“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM35
"Dari mana kamu tau kalau Melodi keguguran karena obat penggugur janin?" Aldrick bertanya pada Vina dengan sorot mata dingin nan tajam.
Tatapan sedingin gunung es itu seketika membuat tubuh Vina membeku. Vina menyembunyikan tangannya yang bergetar ke saku jaket. Namun, wajahnya yang pucat memperjelas semuanya bahwa ia sedang ... ketakutan.
Ajeng dan Aldrick menatapnya tanpa berkedip, menunggu tabir kebenaran terungkap.
Vina menundukkan kepalanya, ia tidak bisa mengelak. Napasnya amat tercekat. Ia hanya bisa berharap, ada keajaiban yang akan menolongnya.
Tok!
Tok!
Tok!
Vina tersentak, netranya langsung memandang lekat ke arah pintu. Siapapun yang datang, ia yakin orang itu adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk membantunya lepas dari cengkraman Ajeng dan Aldrick.
'Semoga yang datang adalah orang yang bisa nyelamatin aku dari situasi yang kacau ini!' batinnya penuh harap.
Vina buru-buru berdiri dan melangkah, tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Tapi begitu pintu terbuka, wajah tegangnya langsung berubah masam.
Siti, sang ibu mertua justru datang di saat situasi sedang tidak baik-baik saja.
Perempuan paruh baya itu berdiri dengan ekspresi datar, tapi, matanya tajam menusuk. Tanpa menunggu izin, Siti langsung menerobos masuk. Tapi, saat melihat Ajeng dan Aldrick di ruang tamu, langkahnya langsung terhenti.
"Eh, Mbak Ajeng. Nak Aldrick ...," ucapnya, suaranya berubah lebih hangat. "Gimana kondisinya, Mbak? Maaf saya belum sempat untuk menjenguk."
"Nggak apa-apa. Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik," sahut Ajeng tak kalah hangat.
"Alhamdulillah ...." Siti langsung duduk di sebelah Ajeng, menggenggam tangan Ajeng dengan ekspresi serius. "Saya dengar, Melodi masuk rumah sakit. Sakit apa? Sekarang gimana keadaannya?"
Nada suara Siti terdengar tulus, rautnya benar-benar menunjukkan bahwa ia sedang khawatir. Vina yang berdiri di sudut ruangan, merasakan dadanya semakin sesak. Selama ini, jika dia sakit, ibu mertuanya tidak pernah mengkhawatirkan nya.
Vina menatap Ajeng, ia menunggu jawaban sang tante. Ia pun sangat penasaran, sakit apa sebenarnya wanita yang sangat tidak ia sukai itu?
Ajeng menarik napas, lalu menatap Siti dengan serius. "Maaf, untuk saat ini, kami memilih untuk tidak mempublikasikan dulu tentang kesehatan Melodi. Maklum lah, Siti, rambut sama hitam ... tapi, hati nggak ada yang tau. "
Jawaban Ajeng, membuat Siti terdiam sejenak. Matanya menyipit, alisnya berkerut. Ia menoleh ke arah Vina selama beberapa detik, sang menantu pun kini semakin tegang.
Siti mengangguk. "Ya, nggak apa-apa. Saya paham akan hal itu. Yang penting, bagi saya, semoga Melodi lekas diberikan kesehatan kembali."
"Aamiin, Aamiin Allahumma Aamiin," sahut Ajeng dan Aldrick bersamaan.
Tetapi, tidak dengan Vina. Batinnya justru mendoakan yang sebaliknya. 'Semoga cepat mampus tuh Benalu!'
"Tapi, ngomong-ngomong ... tumben Mbak dan Aldrick datang ke sini? Apa, Vina ada membuat masalah?" tanya Siti tiba-tiba, sedari tadi ia sudah curiga dengan situasi yang baginya terlihat ... tegang.
Ajeng menghela napas panjang. Tanpa berbasa-basi, ia langsung menceritakan semuanya—tentang gosip jahat yang disebarkan Vina.
Semakin lama Ajeng berbicara, wajah Siti semakin memerah. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.
Begitu Ajeng selesai bicara, Siti menatap Vina dengan tajam, tatapan itu seolah ingin menelan sang menantu hidup-hidup.
"Jelaskan semuanya," suara Siti dingin, layaknya bongkahan es.
Tatapan setajam belati yang dilayangkan Siti membuat Vina menelan ludah. Tangannya mencengkeram rok yang ia kenakan. "Bu ... aku ...."
"JELASKAN SEKARANG JUGA, VINA!" bentak Siti.
Tubuh Vina membeku. Ia ingin berbohong, tapi tahu bahwa hal itu percuma. Dengan kedua mata terpejam, dengan suara yang pelan, ia akhirnya mengakui.
"Aku dan Karin yang merencanakan itu semua. Saat acara syukuran di rumah Tante Ajeng, aku bertugas untuk mengalihkan perhatian Tante. Sementara Karin—" Vina menggantungkan kalimatnya saat melihat Aldrick berdiri. Jantungnya seketika berdetak kencang saat sang sepupu berjalan mendekat.
Napas Aldrick memburu, terdengar berat akibat menahan amarah yang nyaris meledak. Tangannya mengepal, siap-siap memberi pelajaran untuk Vina.
PLAK!
Namun, Siti lah yang terlebih dahulu menampar Vina. Tamparan itu begitu keras, rona merah pun membekas.
Vina tersentak. Kepalanya terdorong ke samping, kulitnya terasa panas. Matanya membulat tak percaya.
"Memang binatang kau ya!" suara Siti terdengar mirip dengan sound Bunda Corla yang sangat viral di sosial media.
"Kau itu perempuan! Kau juga pernah hamil! Kok bisa-bisanya kau ngelakuin ini ke orang lain?! Kau ini bener-bener IBLIS!" suara Siti bergetar karena emosi.
Vina menggigit bibirnya. Matanya panas, tapi ia tahu menangis takkan membantu.
"Ini semua tuh karena Ibu! Ibu selalu membanding-bandingkan aku dengan Melodi! Padahal, aku yang tiap hari ngurusin Mas Tono, aku yang ngurusin cucu Ibu, aku yang ngurusin rumah. Tapi? Selalu Melodi—Melodi—Melodi!"
Siti langsung berdiri, ujung jarinya langsung menyapu debu di atas meja. Tumpukan debu tebal di ujung jarinya, langsung ia tunjukan di depan mata Vina. "Ini? Yang katanya kau mengurus rumah?"
Kemudian, Siti menatap Budi yang bersembunyi di balik tirai. Telunjuk penuh debu itu menunjuk Budi. "Itu yang kau bilang mengurus cucu ku? Tak kau lihat mulutnya belepotan coklat?!"
Lalu, Siti berjalan ke sisi sofa. Mengambil kemeja putih kotor milik sang putra. "Ini? Yang kau bilang mengurus anak ku? Buta mata mu? Sampai tak bisa kau lihat daki-daki menghitam di kerah leher kemeja ini? HAH?"
Siti membanting kemeja itu di lantai. "Kau yang pemalas, kau yang tak becus, giliran di sandingkan dengan yang bermutu dan berkualitas? Kau marah? Harusnya kau berbenah diri! Gila kau ni, Vina?!"
Vina membuang wajah, enggan melihat sang mertua dan juga yang lainnya. Fakta-fakta yang disebutkan Siti semakin membuatnya merasa kerdil.
Dengan dada yang kembang kempis, Siti menatap Aldrick. Ia meraup kasar wajahnya sebelum berbicara. "Nak Aldrick, lakukan lah apa yang perlu kamu lakukan. Jika memang harus diproses hukum, maka lakukan lah. Jangan ragu hanya karena ia sepupumu, jangan ragu hanya karena ia seorang istri dan seorang ibu, toh dia tidak pernah benar-benar mengurusi keluarga kecilnya. Jadi, jika penjara akan membuatnya jera, lakukanlah!"
Vina menoleh cepat ke arah sang mertua. "BUUUU! TEGA BANGET IBU MEMPROVOKASI ALDRICK SEPERTI ITU?!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Karin baru saja pulang bekerja. Di sepanjang koridor apartemen nya, ia mencapit hidungnya sendiri. Ia tidak tahan mencium aroma tubuhnya sendiri.
Rambutnya lepek, wajahnya kusam, ketiaknya beraroma masam. Ekspresi wajahnya jangan ditanyakan lagi, benar-benar muram. Yang ia inginkan saat ini adalah, sampai di istana mungilnya, membersihkan tubuhnya dengan sabun dan shampoo mahal, lalu tidur sepuasnya.
Tapi begitu ia sampai dan masuk ke ruang tamu, langkahnya langsung terhenti. Mata lebar Karin menatap tajam ke arah wanita separuh baya yang duduk di atas sofa mahalnya.
"Kenapa belum pulang?" tanya nya sinis pada Ratna, pembantu yang baru tiga hari ini bekerja padanya. "Duduk di bawah, jangan di atas sofa. Kalau kena daki, susah hilangnya."
Ratna tertegun sejenak, lalu ia segera menyingkir dari sofa mahal milik sang majikan. Begitu Ratna duduk di bawah, Karin langsung menyambar botol berisi cairan antiseptik dan langsung menyemprotkan nya ke atas sofa yang diduduki Ratna tadi. Bergantian lah Karin yang duduk di sana.
"Ada apa? Cepat bicara, aku lelah!" ketus Karin.
Ratna tampak ragu-ragu berbicara. "Saya mau ambil gaji, Mbak Karin. —Kan sudah tiga hari kerja."
Ratna berusaha mengingatkan tentang perjanjian gaji yang sudah disepakati di awal, yaitu pembayaran setiap tiga hari sekali.
Karin memutar malas bola matanya. "Ambilnya nanti aja, tiga hari lagi aja sekalian. Jadi total enam hari!"
Ratna meremat ujung bajunya. "Tapi, Mbak Karin—Saya butuhnya sekarang, Mbak. —Enghhh, saya mau beli hadiah buat cucu saya."
"Halah, kado doang." Karin menatapnya dengan sinis, lalu tertawa kecil. "Hidup itu semampunya. Ngapain pake kado-kadoan segala, kayak penting aja! —Pokoknya tiga hari lagi. Sekarang aku nggak ada cash, males banget mau ke ATM kalau cuma buat ngambil receh."
Ratna mengepalkan tangannya. Dadanya bergemuruh. "Tapi, Mbak—"
"Kamu mau saya pecat?!" potong Karin, suaranya penuh ancaman. "Saya paling anti mempekerjakan orang yang kerjanya baru bentar, tapi udah berisik banget masalah duit. —kalau mau, tiga hari lagi. Kalau masih mau ngotot juga, kamu keluar aja dari sini. Dan ... jangan harap saya bakal bayar gaji kamu. —Masih banyak kok yang mau kerja!"
Untuk sesaat, ruangan menjadi hening. Hanya tatapan Ratna yang mendominasi keadaan. Matanya sedikit bergetar. Tapi, bukan karena takut. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—sesuatu yang membuat Karin sedikit gelisah.
*
*
*
itu rumah makan menyediakan saksang,yg dari daging *bebi* kan?