik. Meja makan tampak penuh dengan berbagai hidangan, sampai-sampai bingung menentukan pilihan. Berjejer memanggil untuk di cicipi.
"Waduh, makan besar kita kali ini" Tante Rosa tampak berbinar, melihat menu kesukaannya. "Ada rendang, ayam rica juga tak ketinggalan lalapan dan sambal ijo yang mengundang selera."
"Hmm, serasa di rumah makan Padang ya, Tan" sambung Lintang setuju.
"Ah masakan sederhana saja, yang bisa aku suguhkan" Halimah merendah, mendengar pujian dari tamunya.
"Bunda Halimah ini, memang masih keturunan Minang" terang Tante Rosa, menatap Lintang lekat. "Makanya, ia jago bikin makanan juara" sekali lagi, ia melemparkan pujian buat tuan rumah.
"Bisa aja kamu,Ros. Bercandanya jangan berlebihan, bisa terbang hidung aku" Halimah, tersenyum lembut. "Ayok, di nikmati sajiannya. Kalo memuji terus, kapan kita makannya?"
Mereka makan dalam suasana santai dan penuh dengan kekeluargaan, saling berbagi cerita baik suka maupun duka. Apalagi Tante Rosa begitu antusias mendengar Ibra putra Halimah satu-satunya, ternyata lulusan universitas negeri terkenal tanah air. Sebagai seorang sarjana pertanian, yang kini kembali ke tempat kelahiran untuk mengabdikan ilmunya. Serta amanah sang Abi, agar menjaga Bunda dan panti asuhan yang di tinggalkannya.
"Hebat kamu Ibra, jaman sekarang anak muda kebanyakan pengen kerja di kota" Mata Tante Rosa,menelisik wajah tampan Ibra. "Udah ganteng, cerdas lagi. Kamu calon menantu potensial, idaman Ibu mertua."
"Ah Tante, bisa aja" ucap Ibra malu. "Mana ada yang mau, sama jejaka tanpa kepribadian, Tan?"
"Maksud kamu apa?" ke dua alis mata Tante Rosa, bertautan.
"Iya, gadis-gadis sekarang maunya yang sudah punya rumah dan mobil pribadi, serta berpenampilan high class."
"Itu cuma perasaan kamu aja, masih ada perempuan baik yang gak mengukur seseorang dari hartanya. Kamu terlalu merendah, andai Tante punya anak gadis sudah pasti diangkat jadi menantu" seloroh Tante Rosa, sambil menyudahi makannya.
"Kenapa berhenti, Ros?" tanya Halimah bingung. "Katanya makanannya enak, tapi malah sedikit makannya."
"Aku lagi diet, Imah. Bisa-bisa diet ku gagal, dan badan tambah melar..."
"Jangan nahan-nahan lapar, kalo sakit malah berabe. Badan kamu udah bagus, semok malah kata anak-anak jaman now" Halimah, memotong ucapan Tante Rosa. "Yang penting suami setia dan nerima kamu apa adanya, bukan ada apanya."
"Jangan takut suami ku udah aku servis luar dalam, sebelum berangkat ke tanah air"ucap Tante Rosa. "Kalo macem-macem, para jagoan ku bakalan membela ibunya."
"Hihihi!" Lintang terkikik geli, mendengar perdebatan ke duanya. "Tante sama Bunda lucu deh, yang satu pengen diet yang satu lagi malah maksa suruh makan. Padahal emang bener apa kata bunda, Tante tuh bodygoals abis."
"Tuh denger, apa ku bilang?" Halimah merasa di atas angin, Lintang ternyata juga setuju dengan pendapatnya.
"Saya permisi dulu, Tan" suara Ibra menarik kursi makan terdengar, menghentikan perdebatan mereka.Kemudian bangkit berdiri, setelah berpamitan. Ia hanya melirik sekilas pada Lintang, dan menggangguk kaku.
****
Setelah makan malam, Lintang lebih suka menonton televisi di ruang tengah. Sementara ke dua wanita bersahabat itu, melanjutkan obrolannya di teras depan rumah. Alasan mereka masih ingin bernostalgia, selama bertahun-tahun tidak bersua.
Sambil menahan kantuk, Lintang menonton sinetron cinta, yang di tayangkan sebuah stasiun televisi swasta. Matanya lama-lama tertutup, remote TV yang ada di pangkuannya terjatuh di atas karpet. Karena posisi Lintang yang duduk di lantai beralaskan karpet, serta bersandar pada kursi.Dari arah lantai atas, Ibra yang sudah selesai memeriksa laporan keuangan di kamarnya, tampak mahfum dengan pemandangan di depannya. ' Kasihan sekali, pasti kamu capek manis ' bisik hatinya iba.
Berjalan dengan hati-hati agar tidak membangunkan Lintang, Ibra meraih remote yang tergeletak di sisi sang gadis. Kemudian menekan tombol off, dan seketika ruangan menjadi hening. Tetapi karena tidak ada suara, maka Lintang membuka matanya seketika. Ia tampak kaget dan salah tingkah, ketika mata elang Ibra menatap lekat wajahnya. Sambil tersipu malu, Lintang segera bangkit hendak menuju kamar.
"Tunggu sebentar!" pekik Ibra, menahan langkah Lintang. "Gimana, kalo kita ngobrol dulu?" tanyanya, dengan harap-harap cemas. Takutnya Lintang menolak keinginannya, untuk bertukar pengalaman ketika mereka terpisah jauh.
"Boleh kak. Aku juga pengen tau, kesibukan kak Ibra setelah lulus kuliah" bisik Lintang pelan. Ia kembali duduk di posisi semula, sambil memeluk bantalan sofa.
Pemuda tampan itu mengikuti Lintang, yang duduk berselonjor.
"Apakah kamu sudah menikah, Lintang?" tanya Ibra,memulai percakapan.
"Kak Ibra, tau darimana?" Lintang malah membalikkan pertanyaan.
"Ada cincin belah rotan, di jari manis kamu" ucap Ibra, sambil melirik tangan kanan Lintang yang ada di pangkuannya. Dimana, tersemat cincin pernikahan di sana.
Lintang memegang cincin pemberian Nyonya Rahayu, sebagai mas kawin dari Dewa. Ia mengelus benda peninggalan ibu angkatnya sayang, lalu menutupinya dengan tangan sebelah kiri. "Iya, aku sudah menikah" akui Lintang pada Ibra ,yang terlihat penasaran.
"Sayang sekali, padahal aku berniat melamar kamu sebagai istri."
"Mungkin, kita gak berjodoh? Tapi siapa yang tau, esok atau lusa takdir memihak pada kita."
"Apa maksud dari perkataan mu tadi, Lintang?"
"Kami menikah, karena perjodohan. Kak Dewa terpaksa menikahi ku, agar mendapatkan warisan..."
"Picik sekali pemikiran Dewa, hanya karena harta ia memaksakan kehendaknya. Tetapi, apakah kamu mencintai suami mu?"
"Aku gak punya pilihan kak, hidup ku bahagia karena di tolong ibunya Dewa. Lalu masih pantaskah aku menolak niat baik, beliau?"
"Tapi bukan berarti kamu pasrah, mengikat diri pada pernikahan tanpa cinta. Ibarat menggenggam duri dalam tangan, sakitnya tak terperi."
"Assalamualaikum" terdengar salam, menengahi obrolan mereka.
"Waalaikumsalam" jawab ke duanya serempak.
Terlihat gadis manis memakai jilbab pashmina, tersenyum malu-malu memasuki ruang tengah tempat mereka bercengkrama.
"Sinta, kanalkan teman masa kecil kakak. Namanya Lintang Pertiwi, ia baru datang dari Jakarta tadi sore."
Ke dua gadis cantik itu, saling mengenalkan diri. "Saya Sinta, kak."
"Panggil aku Lintang, tanpa embel-embel kak. Sepertinya kita seumuran, lebih akrab kedegarannya."
"Ada apa Sinta?" tanya Ibra. "Malam-malam begini,kamu datang ke sini" sambungnya lagi.
"Aku kan di suruh kakak, memberi rekapan data untuk besok" jawab Sinta,sembari menyerahkan map berisi berkas yang di pinta Ibra.
"Astaghfirullah! Hampir lupa,untung kamu ingat. Makasih Sinta, besok jam 10. 00 WIB dampingi kakak bertemu investor."
"Baik, kak. Saya ke dapur dulu, bunda minta di buatkan minuman hangat" pamit Santi. "Sekalian bikinin buat Lintang, coklat espresso dan kopi hitam buat saya."
"Kamu masih ingat, minuman kesukaan ku."
"Hmm!"
"Kok hmm, sih. Lagi sariawan, ya" goda Lintang jahil. "Sinta cantik, ya. Kelihatannya, ia tertarik dengan kak Ibra."
"Oo ya, bagaimana kamu bisa tau?"
"Pipi Sinta bersemu merah, waktu kak Ibra menatapnya."
"Sok tau!"
"Taulah!"
"Kamu cemburu,sama Sinta."
"Enggak tuh."
"Masa sih?"
"Iya lah."
"Hahaha!" ke duanya tertawa berderai, melupakan Sinta yang datang dengan membawa nampan berisi minuman. Lalu menyuguhkan bawaannya, tanpa mereka menyadari kehadirannya. Ada yang berdenyut nyeri di sudut hatinya, Ibra pria yang diam-diam ia suka ternyata bisa juga bercanda dan tertawa lepas. Berbeda saat bersama dirinya, yang kaku dan teramat dingin. 'Sakit sekali, ada yang retak dalam hatinya. Perih, seperti tersayat sembilu.'
****
yg ad hidupx sendirian nnt x