"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Malam yang tenang itu tiba-tiba terasa mencekam bagi Lily. Baru saja melangkah menjauhi gedung perusahaan untuk menuju halte bus, suara mesin mobil mendadak berhenti di dekatnya. Tak perlu tebak lagi, itu Hugo.
Lily menghentikan langkahnya, menghela napas kesal, lalu memutuskan untuk berjalan lebih cepat, berharap Hugo akan menyerah. Tapi pria itu bukan tipe yang mudah melepaskan. Pintu mobil terbuka, dan Hugo melompat keluar, menghampirinya dengan cepat.
"Lily!" panggilnya, mencoba meraih pergelangan tangan Lily.
Lily berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi dingin. "Apa lagi sekarang, Hugo? Kalau kamu mau menjemput Daisy, lakukan saja. Jangan ganggu aku."
Hugo mendesah, sorot matanya tajam, hampir terluka. "Aku tidak ada urusan dengan Daisy! Aku di sini untuk menjemputmu. Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Lily. Jadilah dewasa."
Lily mendengus, menatap Hugo dengan tajam. "Dewasa? Hugo, aku sudah cukup dewasa untuk tau kapan seseorang melewati batas. Kau hanya datang untuk memaksakan kehendakmu bukan? Aku tidak ingin bersama pria yang tidak tau cara menghargai keputusan orang lain. Tinggalkan aku sendiri!"
Hugo menyipitkan mata, langkahnya mendekat. "Aku memaksakan kehendakku? Kau pikir aku tidak punya hak untuk memperjuangkan hubungan kita? Kau selalu membuatku terlihat seperti penjahat, Lily!"
"Memperjuangkan? Kau pikir aku buta dengan apa yang terjadi di antara kau dan Daisy? Hak apa yang kau bicarakan, Hugo, setelah kau hancurkan semuanya?" suara Lily bergetar, bukan karena takut, tapi karena marah.
"Aku sudah bilang aku dan Daisy tidak ada apa-apa! Kau hanya cemburu berlebihan, Lily!" Hugo balas berteriak, wajahnya merah karena frustrasi.
Lily mendekatkan wajahnya, suaranya menurun menjadi dingin dan tajam. "Cemburu? Kau ingin aku cemburu pada wanita yang kau tiduri, kau peluk, hubungan lainnya di belakangku? Jangan bodoh, Hugo. Kau yang menghancurkan segalanya. Bukan aku."
Hugo terdiam, rahangnya mengeras. Ia mencoba bicara lagi, tetapi Lily memotong. "Cukup. Apa pun yang kau katakan sekarang tidak akan mengubah kenyataan. Pergilah, Hugo. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi."
Nada tegas Lily membuat Hugo terdiam, tetapi tatapannya menyiratkan bahwa ia belum menyerah. Tangannya kembali mencoba menarik Lily. Namun gerakannya berhenti mendadak, saat genggaman kuat menghentikan tangannya di udara.
Zhen berdiri di sana, tatapan tajamnya membuat Hugo tersentak. Suasana langsung tegang. Hanya suara angin malam yang terdengar, menciptakan tekanan yang hampir tak tertahankan.
Zhen tidak mengatakan apa pun, tetapi caranya melepaskan tangan Hugo membuat udara di antara mereka terasa semakin berat.
Hugo menatap Zhen dengan marah. "Siapa kau? Ini bukan urusanmu!"
Zhen tersenyum tipis, nyaris sinis. "Aku hanya pria yang tau batasan. Tidak seperti kau, yang memaksa wanita untuk tetap bersamamu."
Hugo mendengus, melangkah lebih dekat ke Zhen. "Kau bahkan tidak tau apa-apa! Aku hanya sedang berbicara dengan tunanganku."
Kata-kata itu membuat Lily merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Pandangan Zhen langsung tertuju padanya, tatapan dingin yang penuh arti. Seolah berkata, Jelaskan ini, Lily.
Lily merasa seperti dituduh berselingkuh di hadapan Zhen, meskipun kenyataannya terbalik. Dengan cepat, ia menggenggam tangan Hugo dan menarik Hugo menjauh.
"Ayo pergi, Hugo," ucapnya dengan nada tegas. Lalu, dengan nada formal, ia berkata kepada Zhen, "Permisi, Tuan. Saya akan menyelesaikan masalah ini sendiri."
Zhen tidak menjawab. Ia hanya diam, menatap Lily dengan sorot dingin, memperhatikan bagaimana wanita itu menggenggam tangan Hugo dan menarik pria itu menuju mobil.
Lily masuk ke dalam mobil bersama Hugo, tetapi sebelum pintu tertutup, ia sempat menatap Zhen yang masih berdiri tak bergeming di tempat. Dengan suara dingin dan tegas, ia memerintah Hugo, "Bawa aku pergi dari sini, sekarang."
Meski wajah Hugo penuh amarah, menurut. Ia menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya menjauh dari Zhen yang tetap berdiri di sana, memandang kepergian mereka dengan raut yang sulit diartikan.
Lily hanya bisa bersandar di kursi, menahan napas panjang sambil mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau.
Namun, Lily kembali melirik kaca spion mobil, memperhatikan sosok Zhen yang masih berdiri memandang mobil mereka yang semakin menjauh.
Tatapan dingin pria itu seolah menancap di pikirannya, membuat rasa cemas menjalar ke seluruh tubuhnya. Nafasnya berat, pikirannya penuh, sampai suara Hugo memecah keheningan di dalam mobil.
"Siapa pria tadi, Lily?" Hugo bertanya, nada suaranya penuh curiga. "Apa dia selingkuhanmu?"
Lily menoleh perlahan, menatap Hugo dengan mata yang lesu, wajahnya tampak tak semangat. "Selingkuhan?" gumamnya, nyaris mengejek. "Jadi menurutmu, semua pria yang melindungiku dari pria sepertimu, otomatis selingkuhanku?"
Hugo membuka mulut, hendak membalas, tetapi Lily melanjutkan dengan nada dingin. "Kalau begitu, bagaimana dengan kau dan Daisy? Saat kau bersenang-senang dengannya di belakangku, harusnya aku berpikir itu cuma urusan biasa kan?"
Kata-kata Lily memukul Hugo dengan keras, membuatnya terdiam. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang ia coba tutupi, tetapi tatapan matanya tak mampu menyembunyikan kegugupannya.
Lily mendesah panjang, melirik jendela sambil berkata lirih, "Hubungan kita sudah selesai, Hugo. Aku akan bicara pada nenekku di desa. Aku akan ambil cuti, menggunakan hari-hari yang kusimpan untuk rencana pernikahan kita yang sia-sia itu."
Hugo mengeratkan pegangan pada setir, rahangnya mengeras. "Lily, aku—"
"Tidak usah," potong Lily dengan cepat. "Apa pun yang kau katakan sekarang, aku tidak peduli."
Namun, Hugo tidak menyerah. Ia mencoba merayu, nada suaranya mulai lembut. "Sayang, aku tau aku salah. Aku khilaf. Tapi kita bisa memperbaiki semuanyakan? Kita bisa mulai dari awal lagi."
Lily mendengus, menahan emosi. "Aku sudah muak, Hugo. Muak dengan semua ini. Tidak ada yang perlu diperbaiki, karena aku sudah selesai denganmu."
Meskipun kata-kata Lily tajam, Hugo tetap tenang di luar, meski tatapannya perlahan berubah gelap. Ia tersenyum tipis, nada bicaranya mulai berubah menjadi sindiran.
"Jangan lupa, Lily. Kau juga tidak sepenuhnya bersih. Kau pikir aku tidak tau? Kau juga melakukan kesalahan, sama sepertiku. Kita sama, Lily. Sama-sama pernah khilaf."
Lily tertegun, kata-kata Hugo seperti tamparan. Tetapi ia segera menegakkan tubuh, menatap Hugo tajam. "Aku tidak selingkuh, Hugo. Kalau aku salah, itu hanya karena aku membiarkan diriku bertahan terlalu lama denganmu. Itu kesalahanku."
Hugo tertawa kecil, seolah-olah Lily baru saja mengaku kalah. "Sudahlah, sayang. Kita jalani semuanya dari awal. Kita tetap lanjutkan pernikahan kita."
Lily menatap Hugo lama tanpa berkata apa-apa. Baginya, setiap kata yang keluar dari mulut Hugo terasa hampa. Ia sudah lelah, terlalu lelah untuk terus menjelaskan. Sementara Hugo, dengan senyum percaya dirinya, merasa yakin Lily akhirnya luluh.
Namun, di dalam hati Lily, keputusan sudah bulat. Baginya, tidak ada lagi jalan kembali. Ia hanya menatap lurus ke depan, berharap perjalanan ini segera berakhir.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰