Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.
Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas.
"Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang.
Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana.
"Hijrah, Man. Hijrah."
"Ogah!"
"Daripada di sono Kamu hidup susah?"
"Aku nggak susah!"
"Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?"
"Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi entah kenapa hati Iman terus menempel pada mereka.
"Ya udah kalo Kamu nggak mau. Nggak usah ngambek juga, kali!"
"Siapa juga yang mau jauh jauh dari rumah?"
"Kan anak istrimu ada sama Kamu? Apa masalahnya?"
"Itu namanya pemaksaan!"
"Lho, siapa yang maksa? Itu Aku cuma ngasih pendapat, juga saran. Kalo Kamu pengen tetap hidup susah itu mah urusan Kamu! "
"Nah 'kan. Nyumpahin, dah."
"Ish! Siapa lagi yang nyumpahin? Sarap Kamu, ya!" gertak Anto kesal. Iman menggaruk garuk kepalanya. Gemas akan ucapan Anto barusan.
Yang dikatakan Anto memang tidak salah. Tapi rasa ego melarang untuk mengakuinya.
Apa kata Anto kalau ia mengatakan tidak ingin berpisah dengan saudara saudaranya? Pasti jawabannya akan sama seperti Nisa saat istrinya itu mengajaknya pulang untuk tinggal bersama Mamanya.
"Saudara cuma bisa nyakitin aja di tempelin terus!"
Memang cinta Iman sungguh tidak terhingga kepada saudara saudaranya ini.
Kita kilas balik lagi, ya?
Tahun tahun emas di jalani Iman dan Nisa. Pemancingan galatama mereka ramai siang malam. Karena Nisa juga mendapatkan banyak uang dari warung pemancingannya, Iman mulai tidak memberinya uang belanja.
"Uang Mamah sekarang lebih banyak." begitu alasan Iman. Nisa mengalah dan tidak ingin menuntut.
Uang pemancingan di pegang Iman. Dompetnya sekarang sampai penuh sesak. Sebulan 2 bulan berlalu tanpa ada bahasa Iman untuk menyicil hutangnya pada Mama Wida. Pada bulan ke 3 Nisa mulai tidak tahan. Semua kebutuhan rumah telah ia penuhi dari warungnya, bahkan kebutuhan sekolah anak anak pun, ia yang penuhi. Kenapa tidak ada niatan sama sekali dari Iman untuk menyicil hutangnya? Untuk apa uang yang Iman pegang?
"Untuk anu, anu.." begitulah Iman. Bahasanya tidak jauh dari kata anu. Apa itu anu? Atau siapa itu anu?
"Pah, kapan Papah mau nyicil untuk bayar Mama?"
Iman terlihat acuh. Nisa mulai kesal.
"Pah! Kok diem aja, sih?"
"Nanti aja itu mah."
"Nanti kapan?"
"Ya nanti ajalah." Iman berlalu pergi. Ia terlihat malas melayani kicauan istrinya. Nisa hanya dapat menghela nafas.
Dompet yang tebal membuat iman merasa tidak nyaman mengantonginya saat ia tidur. Iman lalu meletakkan dompetnya di dalam laci lemari.
Nisa pun memiliki ide agar mereka dapat menyicil utang mereka.
Setiap malam Nisa mangambil selembar warna biru untuk ia simpan. Anehnya, Iman tidak pernah menyadarinya.
Sebulan berlalu. Lembaran biru itu terkumpul 30 lembar. Tau 'kan berapa jumlahnya? Nisa menambahkan 10 lembar lagi untuk ia kirimkan pada sang Mama.
"Maaf ya, Ma. Baru bisa nyicil sekarang."
"Kamu beneran sudah ada, Nak? Nggak papa kalau belum ada."
"Ada, Ma." Nisa merasa lega. Ia ingin membuat Mamanya menganggap Iman adalah orang yang bertanggung jawab.
Tiga bulan berlalu. Iman tidak juga menyadari kalau ia setiap hari kehilangan selembar uangnya. 3 kali juga Nisa menyicil pada Mamanya. Tapi hati Nisa merasa tidak tenang. Ia ingin berkata jujur pada suaminya.
"Pah, Mamah mau ngomong jujur, tapi Papah jangan marah, ya."
Iman mengangguk. Ia sedang bersiap siap untuk ' jaga malam '. Malam ada yang membantu menjaga warung, jadi Nisa bisa istirahat di rumah.
"Setiap hari Mamah ambil uang Papah 50 ribu." Iman tersentak. Sama sekali ia tidak menyangka Nisa dapat melakukan itu.
"Kok Mamah gitu?" Iman melotot.
"Kan Papah janji jangan marah." Nisa merajuk. Iman menghela nafas.
"Buat apa, sih? Mamah kurang terus, ya!" benar kata bang Edi. Semakin banyak istri pegang duit, semakin banyak kebutuhannya.
"Mamah ngumpulin buat bayar Mama. Sekarang berarti udah 3 kali bayar. Mamah tambahin juga dari uang warung."
Iman akhirnya mengangguk. Ia berusaha tidak menyalahkan istrinya.
Apakah Iman menyadari niat baik istrinya? Sepertinya tidak.
Mulai malam itu ia menyembunyikan dompetnya baik baik hingga Nisa tidak dapat 'mencuri' lagi.
Nisa menyesal telah berkata jujur karena akhirnya ia tidak dapat mengumpulkan uang dari Iman lagi.
*****
Blub!
"Mamah, TV nya rusak!" teriak Deni. Nisa bergegas keluar kamar. Si bontot yang nyaris tertidur menjadi hilang kantuknya. Ia mengikuti Nisa keluar dari kamar karena teriakan abangnya.
"Rusak gimana, Nang? Kamu apain?" Nisa sempat mendengar bunyi 'blub' tadi.
"Emang Deni apain, Mah? Tanya Abang Nino, tuh. " Nino menganggukkan kepalanya. Memang TV itu berbunyi 'blub' dulu sebelum mati total.
"Ya udah. Besok di servis deh."
"Kok besok? Nino lagi nonton Tsubatsa ni..!"
"Ya besok dong, Nang. Kalau nggak, nanti tunggu Papah pulang."
"Kalau di servis lama nggak?"
"Ya bisa lama, bisa sebentar."
"Yah, ketinggalan dong ceritanya."
Nisa menghela nafas.
"Nonton di rumah Wak Yanah aja."
"Nggak mau!" serempak anak anaknya berteriak.
"Ya udah, sabar. Nggak usah nonton dulu."
"Beli aja!" teriak si bontot.
Beli?
"Beli aja, Mah. TV itu juga terlalu kecil. Papah pengen yang lebih besar." begitu tanggapan Iman saat pulang.
Iman mengeluarkan uang dari dompet dan diberikan pada istrinya.
Nisa menghitung uang yang diberikan suaminya itu.
"Ini mana cukup untuk beli TV, Pah?"
"Kredit aja, Mah. Itu buat uang mukanya."
"Kok jadi utang?" Nisa tau, ujung ujungnya nanti ia yang akan membayar cicilannya.
"Kasian anak anak, Mah. Mereka nggak bisa nonton TV." Iman tau kelemahan Nisa. Kebahagiaan anak anaknya, itu yang utama.
Nisa mengalah. Ia pergi bersama anak anak mencari TV yang mereka inginkan.
"Yang ini, Mah." tunjuk Nino.
Pilihan Nino memang bagus. Tapi harganya juga bagus. Nisa membandingkan harga kontan dan harga kredit. Lumayan besar perbedaannya. Nisa merasa sayang. Ia mengecek ATM nya. Nisa ini memang rajin menabung. Ia juga dapat mrmbelikan hp untuk Nino dari hasil warungnya.
"Alhamdulillah cukup." bisik Nisa pada dirinya sendiri. Ia menguras semua tabungannya ditambah uang dari Iman, Ia membeli TV itu dengan harga kontan.
Anak anak senang, itu sudah cukup membahagiakan Nisa.
"Asyik! Nonton Tsubatsanya jadi gede!" Nino tertawa. Padahal ia sudah hampir lulus SMA, tapi masih sangat menyukai film Tsubatsa.
TV yang kecil tetap Nisa servis untuk di letakkan di dalam kamarnya.
********