GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16. Nge-Rap di Depan Presiden
NOTE:
"Sabar itu seperti menunggu buah matang di pohon. Yang tidak sabar, akan memetik buah mentah, dan merasakan pahitnya kekecewaan."
***************
Setelah mengantar Tyas sampai di depan rumahnya, Kaesang langsung tancap gas menuju rumahnya. Rasa malas menggerogoti dirinya, ditambah kelelahan yang menghampiri, membuat dia tak ingin ke mana-mana lagi.
Begitu sampai di depan rumah, mobilnya meluncur mulus ke dalam garasi. Pintu garasi otomatis itu terbuka dengan sendirinya saat mobilnya memasuki area tersebut. Canggih, pikir Kaesang sambil tersenyum.
Setelah memarkirkan mobil, Kaesang bergegas keluar dan menuju lift yang berada di garasi. Dengan sekali tekan, ia langsung menuju kamarnya untuk beristirahat.
Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, Kaesang langsung ambruk di atas ranjang, masih dengan pakaian yang menempel di tubuhnya. Rasa kantuk menyergap, mengundang dirinya untuk terlelap. Namun, dahaga tiba-tiba menyeruak, mengusik ketenangannya.
Dengan malas, dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar, berniat menuju dapur untuk mencari minuman dingin di kulkas.
Saat menuruni tangga dan hendak menuju dapur, di ruang keluarga yang lokasinya tidak jauh dari tangga, Kaesang melihat mamanya, adiknya, dan papanya yang saat itu kebetulan sedang ada di rumah. Mereka bercanda tawa dan bercerita di sana.
"Untung papa ada di rumah jadi kita bisa ngumpul-ngumpul gini deh. Aku kangen banget tahu sama papa," ujar Lingga sambil memeluk papanya dengan erat, seakan tak ingin lepas.
Tak lama, mamanya pun ikut memeluk mereka berdua. Kehangatan pelukan itu diiringi senyum bahagia yang terukir di wajah mereka bertiga.
Zora, sang ibu, melepaskan pelukan itu dan mengusap lembut rambut Lingga.
"Papa juga kangen banget sama kamu. Ehm, kalian sudah makan, belum? Kalau belum, yuk kita makan di luar, tiba-tiba papa pengen makan di luar nih," Indra tiba-tiba mengajak Lingga dan istrinya, Zora, untuk makan di luar. Ketiganya saling bertukar pandangan, sampai akhirnya Zora membuka suara.
"Mama belum lapar sih. Tadi habis makan sama Lingga. Kalau Papa lapar, mending minta Bibi aja buat masakin, nggak usah repot-repot keluar. Panas tahu, Pa, di luar," ujar Zora sambil tersenyum, dan Lingga mengangguk setuju.
"Iya, Pa, kita sudah kenyang. Makan di rumah aja," sahut Lingga.
Kaesang terpaku di tempatnya, matanya tak lepas dari pemandangan di hadapannya. Lingga dan kedua orang tuanya berpelukan erat, tawa mereka bergema di ruangan.
Suasana hangat dan penuh kasih sayang itu membuat Kaesang terdiam, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ada rasa iri, tentu saja, tapi juga kebahagiaan yang tak terjelaskan. Entahlah, dia bingung.
Tiba-tiba Lingga menyahut, senyum mengembang di wajahnya. "Ehm, aku punya pilihan nih, kalian bisa pilih satu-satu, tapi kasih alasannya juga, ya!" Lingga terkekeh pelan, matanya berbinar-binar.
Indra dan Zora langsung tertawa mendengar ucapan Lingga. Keduanya bingung, kenapa putra mereka tiba-tiba bicara seperti itu.
"Maksud kamu apa sih, Ling? Jadi penasaran Papa," sahut Indra.
"Mama juga. Pilihan apa sih yang kamu maksud?" timpal Zora.
Sambil tertawa, Lingga menatap ke arah kedua orang tuanya bergantian, lalu ia menjawab.
"Ini mulai dari Mama, ya," ucap Lingga, senyumnya merekah. "Kalau Mama disuruh milih, Mama mau pilih siapa, aku atau Kak Kaesang?" tanyanya sambil terkekeh, matanya berbinar-binar. Jelas sekali, itu hanya candaan.
Kaesang terkesiap mendengar pertanyaan adiknya. Jantungnya berdebar kencang. "Apa maksudnya?" gumamnya dalam hati. Pertanyaan itu sungguh tak masuk akal.
Zora tersentak mendengar ucapan putranya. Matanya beralih sejenak ke Indra, lalu kembali tertuju pada Lingga. Dia tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.
"Bisa aja kamu ya, ehm, kalau Mama sih pilih siapa ya ... hehe pilih kamu dong, Sayang. Kamu kan lucu, ceria, dan baik hati. Mama sayang sama Lingga," Zora berkata sambil tersenyum, membuat Kaesang tercengang. Seolah-olah dia baru saja mendengar kabar mengejutkan.
Lingga mengerutkan kening. "Loh, kenapa aku? Bukannya Kak Kaesang lebih pintar dan baik? Kenapa Mama nggak pilih Kak Kaesang?" tanyanya sambil terkekeh. Lingga menganggap semua ini hanya candaan, tertawa lepas menanggapinya.
Zora tersenyum tipis, lalu menjawab, "Kakak kamu itu orangnya dingin, cuek. Sama Mama pun juga dingin dia. Udah nggak pernah ngobrol-ngobrol kayak gini lagi. Kalau kamu kan beda... Kamu ceria, jadi cahaya di hidup Mama. Mama sayang banget sama kamu."
Zora mengatakannya dengan tawa ringan, entah serius atau hanya bercanda. Lingga pun tertawa bersamanya, merasa ini semua hanya lelucon belaka.
Hahaha, tawa keduanya menggelegar, suara mereka bergema memenuhi ruangan. "Ih mama jahat. Kalo kak Kae denger pasti kak Kae bakalan marah sama mama. Tapi bener sih, kak Kae sekarang aneh. Kayak manekin nggak sih mukanya dia, nggak ada ekspresi, dingin, terus suka marah-marah lagi kalo ngomong sama aku ...
Eh, kok jadi curhat gini, ya? Haha. Nanti Kak Kae tambah marah lagi kalau dengar ini,"
"Pasti kakak kamu ngambek denger kamu ngejek dia gitu, haha," Zora ikut tertawa, menganggap lucu ocehan Lingga.
Indra yang memperhatikan obrolan itu segera menyahut, "Udah, nanti kalau Kaesang dengar bisa marah loh. Kalian tahu kan, sekarang dia udah nggak kayak dulu lagi. Udah, nggak usah dilanjutin bercandanya." Indra berusaha menghentikan canda yang menurutnya sudah mulai kelewatan.
Namun, di balik pintu, Kaesang mendengar semuanya. Hatinya mendidih, tak bisa menerima bahwa semua itu dianggap sebagai candaan. Niatnya untuk mengambil minuman di dapur langsung sirna. Dengan langkah cepat, dia berbalik dan kembali ke kamarnya.
Di kamar, Kaesang segera membuka lemari, mengambil beberapa pakaian ganti, dan meletakkannya di atas ranjang. Dengan cepat, pakaian-pakaian itu dimasukkan ke dalam ransel, bersama beberapa peralatan perawatan diri dan buku pelajaran.
Malam ini, dia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan menginap di apartemennya. Rasa kesal menyelimuti hatinya, namun dia sendiri belum yakin dengan keputusannya.
Setelah semuanya siap, Kaesang turun ke parkiran dan langsung masuk ke mobilnya. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, dia meninggalkan rumah menuju apartemen pribadinya.
"Bisa-bisanya mereka bercanda sampai seperti itu. Apa mereka nggak tahu kalau candaan mereka itu udah nyakitin aku?!" gumamnya kesal. Kehidupannya yang penuh keseriusan membuatnya sulit menerima kata-kata yang dianggapnya tak pantas dijadikan bahan lelucon.
Kaesang melaju perlahan, memasuki area basement apartemen elit yang megah. Mobilnya terparkir rapi, lalu dia melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit itu.
Menyusuri lorong-lorong yang elegan, Kaesang naik lift menuju lantai apartemennya. Begitu lift terbuka, ia tiba di depan pintu apartemennya yang mewah. Dengan sentuhan ringan, pintu itu terbuka, mengungkap keindahan ruang dalamnya. Kaesang melangkah masuk, pintu pun menutup secara otomatis.
Di rumah, Zora bangkit dari kursinya, menuju kamar Kaesang. Dia ingin mengajak putranya makan dan memastikan bahwa Kaesang sudah pulang.
Di depan kamar, Zora mengetuk pintu. "Kaesang, makan dulu, Sayang!" panggilnya. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Kaesang, kamu di dalam?"
Hening. Zora akhirnya memasukkan kode pin pintu kamar Kaesang dan membukanya. Lampu otomatis menyala, menerangi ruangan yang kosong.
Matanya menangkap buku yang tergeletak di atas nakas, dan seragam Kaesang yang terlipat rapi di atas ranjang. "Berarti Kaesang udah pulang, dong?" Zora berpikir keras. "Terus dia di mana sekarang? Kok nggak ada di kamarnya?"
Dengan perasaan cemas, Zora segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Kaesang. Berkali-kali ia menelepon, tapi tak ada jawaban. Rasa cemas semakin menyelimutinya.
Ia memutuskan untuk keluar dari kamar Kaesang dan mencari Indra. Mungkin saja Kaesang sudah memberi tahu Indra tentang keberadaannya.
Di apartemennya, Kaesang duduk di sofa yang empuk, menatap pemandangan kota yang terbentang indah dari balik jendela. Dengan secangkir kopi hangat di tangan, ia menikmati aroma yang menggoda sebelum menyesapnya perlahan.
Glek... Glek... Glek...
Ahh... Nikmat sekali. Setelah tetes terakhir kopi menyentuh lidahnya, Kaesang tersenyum tipis dan meletakkan cangkir kosong itu di meja samping sofa.
Matanya kembali menelusuri cakrawala kota yang tampak megah di luar sana, tetapi sorot matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Ia menarik napas panjang, seakan ingin menelan segala kerumitan yang tergambar di balik pemandangan itu.
Kepalanya menggeleng pelan, menolak kenyataan yang terasa sulit diubah.
"Tyas…" Nama itu terus berputar dalam pikirannya, hadir dalam setiap bayangan.
Satu kata terlintas di benaknya: PDKT. Mungkinkah ia bisa melakukannya? Apakah ketakutan lama yang dulu menghantuinya sudah hilang? Dulu, ia begitu takut menjalin hubungan dengan wanita. Tapi sekarang?
Sudahkah rasa takut itu benar-benar sirna? Atau, lebih baik ia langsung mengungkapkan perasaannya kepada Tyas tanpa basa-basi?
"Setelah apa yang terjadi hari ini, tiba-tiba gue keinget Bu Tyas. Apa sebaiknya gue langsung aja nyatain perasaan ke Bu Tyas? Gue nggak ahli PDKT, tapi kalau nyatain langsung gimana caranya?"
Kaesang merasa jantungnya berdegup kencang. Keputusan untuk langsung menyatakan perasaannya tanpa melalui pendekatan terlebih dahulu membuatnya gugup. Bagaimana caranya?
Langkah demi langkah untuk menyatakan cinta, Kaesang sama sekali tak tahu caranya. Sebelumnya, ia belum pernah mengungkapkan perasaan kepada seorang wanita.
Bersambung...
"PDKT itu ibarat nunggu kereta di stasiun. Kalau udah datang, naik aja. Kalau nggak, ya udah, jalan kaki aja."
*******
"Jangan buru-buru pergi, kawan. Kisah ini baru saja dimulai, dan petualangannya baru akan beranjak. Jangan lewatkan momen-momen yang akan membuatmu tercengang, tertawa, dan mungkin, meneteskan air mata."