Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Menerobos
Wanita bertopi rajut menggenggam senjatanya erat. Kanzaki bersiap dengan pedangnya.
Kazehaya mengencangkan genggaman pada katana panjangnya.
“Kita harus pergi—sekarang!”
Namun sang biarawan menggeleng pelan. “Tablet ini tak bisa dibawa. Tapi kamu, Aylin... kamu bisa membawanya dalam bentuk lain.”
Ia menatap Aylin, dalam dan sunyi.
“Kamu adalah kuncinya. Pengetahuan itu telah diwariskan dalam darahmu, dalam ingatanmu... dan kini, dalam pilihanmu.”
Aylin menarik napas dalam. “Kalau begitu, bantu saya agar bisa membawanya dalam bentuk lain.”
Biarawan mengangguk cepat, memberi isyarat agar mereka mengikutinya.
Langkah mereka menggema di bawah lengkungan batu tua. Dindingnya basah oleh usia dan udara lembap yang membawa aroma lilin padam dan debu sejarah.
Di ujung lorong, sebuah pintu melingkar membuka perlahan saat biarawan menempelkan telapak tangannya ke ukiran berbentuk matahari yang bersinar samar.
Ruangan di baliknya seperti dunia lain. Kubah tinggi dihiasi lukisan langit malam. Lantainya mozaik bercahaya yang menyala lembut tiap kali diinjak. Di tengah: altar batu. Dan di atasnya—tablet hitam sebesar papan catur, berukir simbol-simbol mirip gugusan bintang... yang berubah perlahan, seolah bernapas.
Tablet itu hidup.
"Ini bukan sekadar ukiran," ujar sang biarawan. "Ini bentuk paling tua dari kode genetik yang dikunci dalam bahasa cahaya. Ia hanya bisa dibaca sekali—oleh darah Wardhana."
Saat Aylin melangkah, liontin berbentuk bintang enam di lehernya mulai berpendar. Bola kaca kecil di tengah liontin itu berputar cepat, memancarkan sinar biru keperakan yang mengalir lembut ke tablet, seolah hendak membangunkannya dari tidur panjang.
“Itu fragmen darah Wardhana,” gumam Kazehaya lirih. “Dan tubuhmu menyempurnakannya.”
Tiba-tiba, ransel Aylin yang tergantung di punggungnya bergetar halus—lalu makin kuat, seakan sesuatu di dalamnya ingin keluar.
Sebuah cahaya melesak dari dalam ransel, membentuk garis tipis menyusuri resleting yang setengah terbuka. Akay, yang sigap menyadari, segera menarik ransel itu, menemukan buku tua bersampul kulit hitam. Simbol berbentuk lingkaran bersilang di sampulnya kini bercahaya terang.
Tanpa ragu, Akay mengangkat buku itu, mengarahkan sampul bersimbol itu ke tablet.
Tablet mulai bergetar. Simbol-simbol di permukaannya bergerak lambat, seperti bangkit dari tidur ribuan tahun. Suara bergemuruh mengisi ruangan, membuat mozaik di lantai bersinar tak teratur.
"Ia mengenali frekuensi darah Aylin. Kode yang tertidur itu akhirnya menjawab panggilan pewaris sejatinya." Kazehaya mencengkeram dinding terdekat, rahangnya mengeras.
Kanzaki melirik tajam ke sekeliling, sikapnya kaku seperti hendak menarik pedang.
Wanita bertopi rajut membeku di tempat, kedua tangannya menekan erat bahu Kanzaki, matanya membelalak ngeri.
Sementara Aylin menggenggam liontinnya erat-erat dan Akay mencengkeram buku bersimbol di tangannya, mereka fokus menatap tablet, wajah-wajah mereka mengeras dalam ketegangan lagi
Getaran makin hebat. Tablet tampak berdenyut keras—tetapi belum terbuka.
Biarawan menatap Aylin, wajahnya tegang. Dengan suara hampir tak terdengar, ia berbisik, "Kata kunci."
Kata kunci?
Dalam desingan gemuruh itu, ingatan Aylin melesat—kepada catatan tangan Wardhana yang bersinar di buku tua, kepada pesan yang baru saja mereka temukan.
Dengan napas tercekat, Aylin mengangkat suara, membiarkan kata-kata itu mengalir dari hatinya.
"Yang menjaga seimbang tak butuh tahta, hanya hati yang tak gentar menjaga terang dalam bayang."
Begitu kalimat itu terucap, tablet bersinar membutakan. Getaran berhenti seketika; udara di ruangan seolah membeku, menahan napas bersama mereka.
Tablet perlahan terbelah di tengah, membuka dirinya dengan desis samar. Simbol-simbol di permukaannya berubah cepat, menciptakan denyut aneh seperti jantung purba yang baru saja dibangunkan. Dalam sekejap, tablet memancarkan cahaya menyilaukan—lalu menghilang. Seberkas sinar terakhirnya melesat, menyatu ke dalam pupil Aylin.
Rantai informasi turun-temurun itu kini lengkap. Darah Aylin tak hanya membuka tablet—ia menjadi medianya.
Biarawan menatapnya dalam diam, wajahnya keras bagai batu.
"Mulai sekarang... kamu tak bisa lagi mundur."
Di atas altar, cahaya tablet menyisakan pusaran holografik—ratusan simbol dan angka-angka berpola menari di udara, membentuk spiral berkilau yang berputar cepat dalam lingkaran tak kasatmata.
"Mulai," ucap biarawan, pendek dan mendesak. "Waktumu hanya lima menit. Setelah itu, tablet akan membakar dirinya sendiri."
Suara gemeretak berat terdengar dari pintu ruang suci. Pintu itu bergetar, seolah ada sesuatu—atau seseorang—yang memaksa masuk.
Akay melangkah maju, mengangkat senjatanya, matanya tajam menatap ke arah pintu. Kazehaya, Kanzaki, dan wanita bertopi rajut bergerak cepat ke posisi bertahan, masing-masing menggenggam senjata dengan tangan kaku.
Di tengah kekacauan itu, hanya Aylin yang tetap tak bergerak, duduk bersila di hadapan pusaran holografik. Matanya terpaku pada pola-pola yang terus berubah. Ia mulai membisikkan urutan simbol pelan, nyaris seperti doa, mengulanginya lagi dan lagi—menanamkannya dalam pikirannya yang berpacu melawan waktu.
Simbol-simbol itu aneh: kadang menyerupai huruf Sansekerta kuno, kadang tampak seperti heliks DNA yang berputar, kadang hanya garis-garis liar yang seolah menari dalam kekacauan teratur.
Keringat menetes di pelipisnya, matanya tak berkedip.
"Jangan hafalkan semuanya," kata biarawan, suaranya menusuk menembus suara gemuruh pintu. "Tangkap polanya. Ini bukan soal mengingat. Ini soal memahami."
Tiga menit berlalu.
Pintu ruang suci bergetar semakin keras, serpihan debu jatuh dari langit-langit.
Akay mengencangkan rahang, menarik pelatuk senjatanya. Kazehaya dan Kanzaki saling bertukar pandang—siap melindungi Aylin dengan nyawa mereka jika perlu. Wanita bertopi rajut membidikkan pistol ke arah pintu, jarinya tegang di pelatuk.
Mereka semua tahu.
Jika Aylin gagal, tidak akan ada kesempatan kedua.
Aylin menutup mata. Dalam benaknya, simbol-simbol itu mulai menyatu, membentuk irama aneh—seperti melodi dari mimpi lamanya.
Suara kakeknya berbisik di tengah pusaran pikirannya.
"Percayai hatimu, Aylin..."
Ia menghirup napas dalam, membuka mata.
“Sekarang,” bisik Aylin.
Tablet mendesis, lalu perlahan retak—pecah menjadi ribuan partikel cahaya yang beterbangan di udara sebelum menghilang.
Biarawan mengangguk, wajahnya keras tapi matanya menyimpan kepedihan.
"Mulai sekarang... kamu adalah penjaga terakhir dari potongan pertama."
Langkah-langkah berat menggema dari balik pintu, makin mendekat.
Pintu ruang suci bergetar hebat, mengguncang seluruh ruangan.
“Pergilah,” desak biarawan cepat. “Waktumu sudah habis.” Ia berbalik dengan sigap. "Ikuti aku," ucapnya, nadanya penuh ketegasan.
Biarawan berjalan cepat di depan mereka, jubahnya berkibar menyapu lantai batu yang dingin dan lembap. Tangannya menyusuri dinding kasar, lalu berhenti pada celah tipis hampir tak terlihat. Dengan gerakan terlatih, ia mengetuk tiga kali—lalu satu ketukan panjang.
Dinding batu berdesis pelan, lalu bergeser perlahan, membuka lorong sempit yang mengarah ke bawah tanah—gelap dan mencekam.
“Cepat. Jalan ini hanya bisa dibuka dari dalam,” katanya.
Tanpa ragu, Aylin melangkah masuk, diikuti Akay, Kazehaya, Kanzaki, dan wanita bertopi rajut.
Saat yang terakhir melewati ambang, biarawan menatap mereka dalam diam—tatapan terakhir, penuh beban pengetahuan dan pengorbanan.
Lalu ia menggeser pintu batu itu dari dalam, mengunci dirinya di dalam ruang suci... bersama takdir yang sudah ia pilih.
Tak lama berselang—
BRAKK!!
Pintu ruang suci hancur dalam dentuman menggelegar.
Debu dan serpihan batu beterbangan liar, membungkus altar kosong dalam kabut kelabu.
Tiga kelompok menerobos masuk bersamaan:
Di tengah, pasukan Black Nova berkekuatan penuh, dipimpin wanita berambut perak bermantel panjang.
Di kiri, pasukan bersenjata ringan berpakaian lambang kuno, dipimpin Balthazar berjubah hitam-emas.
Di kanan, tim kecil bertopeng baja hitam, tanpa lambang, dipimpin pria bertopeng.
Cahaya senjata otomatis menyorot ke sekeliling.
Tapi altar itu kosong.
Tablet suci—sumber formula—sudah tidak ada.
Wanita berambut perak mengepalkan tinju, rahangnya menegang.
"Telat," gumamnya, dingin.
Pria bertopeng melangkah ke depan, berlutut, meneliti debu bercahaya yang tersisa.
"Tablet itu belum musnah," suaranya berat di balik topeng.
"Ia telah berpindah... berjalan di luar sana."
Balthazar mendengus, langkah jubahnya bergemerisik.
"Bagus," katanya dingin. "Itu berarti warisan itu belum hilang."
Wanita berambut perak menoleh cepat ke arah Balthazar, suaranya ketus.
"Warisan? Ini soal masa depan dunia."
Ia menunjuk ke arah keluar.
"Formula ini akan menentukan siapa yang layak hidup... dan siapa yang tidak."
Balthazar terkekeh, mata tajamnya menyala.
"Aku peduli siapa yang berkuasa, bukan siapa yang hidup."
Pria bertopeng berdiri perlahan, mata tajam menembus celah pelindungnya. Tatapannya tajam, seperti pedang yang baru diasah, siap untuk memotong.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍