Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Mama," gumam Damar sembari menatap wajah Quin.
Dengan susah payah Quin mendorong tubuh Damar ke samping. Setelah itu, ia membantunya merubah posisi menjadi duduk.
Nyonya Zahira menghampiri sembari menatap keduanya bergantian. Ia menunjuk Quin lalu membentaknya. "Kamu ... apa yang sedang kamu lakukan di kamar anak saya, hah!!"
"Maaf, Nyonya, saya hanya ingin membantu Mr. Bre ... ah, maksud saya, Damar. Tapi, saya malah nggak bisa menahan tubuhnya sehingga membuat kami terjatuh," jelas Quin sembari melirik Damar sekilas.
'Buset, galak juga mama si Mr. Brewok ini,' batin Quin.
"Ya sudah, keluar sana!" usir Nyonya Zahira merasa geram.
Tanpa banyak kata, Quin berlalu meninggalkan keduanya. Ketika berada di ambang pintu, ia mendapat Naira sedang berdiri di sana sambil tersenyum sinis.
Setelah dibentak oleh Quin semalam, Naira merasa tak terima. Ia langsung melaporkan kejadian itu pada Nyonya Zahira. Sekaligus meminta wanita itu menyambangi rumah sang putra.
"Damar, siapa gadis itu?!" cecar Nyoya Zahirah.
"Quin, asisten pribadiku," jawab Damar disertai senyum tipis.
"Apa asisten pribadi harus sedekat itu? Kalian bahkan ...."
"Come on, Mah, jangan over thinking begitu," sela Damar cepat. "Nggak mungkin aku melakukannya dengan kondisiku yang seperti ini. By the way, tumben banget Mama datang sepagi ini?"
Ekor mata Damar seketika tertuju ke arah Naira yang sedang berdiri di depan pintu. Keningnya seketika berkerut tipis. 'Apa ini ulahnya Naira?'
"Damar, mama ingatkan kepadamu. Jangan terlalu dekat dengan gadis itu. Mama nggak mau dia mengambil kesempatan apalagi memanfaatkan dirimu dalam kondisi seperti ini!"
Damar tersenyum sinis lalu menggelengkan kepala. Memandangi Naira juga sang mama bergantian.
"Dia nggak bakal mengambil kesempatan apalagi memanfaatkan diriku karena dia ...."
Damar tak melanjutkan kalimatnya. Karena Quin kembali lagi ke kamar itu. Namun, kali ini ia sudah terlihat rapi dengan dress serta dandanan ala kadarnya.
"Maaf Nyonya, saya harus menyiapkan pakaian kantor Damar dulu. Setelah itu, saya juga akan segera berangkat kerja," jelas Quin kemudian lanjut menuju walk in closet.
Beberapa menit kemudian, Quin kembali sembari membawa setelan jas milik Damar serta aksesoris pria itu.
"Damar, ini pakaian kantor kamu hari ini," ucap Quin sembari meletakkan pakaian itu ke atas ranjang.
"Thanks, Quin," balas Damar.
Quin mengangguk pelan lalu menghadap ke arah Nyonya Zahirah. Sedikit membungkuk sebagai tanda hormat kemudian berpamitan.
"Saya permisi Nyonya."
Sebelum turun ke bawah, Quin terlebih dulu ke kamarnya. Mengambil tas tangan juga tas kerjanya.
Sesaat setelah kakinya menapak di lantai satu, Bik Yuni langsung bertanya, "Quin, kamu tidak sarapan dulu?"
"Nggak, soalnya aku nggak berselera!" celetuk Quin dengan ketus bahkan tak menoleh.
"Anak itu benar-benar, ya!" ucap Bik Yuni kesal.
Sedangkan Damar, yang masih berada di dalam kamar, tersenyum memandangi setelan jas miliknya. 'Tumben hari ini warnanya senada dengan dress-nya,' batin Damar
Senyumnya seketika sirna saat Naira menegurnya. "Damar, ayo, kamu harus terapi sekarang."
"Hmm."
"Nyonya, saya dan Damar ke ruang terapis dulu," izin Naira.
"Sejak kapan Damar menggunakan kruk itu?" tanya Nyonya Zahirah.
"Baru semalam," jawab Naira lalu melirik Damar.
"Quin yang merekomendasikan," timpal Damar. "Aku merasa idenya cukup bagus. Bahkan, ini sangat membantu. Aku bisa menggerakkan kakiku ketimbang hanya duduk di kursi roda."
Seusai bertutur, Damar mulai melangkah pelan meski harus berusaha payah. Ia kembali menolak ketika ingin dibantu oleh Naira.
Sepeninggal Damar dan Naira, Nyonya Zahirah bergeming. Menelaah kembali ucapan sang putra barusan. Kini pandangannya tertuju ke arah setelan jas serta aksesoris yang disiapkan Quin tadi.
"Sebenarnya apa pekerjaan gadis itu? Apa alasannya mau menjadi asisten pribadi putraku? Apa dia sangat membutuhkan uang?" gumam Nyonya Zahirah bertanya-tanya.
"Bik, apa gadis itu sudah berangkat kerja?" tanyanya sesaat setelah berada di dapur.
"Iya, Nyonya. Sebaiknya Nyonya harus berhati-hati pada gadis itu. Jika diperhatikan dia bukanlah gadis baik-baik," kata Bik Yuni memprovokasi.
"Oleh karena itu, saya meminta Naira mengawasinya," timpal Nyonya Zahirah lalu duduk di kursi.
Di ruangan terapi, Naira sedang mengawasi Damar yang sedang berjalan sambil berpegangan di antara kedua besi.
Setelah beberapa menit, bolak balik di tempat. Damar bersandar sejenak di tembok. Menyeka keringat lalu tersenyum. Ia teringat lagi momen semalam ketika Quin menyeka keringat di wajahnya.
'God, aku ingin secepatnya bisa berjalan lagi.'
Satu jam berlalu ....
"Sempat-sempatnya dia menyematkan bros ini," gumam Damar setelah selesai berpakaian dengan rapi.
"Tuan," panggil Adrian seraya menghampiri. "Apa kursi rodanya harus kita bawa?"
"Ya, karena aku tetap akan menggunakannya saat terdesak," sahut Damar dengan senyum tipis.
"Baiklah." Dengan telaten, Adrian membantu Damar. Keduanya menuju lift.
Beberapa detik kemudian, benda itu berhenti tepat di lantai satu. Ketika Damar juga Adrian melewati ruang tamu, Nyonya Zahirah menegur keduanya.
"Damar, Adrian kalian nggak sarapan dulu?"
"Nanti di kantor saja, Mah. Soalnya kami sudah terlambat," dalih Damar.
"Ya sudah, kalian hati-hati dan selamat bekerja," balas Nyonya Zahirah.
*****
Ketika dalam perjalanan, Damar memegang dadanya. Tersenyum karena membayangkan wajah sang asisten pribadi.
Sedangkan Adrian yang sedang mengemudi, merasa heran dengan sikap tak biasa boss-nya itu.
"Adrian, putar arah tujuan. Kita ke rumah sakit saja. Aku ingin bertemu dengan dokter Fahry," perintah Damar.
"Baik Tuan."
'Dari kemarin-kemarin kek. Jika saja Tuan menurut, pasti saat ini Anda sudah bisa berjalan dengan normal,' batin Adrian.
.
.
.
QA Boutique ....
"Al, apa semua bahan pesanan sudah diantar?" tanya Quin.
"Iya, aku dan Gisha sudah meletakkan di satu ruangan. Tinggal kita eksekusi," jawab Al kemudian berpamitan.
"Good," gumam Quin lalu menyeruput coklat hangat. Ia kembali menatap layar laptop, memperhatikan design baju agar tak terjadi kesalahan.
Jemarinya kini beralih ke pensil juga buku gambar. Kembali membuat desain seperti permintaan klien.
Saking seriusnya, ia tak menyadari kehadiran Angga yang sedang menghampirinya.
"Sayang," panggil Angga sekaligus menghentikan gerakan pensil di jemari Quin. "Sibuk ya."
Quin mendongak dengan alis bertaut. Sedetik kemudian ia menghela nafas lalu beranjak dari kursi. "Angga, kamu nggak ngantor?"
"Ngantor, tapi aku mampir dulu ke sini. Sekaligus ada yang ingin aku sampaikan kepadamu," kata Angga.
"To the poin saja," sahut Quin cuek ketika Angga sudah berdiri di sampingnya.
"Hari ini anniversary pernikahan mama dan papa. Mama sangat berharap kamu hadir di acara itu malam ini," jelas Angga sekaligus berharap.
Quin bergeming sejenak. "Demi mama, aku akan hadir," timpalnya sedikit melunak.
"Terima kasih, Sayang," bisik Angga sekaligus merasa senang. "Aku akan menunggumu di rumah mama nanti malam."
Angga kemudian mendekap Quin dengan erat. Akan tetapi gadis itu tak membalas pelukan sang tunangan.
"Ehem, masih pagi woi, kalian ini bikin jiwa jombloku meronta saja," celetuk Al lalu duduk di sofa.
Angga melepas dekapannya. Akan tetapi, ia merasa kecewa karena Quin tak membalas pelukannya tadi. Yang dirasakan kini adalah hambar.
"Sayang, aku berangkat ke kantor sekarang," bisik Angga lalu mengecup pipi Quin. Dengan perasaan hampa ia meninggalkan tempat itu.
...----------------...