Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 15
"Aku kecewa sama kamu, Gis. Sepuluh tahun tidak bertemu ternyata kamu banyak berubah. Aku tidak menyangka kalau sekarang kamu pandai berbohong." Suara Dirga terdengar berat dan penuh penekanan. Gisela hanya menunduk. Masih belum memiliki keberanian untuk menatap Dirga lagi. "Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu?"
"Tentu saja aku sangat bahagia." Gisela menjawab cepat karena tidak ingin Dirga makin curiga.
"Lalu kenapa kamu sampai berbohong seperti ini?"
"Dir, aku minta tolong sama kamu. Jangan pernah mencampuri urusan pribadiku. Aku punya privasi yang tidak ingin diulik oleh siapa pun. Perkara rumah tangga, pasti setiap pasangan itu memiliki permasalahan dan tidak seharusnya kamu tahu apalagi ikut campur." Nada bicara Gisela sedikit meninggi. Wanita itu merasa tidak suka saat Dirga begitu menuntut ingin tahu perihal kehidupannya.
"Maafkan aku sudah sangat lancang. Kalau memang kamu sedang ada masalah dengan suami kamu maka aku hanya bisa mendoakan semoga semua lekas selesai." Dirga menyudahi pembicaraan itu karena ia tidak ingin membuat Gisela merasa tidak nyaman.
"Terima kasih banyak, Dir."
Setelah semua selesai, Gisela pun meminta izin untuk kembali ke ruangan Stevani. Padahal wanita itu ingin sekali pulang, meskipun harus sendirian di rumah, itu lebih baik daripada menunggu di sana dan hatinya selalu merasa panas saat melihat kemesraan pasangan itu.
Akan tetapi, Gisela juga tidak mungkin pulang tanpa izin dari Abram. Yang ada dirinya akan terkena amukan. Setelah mereka sampai di ruangan, Dirga segera berpamitan. Sementara Gisela langsung bergegas masuk, tetapi ia merasa heran saat melihat hanya ada Stevani di ruangan itu.
Mendengar pintu ruangan terbuka, Stevani lantas membuka mata dan tersenyum saat mengira yang datang adalah Abram, kekasihnya. Namun, wajahnya mendadak malas saat melihat Gisela yang sedang berjalan mendekati brankar.
"Bagaimana keadaanmu, Stev. Di mana Mas Abram?" tanya Gisela. Ia memindai seluruh ruangan, tetapi tidak menemukan keberadaan Abram sama sekali.
"Mana aku tahu! Kenapa kamu masih datang ke sini? Jangan bilang kalau kamu mau menyuruhku untuk menggugurkan kandungan ini. Asal kamu tahu, aku tidak akan pernah mau!" Stevani menunjuk wajah Gisela yang saat ini sedang tersenyum simpul.
"Tidak. Aku bahkan tidak memiliki sedikit pun niat untuk memintamu seperti itu. Aku justru ingin kamu menjaga kandungan itu dengan sangat baik. Ingat, meskipun apa yang kamu dan Abram lakukan adalah sebuah dosa dan kesalahan yang sangat besar, tetapi bayi dalam kandunganmu tidak bersalah."
"Cih!" Stevani berdecih. Memutar bola mata malas karena menganggap ucapan Gisela hanyalah sebatas alibi wanita itu. Stevani merasa yakin kalau sebenarnya Gisela sangat menginginkan ia keguguran. "Aku tidak percaya."
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti aku tidak memiliki niat untuk membunuh janin yang tidak berdosa karena yang berdosa adalah orang tuanya." Gisela berbicara sangat tenang. Ia menatap Stevani yang sudah melayangkan sebuah tatapan kebencian kepadanya.
"Sudahlah. Aku tidak mau lagi berdebat dengan kamu. Lebih baik sekarang kamu istirahat. Ingat, wanita hamil itu harus banyak istirahat dan jangan terlalu banyak pikiran. Sambil menunggu Mas Abram datang, aku akan menemanimu. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk meminta bantuan." Gisela dengan santai berjalan ke sofa dan mendudukkan tubuhnya di sana. Ia duduk bersandar dan memejamkan mata karena tidak ingin jika air matanya ada yang menetes. Ia harus bisa menahan sekuat tenaga.
Sementara Stevani dalam hati menggeram marah. Sungguh, menghadapi Gisela yang sangat tenang seperti itu justru menjadikannya merasa sulit untuk menjatuhkan wanita itu. Seolah tidak ada celah untuk menghancurkannya.
"Hah! Awas saja kalau dia sampai menjadi penghalang segala keinginanku maka aku tidak akan segan-segan membunuhnya." Stevani bergumam sangat lirih sembari mengepalkan tangan. Seandainya ia tidak sedang terbaring di brankar, rasanya ingin sekali Stevani mencekik wanita itu sampai nyawanya melayang.
Lihat saja, siapa yang akan bertahan, Mas. Aku yang merupakan istri sahmu atau dia selingkuhanmu yang sekarang sedang mengandung.