Reffan Satriya Bagaskara, CEO tampan yang memiliki segalanya untuk memikat wanita. Namun, sejak seorang gadis mengusik mimpinya hampir setiap hari membuat Reffan menjadikan gadis dalam mimpinya adalah tujuannya. Reffan sangat yakin dia akan menemukan gadis dalam mimpinya.
Tanpa diduga terjebak di dalam lift membuat Reffan bertemu dengan Safira Nadhifa Almaira. Reffan yang sangat bahagia sekaligus terkejut mendapati gadis dalam mimpinya hadir di depannyapun tak kuasa menahan lisannya,
“Safira…”
Tentu saja Safirapun terkejut namanya diucapkan oleh pria di depannya yang dia yakini tidak dikenalnya. Reffan yang mencari dan mengikuti keberadaan Safira di hotel miliknya harus melihat Bagas Aditama terang-terangan mendekati Safira.
Siapakah yang berhasil menjadikan Safira miliknya? Reffan yang suka memaksa atau Bagas yang selalu bertindak agresif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisy Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Tak Terduga
Di luar remang berangsur digeser senyuman sang mentari yang menghangat. Setiap insan pasti sudah sibuk setelah akhir pekan yang selalu dinanti. Hari Senin bagi sebagian orang memaksa dirinya untuk tersenyum karena terbayang rutinitas yang akan dilalui setelah liburan akhir pekannya. Namun bagi sebagian yang lain tak ada perbedaan, bagi pekerja harian akhir pekan bahkan mungkin menjadi ladang rezekinya, dimana dagangannya semakin laris. Merekalah para penjemput rezeki yang tak mengenal hari libur bahkan akhir pekan mereka lebih bersemangat dan berangkat lebih pagi untuk menyiapkan dagangannya. Begitulah setiap orang memiliki cara menjalani kehidupannya sendiri, bagaimanapun itu yang beruntung adalah mereka yang bersyukur karena dengan itu hidupnya serasa seluas samudra dan tak pernah lupa akan hadirnya Sang Pencipta di setiap detail kehidupannya. Pun demikian dengan gadis cantik yang saat ini menatap taman di depannya, hanya ada kaca yang memisahkannya. Sebelumnya gadis ini sangat bersyukur dengan kehidupannya, keluarga yang selalu menyayanginya walaupun jauh, teman-teman yang baik, pekerjaan yang nyaman yang selalu disyukurinya.
Tapi satu minggu sejak pertemuannya dengan Reffan, semuanya berubah di luar kendalinya. Terjebak di lift, ungkapan Reffan yang menginginkannya, kecelakaan dan kini harus terjebak di rumah sakit bersama Reffan.
Safira masih menatap taman di depannya saat pintu dibuka oleh seorang laki-laki tampan dengan ekspresi datar, siapa lagi orangnya jika bukan Reffan Satriya Bagaskara. Walaupun Safira tahu orang yang masuk tanpa permisi adalah Reffan tapi Safira tidak bisa mencegah kepalanya untuk menoleh ke arah laki-laki tersebut.
“Kenapa belum sarapan?” tanya Reffan datar saat melihat makanan di atas nakas yang masih utuh tak tersentuh.
“Aku ingin berbicara.” Sahut Safira sama datarnya.
“Sarapanlah dahulu baru kita bicara.” Reffan sudah berdiri di dekat nakas tempat diletakkannya sarapan untuk Safira.
“Tidak. Aku ingin bicara.” Safira memberanikan diri menatap Reffan.
“Ternyata kamu memang suka sekali dipaksa ya.” Reffan melangkah mendekati sambil menunjukkan seringainya membuat Safira kehilangan keberanian yang sudah disusunnya tadi.
“Ah, dimana keberanianku tadi, kenapa secepat ini kamu mengkhianatiku.” Cicit Safira dalam hatinya, kakinya tanpa sadar sudah mundur perlahan.
“Stop! jangan dekat-dekat!” Safira secepat kilat berusaha menghentikan langkah Reffan yang tinggal menyisakan satu meter jarak di antara mereka.
“Memangnya kenapa? Bukannya kamu minta digendong dan disuapin sarapan?” Reffan tersenyum menggoda.
Wajah Safira sudah memerah antara malu dan marah. Bagaimana laki-laki asing di depannya bisa dengan mudah mengatakan itu pada dirinya.
“Jangan memaksakan kehendak anda pada saya Pak Reffan, anda bukan siapa-siapa saya atau saya akan...” kata-kata Safira yang belum selesai sudah diputus oleh Reffan.
“Atau apa? Kamu akan berteriak? Lalu orang-orang akan datang menolong kamu. Safira kamu lupa siapa saya? Kamu berada di wilayah kekuasaan saya saat ini.” Reffan menatap tajam netra Safira, tatapan mengintimidasi yang membuat keberanian Safira langsung goyah.
“Apa yang anda inginkan dari saya Pak Reffan?” Suara Safira sudah melemah, dia mungkin bisa saja melarikan diri dari kamar ini tapi dia yakin tidak akan bisa meninggalkan rumah sakit ini.
“Makan! Baru kita akan bicara.” Jawab Reffan tegas.
Safira masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, dirinya tidak ingin menuruti perintah Reffan. Namun seketika tersadar saat Reffan akan melangkah semakin mendekat, Safira segera melangkahkan kakinya menuju tempatnya berbaring tadi. Reffan membuntutinya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Sekarang Safira sudah duduk di tempat tidurnya kemudian Reffan menggeser meja berisi makanan dan memutarnya di depan Safira, Safirapun menaikkan dan meluruskan kakinya di bawah meja berisi sarapannya.
“Habiskan!” perintah Reffan, kemudian Reffan menarik kursi dan mendudukinya di samping Safira.
Sangat terlihat kekesalan Safira dari wajahnya, dia menyendok nasi goreng di depannya dengan kasar.
“Anda memang luar biasa Pak Reffan, rumah sakit bisa menyediakan menu nasi goreng untuk pasiennya. Berapa yang harus saya bayar untuk menginap di rumah sakit berbintang ini.”
Reffan tersenyum mendengar perkataan Safira, “Kamu belum tahu banyak tentangku Safira, tenang saja kamu memang harus membayarnya nanti.”
Safira memicingkan matanya melirik Reffan kemudian dengan cepat menghabiskan sarapan dan meminum obatnya. Bagaimana Safira bisa menikmati makanannya jika sepasang mata elang terus mengawasinya seakan menunggu waktu yang tepat untuk menerkamnya.
“Aku sudah selesai.” Ucap Safira.
Reffan kemudian berdiri dan menarik meja yang digunakan Safira sarapan menjauh mendekati dinding. Kemudian Reffan duduk lagi di tempatnya semula dengan santai.
“Sekarang bisa kita bicara?” tanya Safira datar mencoba mengontrol emosinya.
“Bicaralah.” Sahut Reffan.
“Saya berterimakasih karena anda sudah menolong saya dan membawa saya ke rumah sakit ini. Kondisi saya sudah membaik. Saya bisa pergikan sekarang?” Safira mengatakan dengan suara rendah berharap Reffan mengabulkan permintaannya.
Reffan tersenyum kemudian bangkit ke meja di depan sofa mengambil tumpukan kertas kemudian berbalik kembali ke arah Safira, “Apa sudah sembuh?” tangan Reffan menggulung tumpukan kertas di tangannya.
Mata Safira yang memperhatikan gulungan kertas berubah melihat ke wajah Reffan, “Tentu saja, aku sudah baik-baik saja.”
“Auw!” Safira berteriak antara kaget bercampur sakit di lengan kanannya, dia tak menduga Reffan memukulnya dengan gulungan kertas di tangannya. Sebenarnya pukulan Reffan tidak keras tapi tepat mengenai lengannya yang masih bengkak.
Safira memandang Reffan sambil memegangi lengannya yang berdenyut.
“Kau bilang sudah baik-baik saja, kenapa menjerit? Haruskah aku memastikan bagian yang lainnya juga?” mata Reffan sudah menyapu tubuh Safira.
Safirapun segera menaikkan selimutnya hampir menutupi seluruh tubuhnya. Safira memandang Reffan dengan tatapan kesal, ingin sekali dia memukul wajah laki-laki di depannya yang sedang tersenyum mengejeknya.
“Ini akan segera membaik, saya tidak butuh perawatan di rumah sakit.” Safira masih mencoba membujuk Reffan agar membiarkannya pergi.
“Saya bisa mengurus diri saya sendiri.” ucap Safira lagi meyakinkan.
“Saya belum bisa membiarkanmu pulang dan tinggal sendirian dengan kondisi seperti ini.” Reffan menjawab datar.
“Pak Reffan, saya punya tanggung jawab, saya punya pekerjaan dan kehidupan saya sendiri. Tolong mengertilah!”
“Kamu sedang sakitkan? Saya akan mengurusnya ke tempat kerjamu.”
Safira melongo mendengar jawaban Reffan,” Pak Reffan, saya bukan tawanan anda, anda tidak bisa seenaknya sendiri mengurus kehidupan saya.”
“Kalau begitu menikahlah dengan saya, jadi kamu tidak perlu kuatir jika saya mengurusi kehidupan kamu.”
“Apakah di kehidupan anda sudah biasa menginginkan seorang wanita seperti menginginkan sebuah barang.” Ucapan Safira yang kemudian disesalinya karena berpotensi besar menyulut kemarahan Reffan.
Reffan menatap tajam Safira jelas sekali ada kemarahan di matanya, “Kamu pikir saya laki-....”
Klek
Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan dua pasang mata yang bersitegang.
“Mamaaa..”
secara pasangan menikah itu halal tp BKN muhrim jd ttp membatalkan wudhu...
pasal 2 boss salah, kembali ke pasal 1
wkwkwkwk
makasi yaa....
sukses terus utk outhorx semangat selalu utk berkarya lbh baik lg
next kisah anak² reffan lagi ya thor😁
Terimakasih semua sudah mendukung dan membaca hingga akhir.
Sempetin nengok novel Jejak di Pipi Membekas di Hati ya 😉