Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Seperti ini keluarga
Pagi pukul sepuluh, Maya sudah tiba dikediaman Ansel. Ia melangkah dengan Ansel memegangi tubuhnya. Sementara, dua bayinya berada dalam pelukan Sherly dan Fira. Ibu dan anak itu, sudah tidak mau melepaskan Khaira dan Khaysan.
"Kamar sudah siap?"
"Sudah, Nyonya."
Langsung saja, Maya diantar menuju kamar yang sudah disediakan. Kamar dengan dominasi warna putih. Ada ranjang ukuran king, sofa, tv dan dua ranjang bayi juga sudah ada. Di lantai, terbentang karpet berwarna abu-abu dan diatasnya sudah ada dua keranjang berisi mainan.
Berlebihan, menurut Maya. Bayinya masih kecil, belum bisa bermain. Namun, apa daya, ia hanya bisa memprotes dalam hati. Tidak ingin mengecewakan, keluarga Ansel yang sudah sangat baik kepadanya.
"Kamu tidak perlu keluar. Pelayan yang akan membawakan makanan. Jika perlu sesuatu, kamu tinggal memencet tombol, diatas nakas. Kamu harus banyak istirahat, nanti jika sudah baikkan, Mama akan mengajakmu jalan-jalan."
"Terima kasih, Ma. Maaf, sudah merepotkan kalian."
"Tidak apa, May," sahut Fira. Gadis itu, bersikap sudah seperti saudara. Ia terlihat berbeda, ketika berada di kampus.
"Khaira dan Khaysan, sudah tidur. Jika mereka bangun, panggil Mama."
Maya bingung harus melakukan apa. Ia hanya, memperhatikan dua bayinya yang terlelap. Pagi tadi, ia menolak untuk datang kesini. Apalagi, harus tinggal berlama-lama. Namun, siapa yang akan membiarkannya pergi, bersama dua bayi dan belum pulih sepenuhnya.
Sherly yang memohon, ditambah Fira yang mengompori sang ibu dan kakaknya. Akhirnya, mau tidak mau, ia menurut.
"Sayang, mereka sangat baik pada kita. Setelah ini, ibu akan bekerja keras dan membalasnya. Bantu ibu, dengan kalian tetap sehat."
Dalam suasana hening, Saphira datang dengan potongan buah diatas piring.
"Makanlah. Mama yang mengupas dan memotong nya sendiri."
"Terima kasih. Aku minta maaf, sudah sangat merepotkan kalian."
"Tidak apa. Anggap saja, ini hutang ku padamu."
Maya duduk berhadapan dengan Saphira diatas sofa. Mengambil potongan buah apel, untuk dikunyah.
"Kapan kalian wisuda?"
"Bulan depan. Apa kau tidak ingin melanjutkan pendidikanmu?"
"Belum saatnya, Fir. Aku masih harus bekerja dan mengurus bayiku."
"Apa aku boleh bertanya?" Ragu-ragu Fira, mengatakan itu. Tapi, bibirnya sudah gatal ingin bertanya. "Apa kau pergi karena Sandra?"
Tangan Maya menggantung diatas piring. Ia menariknya kembali.
"Aku tidak tahu, mereka akan menikah. Aku pergi, karena sudah seharusnya."
"Maksudmu?"
"Aku dan Zamar punya kesalahpahaman, hingga aku memilih untuk pergi. Aku tidak tahu, apa alasan, dia menikahi Sandra. Mungkin mereka sudah bersama sejak lama atau mungkin karena terdesak oleh pernikahan, karena undangan sudah disebar."
"Menurutku, karena mereka sudah bersama sejak lama. Kata Mama, ia menerima undangan seminggu sebelum pernikahan. Namun, saat itu aku ingat Sandra pernah memamerkan pernikahanmu, dengan mengatakan undangan kalian sudah disebar. Saat itu, kalau aku tidak salah, dua minggu sebelum pernikahan."
Bibir Maya, kelu untuk berkata. Sebenarnya, ia tidak mau membicarakan tentang Zamar lagi. Ia hanya ingin menjalani hidup, tanpa bayang-bayang Zamar.
"Mungkin, saja."
Arti kata, ia sudah tidak peduli. Ia juga sudah tidak berminat untuk memperbaiki atau mencari tahu. Baginya, semua sudah selesai.
"Kau tidak penasaran, May?"
"Aku hanya ingin menjalani hidup dengan tenang. Benar atau tidaknya, tentang mereka berdua. Aku sudah tidak peduli. Bagiku, hubungan kami selesai, saat aku sudah pergi. Sandra atau Zamar, mereka hanyalah orang asing bagiku."
Saphira berpindah tempat, disisi Maya. Ia menjatuhkan kepala Maya di bahunya. Seperti, seorang ibu yang menenangkan putrinya.
"Aku minta maaf, karena selama ini aku terus mengusikmu. Sebenarnya, aku hanya ingin berteman dengan mencari perhatianmu. Mungkin, terdengar aneh. Tapi, itulah yang sebenarnya."
"Hahaha... kau memang aneh."
Dari musuh, kini menjadi teman, bahkan seperti saudara. Mereka serumah, makan bersama, tertawa dan mengobrol. Takdir kadang memang aneh, menyatukan dua manusia, yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin.
"Bagaimana nanti dengan anak-anakmu?" Kini mereka duduk bersebelahan, namun Fira duduk menyerong menghadap Maya.
"Yah, seperti yang kau lihat. Aku akan membesarkan mereka. Mereka tidak perlu ayah."
"Kau benar, mereka tidak perlu ayah. Disini, sudah ada tante dan neneknya yang menyayangi mereka."
"Aku sebenarnya, merasa tidak enak dengan keluargamu. Apalagi, Mama yang menganggap mereka cucunya. Aku tidak mungkin, terus merepotkan kalian."
"Aku mengerti. Jika sudah saatnya, Mama pasti akan membiarkan kalian pergi. Tapi, mungkin hanya sekitar sini. Hahaha... "
Maya ikut tertawa. Disaat itu, Khaira terbangun dengan suara tangis yang memekakkan telinga.
Fira dengan sigap bangkit lebih dulu, memberitahu Maya agar tidak perlu, bangkit.
Bayi mungil itu, kini terdiam. Menyusu dengan lahap. Salah satu tangannya, memegang jari telunjuk sang ibu. Fira yang ikut memperhatikan, senyum-senyum dengan mengelus kepala Khaira.
"Apa kau pernah memberitahu, ibu Zamar tentang kehamilanmu?"
"Tidak. Aku belum sempat memberitahunya. Saat aku pergi, aku sudah tidak berniat memberitahunya."
"Kenapa? Jika dia tahu, mungkin saja kalian bisa menikah."
"Hah! Untuk apa? Aku menikah dengan Zamar, bukan ibunya. Sekalipun, dia membantu, tapi apa gunanya, jika kepercayaannya padaku hanya setipis tisu."
"Kepercayaan?"
"Benar. Kepercayaan. Hubungan, bukan hanya butuh cinta, tapi kepercayaan. Agar hubungan, bisa terus berlanjut."
"Kau benar. Aku belajar banyak darimu. Mungkin, aku perlu menyeleksi dengan teliti, tentang pria."
"Kau mencari seperti apa?"
"Aku mencari seperti pria seperti Papa dan kakakku. Mereka berdua adalah panutanku."
"Kau benar. Carilah pasangan, yang menghargai dan mencintaimu. Seperti, ayah dan kakakmu yang sangat baik."
Khaira sudah terlelap, tapi belum melepaskan genggamannya, pada jari telunjuk sang ibu. Ia juga tersenyum, entah sedang memimpikan apa.
"Malam ini, aku akan menemanimu. Kau pasti kesusahan, jika mereka bangun dan menangis bersamaan."
"Terima kasih. Tapi, aku berharap tidurmu tidak terganggu."
"Tentu saja, tidak. Aku bisa belajar menjadi ibu, mulai dari sekarang."
Pintu terbuka, tiba-tiba. Resti masuk dengan kedua tangan penuh dengan paper bag. Ia meletakkan diatas meja, sembari menarik napas, karena kelelahan.
"Kenapa, Ma?"
"Mama lelah. Padahal, cuma naik tangga. Besok-besok, Mama mau minta papa, bikin lift."
"Lift, apaan. Rumah kita cuma dua lantai."
"Hah, sudah." Resti duduk bergabung diatas sofa, bersandar dengan mengatur napas. "Baju yang pesan untuk Maya, sudah datang. Jadi, Mama mau Maya mencobanya, sebentar."
Fira membongkar isi paper bag, mengeluarkan isinya satu persatu. Dress longgar, panjang selutut, tanpa lengan, dengan tiga warna berbeda. Baju tidur dengan motif lucu.
"Ma, aku masih banyak pakaian."
"Berat badanmu naik, May. Jadi, Mama belikan yang agak longgar, supaya nyaman."
"Iya, May. Kamu harus berpakaian nyaman, karena harus menyusui," tambah Fira.
Mungkin, seperti ini rasanya, memiliki keluarga. Ibu yang penyayang, saudara yang perhatian dan dua laki-laki dirumah yang bertanggungjawab. Maya yang sejak kecil, tidak memiliki siapa-siapa, hidupnya sedikit berarti. Dulu ia memiliki Zamar dan ibunya. Perhatian yang sama, mereka berikan.
Namun,
🍋 Bersambung
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan