Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isi Hati Lalita
Seminggu lebih sejak Lalita memutuskan untuk pindah kamar, semua berjalan terlalu damai untuk Erick. Tak ada lagi celotehan yang biasanya membuat lelaki itu jengah. Tak ada pula rengekan manja yang biasanya terdengar saat Lalita menginginkan sesuatu, tapi keinginannya itu tak terpenuhi. Sepi, itulah yang Erick rasakan. Setiap kali dia pulang dan memasuki rumah, tak ada yang menyambutnya seperti dulu.
Suasana seperti itulah yang dulu selalu Erick harapkan. Tak perlu harus meladeni Lalita dan bisa beristirahat dengan tenang saat berada di rumah. Dia pikir, hidupnya akan terasa jauh lebih baik jika hal itu terjadi, tapi rupanya semua tak seperti yang dia bayangkan.
Bukannya merasa senang dengan semua perubahan sikap yang Lalita tunjukkan, Erick malah merasa kacau sendiri. Dia bahkan nyaris merasa frustasi karena tak memahami isi hatinya sendiri. Hampir setiap malam Erick berdiri di depan pintu kamar yang ditempati oleh Lalita, berniat untuk menemui istrinya itu. Namun, setiap kali tangannya terangkat hendak mengetuk pintu kamar tersebut, nyali Erick tiba-tiba saja menciut.
Pada akhirnya, lelaki itu selalu urung menemui Lalita. Dia membayangan jika seandainya Lalita membuka pintu kamar, entah kata apa yang mesti dia ucapkan pada istrinya itu. Meminta maaf? Memangnya kesalahan apa yang dia lakukan sebelumnya? Seingat Erick, mereka berdua bahkan tidak bertengkar. Mau berbicara dari hati ke hati untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Lalita saat ini pun rasanya sangat sulit untuk Erick lakukan. Dia tidak terbiasa bersikap seperti itu pada Lalita. Rasanya benar-benar canggung.
Malam selanjutnya, lagi-lagi Erick merasa gelisah dan keluar dari kamarnya. Dia menuruni anak tangga, lalu kembali melangkah mendekati kamar Lalita. Seperti orang bodoh, Erick memandangi pintu kamar tersebut tanpa melakukan apapun. Kali ini, dia tak berusaha untuk mengetuk pintu kamar tersebut tahu jika dirinya tak akan memiliki keberanian seperti sebelumnya.
Erick berniat pergi dan kembali ke kamarnya. Namun, hal itu terlambat dia lakukan karena pintu kamar keburu terbuka. Lalita tampak berdiri di ambang pintu berhadapan dengan Erick. Keduanya jelas terlihat sama-sama terkejut.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lalita setelah berhasil menetralkan raut wajah kagetnya.
Erick terlihat salah tingkah dan tak tahu mesti menjawab apa. Mau pergi begitu saja, rasanya sangat tak etis karena Lalita sudah terlanjur memergokinya berada di sana.
"Aku mau berbicara sebentar denganmu," ujar Erick kemudian. Sudah kepalang tanggung. Kalau sudah seperti ini, sebaiknya dia memang berbicara dengan benar pada Lalita.
Berganti Lalita yang mengatup mulutnya. Erick ingin berbicara dengannya? Selama dua tahun menjalani rumah tangga berdua, baru kali ini lelaki itu berinisiatif untuk mengajaknya berbicara lebih dulu.
Lalita pun kemudian maju selangkah untuk benar-benar keluar dari kamarnya. Setelah itu, dia menutup pintu kamar seolah Erick adalah orang asing yang tak boleh melihat kamar tidur yang merupakan area privasinya.
"Bicara di ruang makan saja. Aku haus," ujar Lalita kemudian sembari melangkah lebih dulu meninggalkan Erick.
Mau tak mau, Erick pun mengikuti langkah istrinya itu. Lalita pergi ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil air minum dan camilan dari dalam kulkas. Setelah itu, barulah kemudian dia duduk di salah satu kursi meja makan, berhadapan dengan Erick.
"Mau bicara apa?" tanya Lalita setelah meneguk habis segelas air.
Untuk ke sekian kalinya Erick dibuat heran dan tak habis pikir dengan perubahan sikap istrinya ini.
"Di malam pesta waktu itu, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Erick kemudian.
Lalita yang hendak memasukkan sepotong kue kering ke dalam mulutnya tampak mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali kue kering yang ada di tangannya.
"Kamu pernah bilang kalau waktu itu kamu sedang tidak baik-baik saja. Memangnya apa yang terjadi? Kenapa sikapmu jadi berubah drastis setelah itu?" tanya Erick lagi.
Bukannya menjawab, Lalita malah menghela nafas sembari membuang wajahnya ke arah lain. Dia pikir, sampai gugatan yang dia layangkan melalui Hendro diproses, Erick tetap tidak akan merasa peduli sama sekali. Tak disangka lelaki itu memiliki rasa penasaran juga terhadap dirinya.
"Lita?" Erick memanggil Lalita karena perempuan itu tampak tak merespon pertanyaannya.
"Memangnya kenapa kamu ingin tahu?" Lalita malah balik bertanya.
Erick kembali terlihat kesulitan menjawab pertanyaan yang Lalita ajukan. Tentu saja dia bingung kenapa sekarang mendadak ingin tahu apa yang terjadi pada Lalita, bahkan mengkhawatirkannya.
"Bukannya sudah wajar kalau aku ingin tahu apa yang terjadi padamu? Mau seperti apapun hubungan kita, sampai detik ini status kita tetap suami istri. Aku bertanggung jawab atas setiap hal yang terjadi padamu," ujar Erick.
Tanpa diduga, Lalita malah tersenyum ironi mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya itu.
"Apa kamu bertanya begini karena takut disalahkan, Erick?" Pertanyaan yang datar namun tajam langsung keluar dari mulut Lalita.
"Apa maksudmu?" Erick terlihat menautkan kedua alisnya.
"Aku tahu, selama ini Papa telah mengawasimu. Kalau terjadi apa-apa padaku, Papa pasti akan langsung membuat perhitungan denganmu. Tapi kamu tidak perlu merasa khawatir. Sekarang tidak akan lagi seperti itu. Akan aku pastikan kalau Papa tak akan melakukan hal itu padamu. Jadi kamu tidak perlu bertanya seolah kamu benar-benar peduli padaku." Lalita menjawab dengan nada datar yang kali ini terasa sedikit tajam.
Terang saja Erick merasa tak terima mendengar apa yang Lalita ucapkan.
"Aku hanya ingin tahu dan memastikan kalau kamu baik-baik saja, Lita. Sikap dan prilakumu belakangan ini terlihat aneh."
"Aneh?" ulang Lalita.
Erick tak menjawab.
"Aku hanya berusaha untuk menyesuaikan diri denganmu. Bagaimana bisa kamu mengatakannya aneh? Bukankah selama ini kamu berharap aku bersikap seperti ini?"
Lagi-lagi Erick hanya memperlihatkan raut wajah keheranan.
"Tidak usah berlagak tidak mengerti, Erick. Selama ini kamu selalu terbebani kalau aku ingin dekat-dekat denganmu, kan? Kamu selalu beralasan mesti menyelesaikan pekerjaanmu di ruang kerja hampir setiap malam, semua itu karena kamu enggan masuk ke dalam kamar yang di dalamnya ada aku. iya, kan?" Lalita menatap Erick sembari kembali memperlihatkan senyuman penih ironi.
"Sebenarnya, sejak awal kamu sudah menarik garis pembatas yang sangat jelas, aku saja yang terlalu bodoh dan naif sehingga tak memahami semua itu. Dengan tidak tahu malunya, aku terus berusaha menempel padamu, meski jelas-jelas kamu merasa risih setiap kali berdekatan denganku." Lalita kembali menambahkan dengan suara yang berubah menjadi sendu.
Erick terkesiap mendengar ucapan yang Lalita lontarkan padanya. Semuanya itu memang benar adanya, tapi entah kenapa sekarang dia merasa kalau sikapnya itu terdengar jahat?
"Aku bukan orang yang kamu inginkan untuk berada di sisimu. Butuh dua tahun bagiku untuk menyadari itu. Maaf, karena aku terlalu lamban. Tapi setidaknya, setelah ini kamu masih punya kesempatan untuk bersatu dengan seseorang yang benar-benar kamu inginkan.
"Bicara apa kamu, Lita?" gumam Erick dengan raut wajah yang sulit dijabarkan.
"Kamu mau tahu apa yang terjadi padaku sampai aku bersikap seperti ini, kan? Anggap saja sekarang mataku sudah terbuka setelah selama ini buta karena terlalu menyayangimu. Bertahanlah dengan perempuan manja dan tak tahu diri ini sebentar lagi, Erick. Sebentar lagi saja. Setelah itu, kamu akan bebas."
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/