Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gorengan Alot
Karena waktu yang di berikan oleh perawat sudah habis Nina dan yang lainnya di minta untuk pergi.
"Bapak masih suami ibu, biar ibu yang jaga, kalian pulanglah! Besok kita bicarakan lagi," usir Titik.
"Nin, lalu operasi bapak gimana?" tanya Dibyo mengiba.
"Besok setelah aku bawa surat persyaratannya pak!" jelas Nina lantas berlalu pergi di ikuti oleh Dita.
"Mbak, mbak kok gitu sih sama bapak dan ibu! Ngga kasihan emang? Mereka kan saling sayang malah di paksa berpisah! Ngga punya hati banget sih!" gerutu Nina.
Mereka kini sudah berada di depan rumah sakit untuk menunggu mobil pesanan Nina.
Nina malas menggubris keluhan Dita, untungnya mobil yang di pesannya tak lama, hingga ia bisa bergegas pulang.
Nina memilih duduk di depan bersama sang sopir, di tengah perjalanan Nina meminta sang sopir untuk berhenti di kedai martabak.
Dia ingin membelikan makanan kesukaan putrinya, juga untuk Bu Wingsih yang sudah mau menjaga anaknya.
Dita yang melihat Nina hendak memesan martabak seketika liurnya menetes. Perut yang sejak tadi berontak minta di isi membuatnya turun mendekati Nina.
"Mbak, pesenin buat aku juga mbak Tyas ya. Pak martabak telor istimewa dua, sama martabak cokelat kacangnya dua ya," ucap Dita tak tau malu.
"Siap neng," jawab sang penjual semangat.
"Kalau bapak mau buatin pesanan dia, saya ngga tanggung jawab ya pak," jelas Nina yang membuat Dita terperangah.
"Loh kok gitu mbak? Pelit banget sih!" gerutu Dita kesal.
"Emang aku udah jawab iya? Punya otak kan, harusnya terserah aku mau kasih apa engga, kok kamu marah!" balas Nina telak.
"Ayolah mbak aku lapar, aku belum makan, mbak tega banget sih sama aku," rengek Dita.
Nina diam bergeming tak peduli, batinnya mengomel untung saja dia mau mengajak gadis itu pulang bersama.
Nina lantas melirik penjuak gorengan di sebelah. Sisa beberapa yang Nina pikir pasti gorengan itu sudah agak keras.
"Pak itu semua berapa?" tanya Nina pada sang pedagang yang tengah merapikan gerobaknya hendak tutup.
"Eh mbaknya mau? Udah kering ini," jelas sang pedagang.
"Iya pak, lumayan buat ganjal perut," jawab Nina sambil tersenyum ramah.
Sang penjual gorengan membungkusnya menggunakan kertas lalu memasukkannya ke dalam plastik.
"Nih mbak, ngga usah, jangan komplain ya mbak, kan gratis," ujar sang penjual sambil terkekeh.
"Loh kok, saya bayar aja bang," pinta Nina.
"Ngga usah mbak, saya udah untung kok," tolak sang pedagang lalu kembali melanjutkan membereskan dagangannya.
Nina lantas masuk ke dalam mobil setelah pesanannya selesai.
Dita yang melihat Nina membawa dua bungkus martabak, akhirnya tersenyum. Di pikiran gadis itu ia yakin salah satunya adalah miliknya.
Ia tau Nina adalah orang yang baik juga bodoh menurutnya.
Dita senyam-senyum sendiri membayangkan makan malamnya dengan martabak.
Nina yang melihatnya dari spion hanya bisa menggeleng melihat kelakuan adik tirinya.
Setelah sampai di kediaman Nina, Nina lantas membayar sang sopir lalu menambahkan uangnya.
"Pak antarkan dia ke rumahnya, ini saya lebihkan ya, ngga jauh kok, nanti di tunjukin dia," ujar Nina menjelaskan pada sang sopir.
Nina lalu mengetuk kaca mobil Dita. Dengan malas Dita membuka dan menampilkan wajah juteknya.
Meski dia berpikir akan di berikan martabak oleh Nina, gadis itu enggan bermanis-manis pada Nina.
"Nih buat kamu!" ujar Nina sambil menyerahkan bungkusan gorengan gratis pada Dita.
Mata Dita terbelalak, Nina hanya menyerahkan bungkus gorengan padanya.
"Loh mbak terus itu martabak buat siapa?" tanyanya tak tau malu.
"Ya punyaku," jawabnya datar. "Sudah pak jalan!" pinta Nina lalu bergegas meninggalkan Dita yang tak percaya.
Pupus sudah harapannya untuk makan enak menggunakan martabak. Namun dia masih merasa lega setidaknya dia bisa makan menggunakan gorengan yang di berikan Nina.
Sesampainya di rumah, Dita berjalan gontai menuju rumah sang kakak.
Tyas dan keluarganya sengaja menunggu Dita dan Titik, berharap mendapatkan makanan dari rumah sakit.
"Assalamualaikum," ujar Dita lirih.
"Tante! Mana snacknya?" harap Ziva dengan mata berbinar.
Tanpa menjawab, Dita bergegas duduk di ruang tamu sang kakak dan meletakkan bungkus gorengan di meja.
"Bawa ini aja Dit!" gerutu Tyas. "Terus ibu mana?"
"Emang ngeselin tuh janda mbak! Aku sengaja ngga makan berharap di kasih makanan, malah di cuekin!" jelasnya.
"Ibu nungguin Bapak!"
Ziva lantas membuka bungkusan gorengan yang di bawa sang tante.
"Ih tante kok mau sih, ini keras tau!" ujarnya kesal lalu membuang kembali makanan itu ke meja.
"Ya Allah kamu Va! Kalau ngga mau ya jangan di lempar-lempar, tante belum makan!" sungut Dita lalu mengambil bungkusan itu menuju ke dapur.
"Mah, laper, katanya nanti tante sama nenek mau bawa makanan," rengek Ziva.
"Iya loh mah, papah juga laper, beli makan kek, atau apalah," pinta Yanto yang juga kelaparan menunggu Dita dan mertuanya, tapi ternyata semuanya malah zonk.
"Mana duitnya!" pinta Tyas menengadahkan tangannya pada sang suami.
"Papah mana ada duit mah," elak Yanto yang enggan memberikan uang pada Tyas.
"Ya udah tahan laper aja!" jawabnya lantas berlalu mendekati adiknya di dapur.
"Kamu kaya orang ngga makan setaun aja Dit, timbang makan pake gorengan alot aja doyan banget," cibir Tyas lalu mengambil salah satu gorengan.
Dita mendengus dengan cibiran sang kakak, tapi ikut menikmati gorengan miliknya.
Melihat Dita yang lahap memakan makanannya membuat perut Tyas juga keroncongan minta di isi.
Mereka berdua akhirnya menikmati gorengan yang sejak tadi mereka hina-hina.
.
.
Di rumah sakit, Titik berbicara dengan suaminya. Dia akan berusaha membujuk sang suami agar tidak meninggalkannya.
"Pak, bapak kenapa mau sih di minta begitu sama Nina! Dia kan anak bapak, harusnya bapak yang pegang kendali! Jangan malah di kendaliin!" gerutunya.
"Apa bapak udah ngga sayang sama ibu!" lanjutnya sambil mendengus.
"Bu tenang, jangan berisik, nanti kamu di usir sama perawat," pinta Dibyo.
"Bapak terpaksa bu, gimana pun cuma nina yang bisa nolong bapak, tadi kan ibu udah bapak kasih tau jawab aja iya apa pun ucapan Nina. Yang penting bapak di operasi dulu, kalau udah sembuh, tentu bapak akan kembali sama kamu Bu," bujuk Dibyo.
"Jadi bapak ngga akan ninggalin ibu?" mata Titik sudah berbinar secerah awan di siang hari.
Namun tak lama, Titik kembali bersedih, "tapi gimana pak? Kalau Nina tetap maksa kita bercerai sebelum bapak operasi," lirihnya.
"Ya nanti kita rujuk lagi, ngga mungkin Nina bisa daftarin perceraian kita dalam waktu dekat, sedangkan bapak harus segera di operasi," jelasnya.
Titik sangat senang dengan pemikiran bodoh Dibyo, tak apa dia sekarang akan teraniaya asalkan Dibyo tak meninggalkannya.
"Jadi ibu harus mengalah pak?" lirihnya.
"Sementara aja bu, nanti kalau bapak udah sembuh kita rujuk lagi," ujar Dibyo menenangkan.
.
.
.
Tbc