NovelToon NovelToon
Benih Titipan Milik Tuan Marco

Benih Titipan Milik Tuan Marco

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Anak Genius / Anak Kembar / Identitas Tersembunyi
Popularitas:710.6k
Nilai: 5
Nama Author: kenz....567

"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.

5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.

"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.

Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."

Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rakael Sakit

Hujan di luar sana mulai mereda, menyisakan rintik halus yang mengetuk jendela, seolah berirama dengan detak jantung Mora yang tak menentu. Di dalam kamar yang temaram, Mora akhirnya berhasil menidurkan Rakael. Anak laki-lakinya itu kini anteng dalam balutan selimut tebal bermotif dinosaurus kesukaannya. Hidung mungil Rakael mampet parah, memaksanya bernapas lewat mulut yang sedikit terbuka, menghasilkan suara dengkuran halus namun mengkhawatirkan.

Tangan Mora terulur, menyentuh kening putranya. Panas. Badannya masih terasa hangat, membuat kekhawatiran merambat naik ke d4da Mora. Ketakutan itu selalu ada, takut demamnya bertambah tinggi di tengah malam. Mora memutuskan untuk mengamati sejenak. Jika panas tubuh Rakael terus merangkak naik cepat dalam 1 jam ke depan, ia tidak akan ragu membawanya ke dokter, tak peduli selarut apa pun malam ini.

Suasana kamar menjadi hening, hanya terdengar suara napas kedua anaknya. Perlahan, Mora mencondongkan tubuh, meng3cup pipi gembil Rakael dengan penuh kelembutan, lalu beralih ke keningnya yang hangat. Tatapan Mora kemudian bergeser, menatap lekat pada putrinya yang sejak tadi melakukan aksi mogok bicara.

Setelah memastikan Rakael nyaman, Mora beralih mendekati Vier. Gadis kecil itu tertidur memunggungi Rakael, tampak begitu lelap. Tangan Mora terulur, mengelus lembut rambut hitam putrinya.

"Mommy minta maaf, Sayang. Maafkan Mommy," bisik Mora dengan suara bergetar, menahan sesak. "Terima kasih sudah jadi kakak yang mengerti keadaan kita."

Mora meng3cup lembut kening putrinya, menyalurkan rasa sayang dan permintaan maaf yang tak terucap sepenuhnya. Setelah merapikan selimut Vier, ia melangkah pergi dengan berat hati. Tak lupa, ia mem4tikan lampu utama dan menyisakan lampu tidur yang remang-remang, lalu menutup pintu kamar dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara.

Tanpa Mora sadari, di balik punggung kecil itu, sepasang mata terbuka. Vier tidak tidur. Anak itu berbalik perlahan, menatap ke arah Rakael yang masih bernapas berat. Dengan gerakan tangan mungilnya, Vier membenarkan letak selimut adiknya yang sedikit tersingkap. Tatapannya teduh, namun menyimpan kedewasaan yang melampaui usianya. Setelah memastikan adiknya aman, rasa penasaran yang menggelitik sejak tadi mendorongnya untuk turun dari ranjang.

Perlahan, Vier membuka pintu kamar. Gerakannya sangat hati-hati, tak ingin engsel pintu yang sedikit tua itu berderit. Matanya menatap awas ke sekeliling lorong yang gelap. Telinganya yang tajam menangkap suara obrolan samar dari arah ruang tamu. Itu suara Mora dan Kirana, neneknya.

Vier melangkah tanpa suara, kakinya menapak dinginnya lantai keramik. Ia mendekat, lalu menyembunyikan tubuh mungilnya di balik kulkas besar yang membatasi dapur dan ruang tamu. Dari sana, ia bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

"Aku hanya perlu menjauhkan anakku dari keluarga Ramirez, Ma," suara Mora terdengar tegas, namun ada nada ketakutan yang terselip di sana. "Daddy mereka ... dia bermarga Ramirez. Walau di dunia ini banyak orang dengan marga Ramirez, aku akan menjauhi semuanya demi keselamatan mereka. Aku tidak ingin mereka diambil dariku."

Jantung Vier berdegup kencang. Ia mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Bahasa Indonesianya memang belum sempurna karena ia terbiasa dengan lingkungan lamanya, tetapi ia mengerti bahasa simpel dan kata kunci penting yang diucapkan Mora.

"Daddy ... Ramirez?" batin Vier.

Nama itu bergema di kepalanya. Selama ini, sosok ayah adalah misteri besar baginya dan Rakael. Mommy tidak pernah mau membahasnya. Tapi malam ini, sebuah petunjuk besar jatuh ke pangkuannya.

Khawatir ketahuan karena menguping, Vier segera berbalik. Ia setengah berlari jiinjit kembali ke kamar. Dengan napas yang sedikit memburu, ia naik ke atas ranjang dan menarik selimut hingga sebatas d4da. Matanya menatap Rakael yang masih tertidur lelap, tidak tahu apa-apa tentang rahasia besar yang baru saja kakaknya dengar.

Vier memiringkan tubuhnya, tidur menghadap ke arah saudara kembarnya itu. Tangannya terulur, menggenggam jari jemari Rakael yang terasa panas.

"Aku akan menemukannya, Raka," bisik Vier dalam kegelapan, sebuah janji terpatri di hati kecilnya. "Kita akan punya Daddy."

.

.

.

.

Keesokan paginya, kekhawatiran Mora menjadi kenyataan. Demam Rakael semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Wajah anak itu memerah, dan rengekan halusnya membuat hati Mora teriris. Masalahnya, ini baru hari kedua Mora bekerja di tempat baru. Dilema besar melandanya. Ia tidak mungkin mengambil cuti di minggu pertama bekerja. Ketakutan akan dipecat membayangi pikirannya, sementara naluri keibuannya menjerit untuk tetap tinggal.

Melihat kegelisahan putrinya yang mondar-mandir antara dapur dan kamar, Kirana turun tangan.

"Berangkatlah, Mora. Biar Mama yang bawa dia periksa ke dokter," ucap Kirana menenangkan, tangannya menepuk bahu Mora yang tegang. "Nanti kamu izin pulang cepat saja. Hari kedua kerja langsung izin libur itu tidak enak sama bosmu, Nak. Bisa-bisa kamu dapat catatan bvruk."

Mora menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Ma, aku minta maaf selalu merepotkan Mama," ucapnya lirih. Jika tanpa wanita paruh baya itu, mungkin Mora sudah kehilangan arah. Kirana adalah tiang penyangga hidupnya saat ini.

Kirana tersenyum hangat, senyum yang selalu bisa meredakan badai di hati Mora. "Tidak ada anak yang merepotkan orang tuanya. Itu tugas Mama. Pergilah, dan izin pulang cepat nanti siang. Setidaknya bos kamu akan lebih memaklumi jika kamu menunjukkan wajahmu dulu."

Mora mengangguk, sedikit lega meski hatinya masih berat. Ia menc1um Rakael dan Vier bergantian sebelum bergegas pergi bekerja, berjanji pada dirinya sendiri akan pulang secepat mungkin siang nanti.

Sepeninggal Mora, Kirana segera bersiap. Ia membawa Rakael dan tentu saja Vier yang tidak mungkin ditinggal sendirian di rumah ke rumah sakit terdekat.

Sesampainya di rumah sakit, suasana pagi itu cukup ramai. Aroma obat-obatan dan pembersih lantai menguar kuat. Kirana mengambil nomor antrean dan mencari tempat duduk di ruang tunggu yang dipadati pasien. Walau demam tinggi, Rakael rupanya masih memiliki sisa energi. Sifatnya yang aktif dan penuh rasa ingin tahu tidak sepenuhnya padam oleh penyakit.

Jaket tebal bergambar kartun membungkus tubuh kecilnya, dan selembar plester penurun panas tertempel rapi di keningnya. Hidungnya yang merah dan meler tercetak sangat jelas, membuatnya terlihat kasihan namun menggemaskan di saat yang sama. Ia berjalan tertatih ke sana kemari di sekitar kursi tunggu, sementara Vier duduk manis mengawasi adiknya dengan tatapan tajam bak seorang penjaga.

"Viel mau gak jadi doktel?" tanya Rakael tiba-tiba, menunjuk poster dokter yang tertempel di dinding lorong. "Kalau Viel jadi Doktel, Laka jadi penganggulan."

Vier mendelik, matanya membulat mendengar cita-cita adiknya yang aneh itu. "Pengangguran ... apa itu penganggulan?" tanyanya dengan nada ketus khas seorang kakak yang merasa lebih pintar. "Emang kamu gak mau kerja kayak Mommy? Biar dapet uang? Kita butuh uang buat beli mainan!"

Rakael menggeleng polos, wajahnya tanpa salah. "Kalau Laka kelja yang jadi pacien Viel ciapa? Nanti Viel nda ada uang, kacihaaaan ... Doktel kan butuh olang cakit," ucap Rakael dengan logika anak-anaknya yang ajaib, membuat Kirana yang mendengarnya tak kuasa menahan senyum geli.

Vier menghela napas kasar, memutar bola matanya. Berdebat dengan Rakael saat anak itu sedang demam ternyata lebih melelahkan. Tiba-tiba, ia merasakan desakan alam.

"Nenek, aku mau ke kamar mandi," ucap Vier seraya turun dari kursi tunggu.

Kirana segera berdiri. "Ayo, sini Nenek antar. Jangan sendirian."

Namun, Vier menggeleng tegas. Sifat mandirinya kadang terlalu kuat. "Vier bisa sendiri, Nenek. Kan ada petunjuk di sana," tunjuknya ke arah papan tanda toilet di ujung lorong. Vier memang cerdas, di usianya yang belia, ia sudah dapat membaca dengan lancar.

Belum sempat Kirana menjawab atau melarang, anak itu sudah melesat kabur lebih dulu menuju lorong toilet. Rasa was-was seketika menghantui Kirana. Zaman sekarang bukan zaman yang aman untuk membiarkan anak kecil sendirian di tempat umum, apalagi di rumah sakit yang ramai.

Kirana menatap sekeliling dengan panik, mencari solusi cepat. Ia tidak bisa membawa Rakael lari-lari mengejar Vier, napas anak itu sedang susah. Tatapannya kemudian jatuh pada seorang pria yang duduk di ujung kursi tunggu, tepat di sebelah mereka. Pria itu tampak rapi, sedang memegang pipinya seolah sedang menahan sakit gigi atau mungkin lelah menunggu.

Tanpa pikir panjang, insting mendesaknya. "Mas! Mas, maaf, bisa minta tolong jaga cucu saya sebentar?" pinta Kirana dengan nada memohon, sambil memindahkan Rakael duduk di sebelah pria itu. "Sebentar ajaaa, saya mau menyusul cucu perempuan saya ke toilet. Saya takut dia hilang."

Pria itu tampak terkejut, menoleh dengan alis terangkat. Namun sebelum ia sempat merespons, Kirana sudah memberi titah pada Rakael. "Sebentar aja ya, Rakael jangan ke mana-mana! Duduk sama Om ini!"

Kirana lekas berlari menyusul Vier yang sudah menghilang di belokan lorong.

Kini, tinggallah Rakael dan pria asing itu. Rakael menatap kepergian neneknya dengan tatapan polos, mengedip-ngedipkan matanya yang sayu. Setelah neneknya hilang dari pandangan, ia perlahan memutar kepalanya, menatap pria di sebelahnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia mendongak, memperhatikan wajah pria itu lekat-lekat.

Suasana hening sejenak di antara mereka, sebelum akhirnya suara cempreng khas Rakael memecah kebisuan.

"Nda bayal palkil dili kan Laka? Di titip cebental doang kok," celetuk Rakael dengan wajah serius, seolah-olah dirinya adalah sepeda motor yang baru saja diparkirkan oleh neneknya.

Pria itu menoleh kaku, menatap bocah inguusan di sebelahnya dengan tatapan bingung yang luar biasa. "Heuh? Kamu kira saya tukang parkir anak?"

Rakael meringis, "Mukanya milip tukang palkil," cicitnya yang membuat pria itu syok bukan main.

"Kamu—"

___________________________________

Maaap, semalem capek banget jadi langsung tidur😭 hari ini 5 yah, panjangkan nih bab😆

1
Teh Yen
apakah mereka benar" baik pada amora d kembar atau sandiwara saja? ada apa vier lebih baik katakan pada mony Mora kalau ada sesuatu yg mengganjal d hati
Ari Atik
muzuh dlm selimut
kaylla salsabella
wah kira" siapa lagi
Ari Atik
anne berbahaya..
Teh Yen
smoga Mora d terima d kluarga Ramirez
Hindra Cechen
2 bab aja kah thor /Sob/
Ihat Sutihat
ko aku merasa raka d balik kepolosan dan kanak2, punya jiwa jenius insting tahan yg peka akan sekitar😁
Ihat Sutihat: insting tajam maksudnya
total 1 replies
awesome moment
duh...msh sisa 1 dan marco g tau
Rani R.i
plottwis ternyata vier dan rakael jago bela diri dan memiliki insting yg tajam...supaya cepat ke bongkar semua teka teki yg ada dlm mansion Ramires,,,itu si Anne katanya seperti mengenal mora,,jgn bilang si Anne sudah membunuh ibu Lucia,,dan mengetahui tentang ibu Lucia sama mora di masalalu...
awesome moment
duh...ngabrut ditengah kekacoan
Hanima
😮😮
kaylla salsabella
jangan sampai kecolongan marco
Hanima
🤭🤭
Bu sry Devi
ini alasan Lucia melarang Mora ,jangan sampe benihnya Marco ketemu keluarga Ramirez ternyata memang jadi incaran
d'she wu
lah napa td kamyu ngasih inpo ke daddy gak komplit sih nak, ayo buruan bilang klo msh ada 1 yg ngintilin ngekol di belakang
d'she wu
besok kau pasang car seat aja bro biar si kembar duduknya aman 😉
Tria Mulyani
suka sama ceritanya
Rosy
kalau nggak napas bisa jadi ubi ya Raka 🤣🤣
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 💪🏻😍😍
Zainab Ddi
tuh Marco dengerin si Raka ternyata lebih tahu masih ada yg buntuti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!