NovelToon NovelToon
Masa Lalu Pilihan Mertua

Masa Lalu Pilihan Mertua

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Poligami / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Thida_Rak

Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.

Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.

Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.

Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 Masa Lalu Pilihan Mertua

Pagi itu, Diva terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah menunaikan salat Subuh, ia segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan bagi suami dan ibu mertuanya. Ia tahu betul bahwa mertuanya tidak suka melihatnya bangun kesiangan.

Sambil menanak nasi, Diva membersihkan piring kotor yang tersisa dari semalam. Padahal, sebelum tidur ia sudah mencuci semuanya, tetapi ia tahu kebiasaan ibu mertuanya yang sering terbangun tengah malam untuk makan, lalu meninggalkan piringnya begitu saja.

Setelah dapur beres, ia melanjutkan pekerjaan rumah lainnya menyapu, mengepel, lalu mencuci pakaian. Saat nasi mulai matang, ia pun menyiapkan sarapan di meja makan. Belum sempat beristirahat, suara langkah kaki dari dalam kamar mengisyaratkan bahwa suaminya sudah bangun.

"Eh, Bang, sudah bangun?" sapa Diva lembut.

"Hmm... iya," jawab Arman datar.

Tanpa banyak bicara, Arman langsung menuju kamar mandi. Diva kembali ke pekerjaannya, memasukkan cucian ke dalam mesin pengering. Namun, sebelum sempat menyelesaikan semuanya, suara lantang terdengar dari ruang tengah.

"Diva! Diva! Diva!"

Nada suara itu terdengar kesal. Diva buru-buru menghampiri ibu mertuanya.

"Aduh, Div! Dipanggil bukannya nyahut!" sentak ibu mertuanya dengan nada ketus.

"Maaf, Bu, tadi Diva lagi mencuci baju," jawabnya pelan.

"Halah, alasan saja! Udah masak belum? Rumah udah diberesin?" tanya sang ibu dengan ekspresi datar.

"Sudah semua, Bu," jawab Diva singkat.

"Bagus. Cepat selesaikan semuanya."

Diva mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Arman yang sudah selesai mandi mulai bersiap untuk bekerja. Sebelum ia keluar kamar, Diva telah lebih dulu menyiapkan pakaian kerjanya.

Usai menjemur pakaian, Diva melihat suami dan ibu mertuanya tengah duduk menikmati sarapan. Ia pun kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah rapi, ia menghampiri suaminya dan mencium tangannya.

"Bang, hati-hati ya. Semangat kerjanya," ucapnya dengan ramah.

"Iya. Kalau sudah selesai, kamu istirahat saja," jawab Arman singkat sebelum berlalu dan melajukan mobilnya.

Tak lama kemudian, suara ibu mertuanya kembali terdengar.

"Diva, kamu sudah beres semua?"

"Iya, Bu, sudah," jawab Diva.

"Bagus. Ibu mau pergi. Kamu jaga rumah, ya."

"Iya, Bu."

Diva menatap punggung ibu mertuanya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dalam hati, ia tahu bahwa mertuanya sebenarnya bukan orang jahat. Hanya saja, mulutnya sering kali lebih cepat daripada hatinya.

Setelah ibu mertuanya pergi, Diva akhirnya duduk di meja makan untuk menikmati sarapannya. Usai makan, ia segera mencuci piring kotor bekas sarapan mereka, lalu beristirahat sejenak.

“Suntuk juga kalau tidak bekerja,” batinnya. Sebelum menikah, ia terbiasa bekerja. Meskipun saat ini ia tidak perlu bekerja di luar rumah, Diva tetap memiliki penghasilan sendiri. Ia memiliki sebuah minimarket di kota yang dikelola oleh kakak perempuannya. Setiap bulan, ia menerima bagian dari keuntungan minimarket tersebut. Namun, baik suami maupun mertuanya tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya mengira Diva berasal dari keluarga biasa saja.

Tak hanya itu, sebenarnya Diva juga lulusan S2. Namun, sejak awal pernikahan, ia memilih menyembunyikan hal itu karena khawatir Arman akan minder dan menjauh darinya.

Sambil bersantai, Diva mencatat daftar belanja bulanan. Hari ini, Arman menerima gaji, dan seperti biasa, ia harus memastikan kebutuhan rumah tangga tercukupi.

Menjelang siang, ibu mertuanya pulang sambil membawa makanan, termasuk untuknya. Diva pun menemani sang ibu makan bersama. Namun, di tengah-tengah suapan, pertanyaan yang selalu ia dengar kembali terlontar.

"Div, kapan sih kamu kasih Ibu cucu? Udah tujuh tahun kamu nikah sama Arman, tapi belum juga ada tanda-tanda," ucap ibu mertuanya.

Diva menarik napas dalam. "Iya, Bu. Diva sama Bang Arman juga sedang berusaha," jawabnya dengan tenang.

Namun, jawaban itu tampaknya belum cukup. "Apa kamu yang mandul?" ujar ibu mertuanya tanpa ragu.

Seketika, amarah membuncah di dada Diva. Namun, ia berusaha menahannya. Dengan suara tegas, ia berkata, "Ibu, tolong jaga ucapan Ibu."

Tanpa menunggu respons, Diva berdiri dan berlalu pergi, meninggalkan ibunya yang masih duduk di meja makan.

Di belakangnya, samar-samar ia mendengar ibu mertuanya menggerutu, "Dasar menantu egois."

Lalu, Diva pun masuk ke kamar sambil menangis. Aku juga ingin punya anak, tapi kalau Allah belum kasih, mau bagaimana lagi? Kami juga sudah berusaha dan memeriksakan diri… batinnya lirih.

Jam empat sore, Arman baru saja pulang kerja. Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Yang membukakan pintu adalah ibunya.

"Loh, kok Ibu yang buka? Mana Diva, Bu?" tanya Arman heran.

"Ada di kamar, lagi ngambek sama Ibu," jawab ibunya dengan nada datar, lalu duduk di sofa.

Arman menghela napas, lalu ikut duduk di samping ibunya.

"Ada apa lagi, Bu?" tanyanya lelah.

"Ya ampun, memang Ibu salah kalau nanyain cucu?" sahut ibunya.

"Tapi, kan, Ibu tahu kalau Diva pasti sedih kalau ditanya soal itu," jawab Arman.

Ibunya mendengus kesal. "Itulah kamu. Coba dulu kamu nikah sama Raya, pasti sekarang kamu sudah bahagia. Ibu juga sudah pasti punya cucu," katanya tanpa ragu.

Arman mengepalkan tangan, berusaha menahan kesabaran. "Bu, cukup ya. Aku sama Raya memang nggak jodoh. Ibu doakan saja aku sama Diva lekas punya anak," ucapnya tegas, lalu bangkit meninggalkan ibunya.

"Tidak! Anak dan menantuku semua egois!" omel ibunya sendiri.

---

POV Ibu Susan

Andai saja dulu Arman berjodoh dengan Raya, pasti aku sudah bahagia sekali. Tapi sayangnya, lamarannya dulu ditolak hanya karena dia belum menjadi PNS. Saat itu, Arman memang belum seperti sekarang…

Tapi bagaimanapun juga, aku tetap lebih menyukai Raya. Sudah cantik, sarjana pula. Tidak seperti Diva, hanya lulusan SMA. Apalagi, dia anak yatim, hanya punya seorang kakak perempuan di kota.

Lalu, Arman pun masuk ke kamar dan melihat istrinya sedang terlelap. Ia duduk di samping ranjang, menatap wajah lelah Diva.

"Maafin Ibu ya, Div. Ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu," ucapnya lirih.

Setelah itu, Arman beranjak untuk membersihkan diri. Ia menaruh baju kotornya di keranjang, sementara sayup-sayup, Diva mulai terbangun. Matanya mengerjap, melihat sekeliling.

"Loh, sudah jam berapa ini? Aku belum masak buat Bang Arman," gumamnya pelan.

Ketika ia hendak keluar kamar, Arman kebetulan baru saja selesai mandi.

"Bang, udah pulang dari kapan? Kok nggak bangunin aku?" tanya Diva.

"Abang baru aja pulang. Kamu tadi tidur, jadi abang segan mau bangunin," jawab Arman.

"Yaudah, tunggu ya. Aku masak dulu buat kita makan malam," ujar Diva, lalu bergegas ke dapur. Namun, saat sampai di sana, ia tak melihat keberadaan ibu mertuanya.

---

POV Arman

Aku sudah tujuh tahun menikah dengan Diva, wanita yang pertama kali kutemui di kota saat aku mengikuti tes CPNS dulu. Saat itu, aku bertemu dengannya secara tak sengaja karena ia sedang mengantar temannya. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikannya, karena saat itu aku masih bersama Raya.

Dulu, ibuku sangat yakin bahwa aku akan menikahi Raya. Namun, sayangnya, lamaranku ditolak hanya karena aku belum menjadi PNS. Aku sempat merasa galau berkepanjangan. Bagaimana tidak? Aku dan Raya sudah menjalani hubungan hampir tiga tahun.

Namun, takdir membawaku kembali ke kota karena ada urusan lain. Di sana, aku tak sengaja bertemu Diva lagi, kali ini di sebuah minimarket tempatnya bekerja. Kami mulai berbincang, bertukar nomor telepon, dan semakin sering berkomunikasi. Dalam dua bulan, aku merasa cocok dengannya dan memutuskan untuk menikahinya.

Saat itu, ibuku tidak setuju. Diva bukan menantu pilihannya. Namun, aku tetap teguh pada keputusan ini dan akhirnya menikahi Diva. Setelah menikah, aku membawanya ke kabupaten tempatku tinggal.

Tiga bulan setelah pernikahan kami, aku menerima kabar baik aku lolos tes CPNS. Alhamdulillah, aku diterima di daerah asalku. Sejak saat itu, ekonomiku mulai meningkat, dan aku akhirnya bisa membeli mobil.

Namun, Diva tak menghiraukannya. Ia segera menuju dapur dan membuka kulkas. Hari ini masak ayam goreng sama lalapan saja, pikirnya.

Sekitar satu jam kemudian, semua makanan sudah siap. Diva menatanya di meja makan lalu menutupnya agar tetap hangat. Setelah itu, ia segera membersihkan diri dan mengambil wudu untuk salat. Sementara itu, Arman pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib dan Isya.

Setelah salat, kami pun makan malam bersama. Aku sudah melupakan kejadian tadi siang dan memilih untuk menikmati momen ini.

Usai makan, Bang Arman dan ibu duduk di ruang tengah, sementara aku membersihkan meja dan mencuci piring. Setelah semuanya beres, aku ikut duduk bersama mereka.

"Nah, sekarang semuanya sudah kumpul. Saatnya aku bagikan gajiku ya," kata Arman sambil mengeluarkan uang. "Ini buat kamu, Div, dan ini untuk Ibu."

"Alhamdulillah," ucap Ibu dengan senyum puas.

"Makasih ya, Bang," aku pun ikut berterima kasih.

"Bu, Arman juga sudah kirim untuk Arini," tambahnya.

"Iya, sudah. Baiklah, Ibu masuk dulu ya," ucap ibu sambil berdiri.

"Iya, Bu," jawab Arman.

Saat ibu masuk ke kamarnya, aku menoleh ke arah suamiku. "Bang, besok aku belanja ya?" tanyaku.

"Iya, kamu atur saja. Kalau kurang, nanti bilang ke abang," jawabnya santai.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, "Bang, maaf ya, kalau sampai saat ini aku belum bisa kasih kamu anak."

Arman menatapku, lalu tanpa ragu, ia menarikku ke dalam pelukannya. "Kalau Allah belum kasih, ya kita sabar dulu ya," ucapnya lembut.

Aku menatap suamiku penuh rasa syukur. Terima kasih ya Allah, sudah menghadirkan suami seperti Bang Arman.

1
Pudji hegawan
cerita yg bagus
Thida_Rak: Terima kasih kak🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!