Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghubungkan Semua Bukti
Ruangan kerja Naya terasa hening di malam yang nyaris mencapai tengah malam. Di depan matanya, tumpukan dokumen, foto-foto, dan artikel berita tersebar di meja. Keempatnya telah tewas. Dalam dua bulan terakhir, mereka menjadi berita utama dengan nasib tragis masing-masing.
Naya memandang foto-foto mereka dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang menghubungkan keempat orang ini dengan Jonas, rekan kerjanya yang meninggal tiga tahun lalu saat menyelidiki proyek Astra Land. Mayat Jonas tidak pernah ditemukan, dan Naya sudah menerima kenyataan bahwa ia telah mati. Namun, fakta-fakta yang baru ia temukan kini membawa kejelasan mengejutkan, kematian Jonas bukan kecelakaan, dan keempat korban ini adalah bagian dari penyebabnya.
Semua ini dimulai dua minggu lalu ketika Naya menemukan sebuah dokumen tua di arsip kantor tempat Jonas dulu bekerja. Dokumen itu berisi laporan rahasia tentang proyek Astra Land, yang menunjukkan adanya manipulasi besar-besaran terkait keuangan dan keselamatan kerja. Salah satu halaman dokumen itu menyebutkan nama Jonas sebagai ancaman potensial karena ia mengetahui rahasia proyek tersebut.
Namun, bagian yang membuat Naya terpaku adalah daftar nama di akhir dokumen. Di sana, tertulis nama-nama orang yang bertanggung jawab atas operasi "pengamanan."
"Pengamanan," pikir Naya, kata itu terdengar dingin. Itu bukan tentang melindungi, melainkan menyingkirkan.
Naya mulai menggali lebih dalam tentang keempat korban. Ia membaca berita lama, laporan keuangan, dan wawancara dengan orang-orang yang mengenal mereka. Lambat laun, potongan-potongan cerita mulai terbentuk.
Darman dan Adrian, sebagai pemimpin proyek, adalah orang yang paling banyak mengambil keputusan besar, termasuk menyetujui rencana untuk "menghilangkan" Jonas. Ia memiliki kedekatan dengan pihak keamanan proyek dan diduga memerintahkan eksekusi Jonas.
Adrian juga menyewa pengacara yang licik, dan memberikan tugas kepadanya untuk memastikan tidak ada dokumen resmi yang mengarah pada Jonas atau kecurangan proyek. Ia menyusun kontrak-kontrak palsu untuk menutupi jejak mereka.
Rudi bertanggung jawab menyalurkan uang ke pihak-pihak tertentu agar mereka tetap bungkam, termasuk membayar preman untuk melakukan pekerjaan kotor.
Randi adalah orang yang terakhir melihat Jonas hidup. Ia seorang aktor pendatang yang memastikan semua bukti fisik, termasuk barang milik Jonas, menghilang setelah kejadian.
Saat menghubungkan peran-peran mereka, Naya merasa marah sekaligus ngeri. Mereka semua telah berkontribusi pada kematian Jonas, baik langsung maupun tidak langsung.
Malam semakin larut ketika Naya menyusun ulang bukti-bukti itu di mejanya. Ia mencatat pola kematian para korban, mencoba memahami apakah ini kebetulan atau sesuatu yang lebih besar. Darman, Adrian, Randi, dan Rudi, mereka berempat saling berhubungan secara langsung setelah proyek Astra Land ditutup.
Angin malam masuk melalui jendela yang setengah terbuka, membuat Naya merapatkan sweater nya. Tiba-tiba, telepon di meja berdering, membuatnya terlonjak. Ia tidak mengenali nomor itu, tapi ia mengangkatnya.
"Jangan terlalu jauh, Naya," suara di ujung sana terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Lalu, sambungan terputus.
Naya membeku. Ia menatap ke sekeliling ruangan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ia tahu ia tidak bisa berhenti sekarang.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 23.55, Naya akhirnya menyadari satu hal yang mengerikan. Keempat orang itu tewas setelah proyek Astra Land ditutup, mungkin untuk menutup mulut mereka atau mungkin juga sebagai bentuk pembalasan. Namun, motif sebenarnya tidak terlalu penting bagi Naya. Yang lebih penting adalah kebenaran bahwa mereka semua bertanggung jawab atas kematian Jonas.
Naya menatap foto Jonas yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jonas tersenyum lebar, seperti pria yang tidak pernah merasa takut. Tapi Naya tahu, senyuman itu menyembunyikan beban besar,beban yang akhirnya merenggut nyawanya.
Kini, ia merasa seolah-olah Jonas berbisik dari balik kematian, “Kau harus menemukan kebenarannya.”
Dengan bukti-bukti di tangannya, Naya tahu ia sudah selangkah lebih dekat ke kebenaran. Tapi langkah berikutnya akan berbahaya, dan ia tidak tahu apakah ia bisa melangkah sejauh itu.
Jam berdentang tengah malam. Di luar, kota tetap sunyi, sementara Naya merenung dalam diam. Ia telah menghubungkan titik-titik, tapi jalannya masih panjang. Kematian Jonas, dan keempat orang ini, adalah bagian dari gambaran besar yang harus ia ungkap.
Ia menutup dokumen di mejanya. "Jonas, jika saja waktu itu kau memberi tahukan pada ku. Mungkin saat ini kau masih tetap hidup, Jonas." Naya bersandar di kursinya menutup matanya dan menghela napas berat.
"Jonas, kenapa harus secepat ini? Dulu, kamu begitu bersemangat tentang proyek itu. Tapi, karena proyek itu juga, kau pergi meninggalkan ku. Aku ketakutan, dan aku penuh akan penyesalan, Jonas. Aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkan mu."
Naya kembali menatap foto Jonas dan dirinya. "Aku juga tidak tahu, apa yang harus aku katakan pada adikmu. Aku tidak memiliki keberanian. Bukankah, aku seorang pengecut, Jonas? Haha," Naya mentertawakan kebodohannya sendiri.
"Berhentilah bergumam sendirian, Senior. Orang-orang akan mengira bahwa anda berbicara dengan hantu," sapa Evan melewati kursi Naya.
Naya menegakkan tubuhnya dan menatap lekat pada juniornya itu. Tak disangka, bahwa lelaki ini bisa menyeimbangi kerjanya selama dua bulan belakangan ini.
"Hei, bocah!" panggil Naya.
"Apa?" jawab Evan ketus.
"Kau tahu, jika ku lihat-lihat, kau cukup baik," ujar Naya menelungkupkan kepalanya di sela-sela tumpukan tangannya dan menatap Evan dengan senyumannya yang tipis.
Evan menatap Naya, dia tetap menatap dan tak bergeming sedikitpun. Hal itu membuat Naya malu dibuatnya.
"Hei, jangan diam saja. Aku baru saja memujimu, loh. Bukannya berterima kasih," gerutunya dan mengalihkan pandangannya kearah yang lain. Entah kenapa, wajah Naya terasa panas. Padahal cuaca malam ini sangat dingin.
"Mmm, bocah," panggil Naya kembali.
Evan berdehem memberikan jawaban pada Naya.
"Kenapa kamu masuk sekolah kepolisian, dan mengambil bagian detektif?" tanya Naya.
"Saya sudah pernah mengatakan ini sebelumnya." Evan menghentikan kegiatannya dan menatap Naya.
"Saya juga merasakan perasaan yang sama, seperti anda. Perasaan kehilangan, dan perasaan frustasi," ucapnya lalu beralih pada layar komputernya.
"Tapi, saya tidak terlalu bodoh seperti anda yang menghindari masalah, dan tenggelam dalam keterpurukan," sambung Evan memberikan sindiran pedas buat Naya.
"Hei!" teriak Naya tidak terima, ia berdiri dan menghampiri meja Evan.
"Aku tidak menghindari masalah, ya. Dan aku juga tidak tenggelam dalam keterpurukan. Hahh, lihatlah bocah sombong ini, bisa-bisanya dia bersikap seperti itu pada seniornya!" ujar Naya mengipasi wajahnya yang memerah menahan amarah.
Evan berdiri dan mendekati Naya secara perlahan. Hal itu membuat Naya terkejut, ia mundur dengan spontan dan pantatnya terbentur oleh meja kerja, hingga membatasi pergerakannya. Naya mewaspadai bocah didepannya ini. Ia dikurung oleh dua lengan besar bocah yang ada didepannya ini dan memajukan tubuhnya. Dengan itu, Naya spontan memundurkan tubuhnya juga. Ia melirik kanan kiri, kenapa kantor ini terasa sepi? Ah, dia baru ingat. Bahwa malam ini adalah tugas mereka jaga malam.
"A...apa? Mau apa kau?" kata Naya berusaha menahan kegugupannya.
Evan tak menjawab, ia menatap lekat di mata Naya. Memperhatikan bola mata Naya yang masih bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Mata anda menyimpan penyesalan. Tetapi, mata anda lebih cantik ketika anda tersenyum."
Setelah mengatakan itu, ia langsung mundur dari posisinya dan kembali bekerja di meja kerjanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Apa-apaan bocah ini?!" kesal Naya dan kembali ke meja kerjanya, merenungi perbuatan bocah ingusan itu barusan.
...To be continue ...