Cerita cinta Aira yang berujung balas dendam, menjadi saksi bisu untuk dirinya. Kematian sang ibunda, bukanlah hal yang mudah dilalui gadis desa itu.
Ia disered paksa diperjual belikan oleh sang ayah, untuk menikah dengan seorang CEO bernama Edric. Lelaki lumpuh yang hanya mengandalkan kursi roda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Tersenyumnya Edric.
"Ada apa ini, Dad. "
Lelaki berhidung mancung dengan bibir sedikit tebal, datang menghampiri kerumunan dipintu kamar calon istrinya.
Sang ayah memutarkan tubuh ke arah Edric dengan menjawab. " Ada masalah sedikit. "
Melihat ibu tirinya, tentu saja membuat Edric sudah mengira, jika Dwinda membuat masalah. Memperlihatkan wajah juteknya, Dwinda hanya meringis kesakitan, tak ada yang peduli padanya saat ini.
Edric memegang punggung kedua tangan Aira, menatap sang pemilik bulu mata lentik dengan bola mata hitam berbinar. "Kamu tidak kenapa kenapa kan. Aira? "
Kedua ujung bibir tipis mulai terangkat mengambarkan senyuman di depan sang CEO muda. " Saya tidak kenapa- kenapa! Hanya saja Ibu Dwinda .... "
Belum perkataan Aira terlontar semuanya, Dwinda membentak gadis desa di depanya. " SUDAH SAYA BILANG JANGAN PANGGIL SAYA IBU. SAYA ITU MASIH MUDA, INGAT ITU. "
Ellad yang mendengar sang istri membentak Aira, membuat lelaki berambut putih, menarik tangan Dwinda untuk menyingkir dari hadapan Aira dan juga Edric.
"Papih, jangan tarik momi. Sakit. "
Kata kata ringisan dengan nada manja itu, membuat Ellad melepaskan tangan mulus sang istri begitu saja. Lelaki berbadan tegap sudah muak dengan tingkah Dwinda yang semakin hari semakin berubah, hingga memutuskan untuk berjalan dan pergi tanpa harus mendengar rengekan sang istri.
"Papih, kenapa pergi begitu saja. Momi, belum selesai berbicara. Apa papih tidak merasa kasihan dengan momi, PAPIH. "
Ellad seakan menutup telinga, mengabaikan teriakan sang istri yang dimana langkahnya semakin menjauh dan semakin terdengar.
"PAPIH."
Dengan rasa sakit pada rahang dan juga rambut kepala, Dwinda mengejar sang suami. Yang terlihat marah besar kepadanya.
"Papih." Meraih tangan lelaki berambut putih dengan tubuhnya yang tegap, Dwinda meperlihatkan kedua mata berkaca kaca. Sedangkan Ellad membuang muka, tak menatap wajah istrinya yang sudah terlihat panik.
"Papih, pleas. Jangan marah, momi hanya emosi. Momi nggak tahu jika papih akan marah seperti ini. " Rayu Dwinda pada sang suami yang masih terdiam, tak menatap kearah wajah istrinya sama sekali.
Padahal baru tadi Dwinda marah kepada Ellad. Tapi sekarang malah berbalik Ellad yang marah besar kepada Dwinda. Apalagi lelaki bertubuh tegap dengan hidungnya yang mancung masih tak terima dengan perkataan Dwinda saat marah dihadapan Aira.
Seakan ada kata kata yang membuat Ellad tersinggung.
"Papih. Kenapa tidak menjawab apa yang dikatakan mami? "
Bibir tipis Ellad tak menampilkan gerakan untuk berbicara sedikit pun, bibir itu tetap saja rapat. "Sayang."
Menghepaskan tangan Dwinda yang memegang tangan Ellad, lelaki tua itu pergi dari hadapan sang istri. "Papih."
Mengusap kasar wajah, Dwinda bingung. Kenapa bisa Ellad semarah itu padanya, jika semua terjadi rencananya akan gagal.
Mengejar sampai ke kamar, Ellad mulai mengambil lembar kertas menunjukkan pada Dwinda. " kalau kamu memang sudah tidak cinta padaku, katakan. Pada lembar kertas ini aku bisa saja menceraikan kamu saat ini juga. "
Mengambil kertas tanpa tulisan pena sedikitpun, Dwinda langsung mengambil dan menyobek kertas putih tanpa tulisan dari tangan sang suami.
"Kenapa kamu sobek, Dwinda. "
Sepertinya Ellad benar benar marah besar, buktinya lelaki tua itu menyebut nama istrinya bukan nama panggilan sayang ataupun momi.
"Papih, kenapa papih malah seperti ini. "
Lelaki tua dengan rambut putihnya, menitihkan air mata. Baru sekarang Ellad menangis, sekian lama menikah dengan Dwinda.
"Ellad, pleas. Kita bukan anak kecil, jadi jangan melakukan hal konyol seperti ini. Aku mencintaimu. "
Kata kata rayuan Dwinda, terucap lagi. Kata cinta yang hanya bualan dari mulut wanita muda berumur dua puluh delapan tahun itu, berusaha menebus pertahanan dinding hati Ellad yang tertutup akan rasa sakit.
"Maafkan aku, aku salah. Terlah mengatakan yang tak sepantasnya aku katakan."
Dwinda memeluk Ellad dengan erat, pelukan kepalsuan yang berusaha membuat sang pemilik tubuh luluh.
Ellad seorang CEO, hanya bisa terbuai akan ucapan dan rayuan Dwinda. Sehingga dia mampu melupakan rasa sakitnya.
"Aku juga mencintaimu Dwinda. "
Begitu bucinnya, seorang CEO berbadan tegap itu terhadap Dwinda wanita muda berbadan seksi dengan kecantikan biasa saja. Padahal diluar sana, Ellad masih bisa menemukan sosok wanita seumuran dengannya yang mampu membuat hidupnya nyaman dan tenang. Tapi Karena biusan cinta Dwinda Ellad seperti anak muda yang masih merasakan jatuh cinta.
Dwinda melepaskan pelukannya, menatap ke arah Ellad dengan berkata. " Papih, sudah memaafkan Momi kan. "
Ellad yang lemah hanya mengangguk pasrah dan juga menerima apa yang terjadi.
Dwinda yang berhasil dengan senangnya bersorak hore dari hati kecilnya yang paling dalam.
*******
Edric masih berada di abang pintu kamar Aira, wanita berbulu mata lentik itu menundukkan wajah, tatapan sang CEO muda mampu menusuk jiwa. Entah apa yang kini dirasakan Aira, setiap kali bertatapan dengan Edric hatinya tak karuan.
Apakah itu cinta? Karena Aira belum pernah merasakan arti kata cinta, ia habiskan hidupnya mengabdi cinta kepada sang ibunda.
"Kamu harus banyak istirahat, besok acara pernikahan kita diadakan. "
"Iya."
Tidak biasanya Edric terlihat jutek seperti itu, biasanya ia selalu ceria dan juga sering menggombal di hadapan Aira. Tapi sekarang? Apa dia malu, karena Aira melihat ibu tirinya menggoda dia?
Edric mulai pergi dengan kursi rodanya. Dimana Aira bertanya memanggil Edric.
"Tuan."
Edric diam tak menjawab panggilanya. Beberapa kali Aira terus memanggil Edric dengan sebutan tuan. Tapi Edric begitu acuh.
Sampai dimana Aira memberanikan diri, memanggil Edric dengan sebutan. " Sayang. "
Mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Aira, membuat Edric memutarkan kursi rodanya. kedua ujung bibir terangkat, menampilkan sebuah senyuman.
Edric senang dengan panggilan yang terlontar dari mulut Aira, mendekat memajukan kursi rodanya, kini Edric sudah berada di hadapan Aira.
"Ada apa, sayang? "
Dengan cepatnya Edric merespon ucapan Aira, "Ehh, sayang. "
Terlihat Aira begitu canggung menyebut kata sayang di depan Edric, " Ya, kenapa? "
"Besok kita menikah dimana, kok rumah kamu tidak di hias. "
Mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Aira membuat Edric tersenyum, sedangkan Aira tersipu malu, karena jika mengadakan hajatan atau pesta pasti rumah sudah dihias dengan hiasan cantik, bunga bunga. Dan dekorasi pengantin yang begitu enak di pandang mata.
"Ya di gedung sayang, kalau di rumah. Bakal menghabiskan waktu yang lama. Kamu lihatkan rumahku seperti apa? "
Aira menggaruk belakang kepalanya yang tak terasa gatal, ia sebenarnya malu dengan pertanyaanya. "Iya juga ya. Maklum kan Aira di desa, jadi kalau ada hajatan sama kawinan itu, pastinya diadakan di rumah. Hiasanya juga. "
Edric menggelangkan kepala, wajah juteknya kini kembali ceria, Aira begitu membawa hawa positif bagi Edric. Sampai setiap ucapan yang terlontar dari bibir tipis Aira membuat Edric gemas.
crrita carlos ma welly terus