Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Percakapan di Balik Bayangan
Di sebuah restauran di dal hotel, Clarissa duduk dengan gugup, memainkan sendok di tangannya. Ia mengenakan mantel cokelat muda yang cukup mencolok di antara pengunjung lainnya. Duduk di hadapannya adalah seorang pria muda dengan wajah teduh namun sorot mata yang tajam, David Liviu.
“Kenapa kita harus ketemu di tempat terbuka begini?” tanya Clarissa, setengah berbisik.
David menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Justru karena tempatnya terbuka. Orang nggak bakal curiga. Kau yang ngajarin itu dulu, kan?”
Clarissa mendesah pelan. “Aku takut Nathan tahu.”
David menatapnya lekat. “Clar, kita harus mulai serius. Waktu kita nggak banyak. Keluargaku ikut terjebak sama hutang-hutang ke keluarga ayahmu. Kau tahu itu.”
“Aku tahu…” Clarissa memandang ke luar jendela, menahan emosi. “Tapi aku juga lagi berusaha keras buat dipercaya sama Nathan.”
“Kau makin dekat sama dia?”
Clarissa diam sejenak. “Lumayan. Tapi… kadang dia seperti ragu.”
David menatapnya lekat-lekat. “Jangan terlalu larut. Ingat rencana awal kita. Jangan sampai semua ini cuma karena perasaan.”
Clarissa menatap David, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku nggak lupa.”
Setelah percakapan yang makin menyesakkan itu, David berdiri lebih dulu, melempar pandang sekilas ke arah Clarissa yang masih duduk terpaku. Ia tidak bicara apa-apa lagi, hanya menunggu di lorong menuju lift. Clarissa tahu apa artinya itu. Ia menarik napas panjang dan menyusul.
Kamar 712. Langit-langit tinggi, sinar matahari menembus tirai tipis yang membiaskan cahaya hangat ke dalam ruangan. Siang hari yang terlampau terang untuk sebuah rahasia kelam seperti ini.
Pintu belum sepenuhnya tertutup saat David menarik tubuh Clarissa ke pelukannya. Ciuman itu langsung panas, tergesa. Mantelnya jatuh ke lantai, begitu pula tas tangan dan logika.
David mendorong tubuh Clarissa ke dinding, tangannya tak sabar menyusuri lekuk tubuh yang sudah terlalu sering ia khayalkan. “Aku merindukan mu” gumamnya sambil mencium leher Clarissa, basah dan dalam.
“Aku juga sayang,” bisik Clarissa, menggeliat saat jari David menyelip ke bawah blusnya.
Kancing-kancing terbuka satu per satu, seolah tak sabar dibebaskan dari keteraturan. Napas Clarissa makin memburu saat David menekan tubuhnya ke ranjang, menciumi tiap inci kulitnya dengan mulut yang rakus. Bra-nya disingkap kasar, membuatnya mendesah tertahan.
“Jangan terlalu keras…” desisnya, tapi tak ada sungguh-sungguh di dalam nada itu.
David menyeringai, menatap mata Clarissa. “Kau suka kalau aku begini.”
Clarissa menggigit bibir bawahnya, lalu menarik kepala David untuk menciumnya lagi. Kali ini lebih dalam, lebih liar. Tubuh mereka saling berbenturan, kulit pada kulit, panas dan peluh bercampur dalam irama yang hanya mereka mengerti.
Clarissa melingkarkan kakinya di pinggang David, memanggilnya lebih dekat, lebih dalam. Di antara desahan dan suara kasur yang berderit ringan, mereka tak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbicara, tentang rindu yang terlarang, tentang cinta yang penuh tipu.
Clarisa dan david keluar dari hotel.
Namun saat itu juga, seseorang di kejauhan berdiri kaku. Nathan.
Ia tak mendekat. Tak langsung menyapa. Tapi cukup melihat, Clarissa dan pria asing. Terlalu dekat, terlalu akrab, terlalu mencurigakan. Matanya menajam, napasnya tertahan.
Lima menit kemudian, Clarissa baru menyadari kehadiran Nathan yang berdiri di ujung jalan. Wajahnya panik, namun segera ditutupinya dengan senyum. Ia berlari kecil menghampiri Nathan.
“Nathan! Eh, kamu di sini juga?”
Nathan mengerutkan dahi. “Kamu ketemu siapa tadi?”
Clarissa menoleh cepat ke belakang. David sudah tak ada. Ia tertawa gugup. “Oh, itu… sepupuku. Namanya Rio. Dia baru datang ke jakarta, aku menemaninya mencari hotel.”
Nathan tidak langsung menjawab. Sorot matanya masih mengawasi ke arah hotel.
Clarissa meraih lengannya, manja. “Kamu cemburu, ya?”
Nathan menggeleng pelan. “Nggak… cuma penasaran aja.”
“Yuk, kita jalan. Aku mau ngajak kamu ke toko buku itu yang kamu suka,” ujar Clarissa, menarik Nathan menjauh.
sehari setelahnya, hubungan Nathan dan Clarissa tampak membaik. Nathan tak lagi membahas pria yang ia lihat bersama Clarissa hari itu. Ia memilih untuk percaya, meskipun dalam hatinya, masih ada bayangan yang menggantung.
Clarissa menjadi lebih perhatian. Ia memasak sendiri untuk Nathan, menyelipkan pesan manis di dalam buku catatan kerja laki-laki itu, bahkan sesekali mengejutkan Nathan dengan pelukan dari belakang.
Nathan mulai merasa... nyaman. Seperti sedang jatuh cinta kembali, atau mungkin, masih belum selesai dari luka lama.