Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia, nggak suka perempuan?
Baru hari pertama, dia sudah membuat kekacauan. Darel benar-benar merasa kacau, kepergok dengan sang ayah, di lift, membuatnya semakin panik. Masalahnya saat ini, dia sedang menggendong Meira dan dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Kamu apakan dia?” hentak Ibra. Ya, hari itu dia memang ingin mengunjungi Darel, melihat bagaimana situasi dan kondisi saat anaknya itu memimpin meski hanya sebatas direktur marketing.
“Dia, pingsan sendirian di mejanya, sedang bekerja.” sahut Darel gugup. Tanpa menyebut ayah atau pak karena di sana, masih ada Nia yang terheran-heran dengan keadaan, Darel terlihat cukup ketakutan ketika menghadapi lelaki paruh baya, alias om-om namun masih ganteng dan berkarisma.
Oh Tuhan, cobaan apalagi ini? bahkan om-om juga terlihat menarik di mataku. Otak Nia mulai nakal.
Nia menggeleng, dia harus fokus pada nasib Meira yang masih berada di gendongan Darel, si bos yang suka mengakibatkan gemetar.
“Bohong, Om. Tadi, Pak Darel marah-marah, mungkin Meira nggak nyaman, mengalami stress dan tekanan batin.” tanpa tahu dia berbicara dengan siapa, pemilik perusahaan tempat dia mengadu nasib, Nia menerocos, menyudutkan Darel.
“Sudah cepat, bawa dia ke rumah sakit!” titah Ibra.
“Kamu kembali ke ruangan, ini masih jam kerja!” titah Darel pada Nia, langkahnya terhenti seketika.
Terjadilah saling memberi titah di depan pintu lift.
Awalnya, Darel ingin membawa Meira menggunakan mobilnya. Tapi, dia ingat mobilnya sedang di bengkel, akibat ulah wanita ini. Lagi-lagi, Darel menggerutu, dasar si sumber masalah.
“Mobilmu di bengkel, kan? sudah sana, naik ke mobil ayah!” Ibra mengambil langkah cepat, membukakan pintu mobil, Darel masuk dan meletakkan Meira secara asal, layaknya boneka yang bisa di letakkan sembarangan.
“Nggak begitu, caranya. Paling nggak, biarkan dia bersandar di bahu kamu.” Ayah kembali memberi titah. Percayalah, kehadiran Ibra benar-benar membuatnya gemetar. Mungkinkah dia kena karma?
Entah bagaimana, akhirnya Darel membiarkan Meira setengah berbaring dan menggunakan pahanya sebagai bantal. Mereka menuju rumah sakit, dengan di antarkan oleh sopir pribadi Ibra.
\~
Sekitar satu jam, Meira sadar diri dan mulai membuka mata, tangan kanannya terpasang jarum infus. Dokter belum bisa memastikan penyebab Meira pingsan. Wanita itu membulatkan matanya sempurna. Mengedarkan pandangannya, ke sekeliling. Yang dia ingat, terakhir kali adalah dia meletakkan kepalanya di atas meja kerja.
“Apa betul yang dikatakan karyawanmu tadi?” Ibra menanyakan perihal perkataan Nia yang mengatakan bahwa Meira pingsan karena Darel marah-marah. Mereka mengobrol di depan pintu ruangan Meira dirawat.
“Aku, aku cuma menegur mereka, Yah. Mereka ngobrol santai di jam kerja, dan perempuan bernama Nia itu sengaja datang ke meja Meira, hanya untuk bergosip. Aku menegur Meira supaya nggak perlu meladeni hal-hal nggak penting, setelah itu, dia langsung pingsan,” jelas Darel, berharap sang ayah percaya.
“Apa Ayah bisa mempercayai kamu?” tanya Ibra sarkas, dia khawatir sebab takut image perusahaan jadi jelek, ada karyawan yang pingsan saat jam kerja. Entah mengapa, kecurigaannya terlalu besar pada Darel yang dia tahu tak pernah ingin berurusan dengan wanita manapun.
“Bagaimana caranya supaya Ayah percaya, oh iya, Ayah bisa lihat cctv.” tegas Darel.
“Dia pingsan di ruangan kamu?”
“Bukan, di ruangannya sendiri-“
“Nggak ada cctv di ruangan sekretaris.” Ibra langsung memangkas kalimat anaknya.
“Setahu ayah, Meira nggak punya penyakit berbahaya dan sejenisnya.” Ibra menatap Darel kembali dengan tatapan penuh curiga. “Jangan-jangan dia benar-benar tertekan dan jantungan karena sikapmu, Ayah nggak ngerti El, kenapa kamu anti sama yang namanya perempuan, ayah sangat berharap kalau kamu laki-laki masih normal—“
“Ayah!” hentak El. “Jelas aku masih normal.” sangkalnya kesal, di tuduh yang tidak-tidak, dia benci sekali keadaan ini. Hanya karena tak pernah pacaran dan tak peduli dengan lawan jenis, dia dianggap tidak normal?
“Buktinya, apa? kamu pacar nggak punya, perempuan yang dekat juga nggak ada, umur sudah mendekati kepala tiga. Jangan sampai, image kamu buruk di mata orang.” tegas Ibra.
Meira, menutup mulutnya. Tak sengaja dia mendengar samar percakapan antara Ayah dan anak itu, siapa mereka? pikirnya. Dia masih tidak tahu, siapa yang membawanya ke rumah sakit ketika pingsan. Tapi, dari suara lelaki muda di sana, dia bisa menerka itu siapa.
Apa itu, Pak Darel? dia nggak suka perempuan? pantesan aja sikapnya begitu. Meira bertanya dalam hati, sambil memegangi dadanya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Tak lama kemudian, seorang dokter dan perawat masuk, beserta Darel dan seseorang yang cukup Meira tahu, dia Bapak Ibrahim Arsenio, pemilik perusahaan. Seketika Meira mengaitkan dengan nama Darel, jadi benar mereka adalah anak dan Ayah? pantas saja Darel berpenampilan sesuka hati.
“Kamu sudah sadar?” sapa Ibra pada Meira dengan ramah, lantas Darel melirik ayahnya dengan tatapan tak suka, dia menganggap ayahnya cukup genit dengan perempuan muda ini. Niat jelek sempat terlintas di pikiran Darel untuk melaporkan hal ini, pada bunda.
“Pak, maaf… saya sudah merepotkan.” ucap Meira sedikit terbata, siapa yang tidak kaget dan sungkan bila kini berhadapan dan mengobrol langsung dengan pemilik perusahaan. Biasanya, mereka hanya bertemu saat Meira ikut almarhum Warsono meeting dengan seluruh pimpinan, termasuk pemilik, yaitu Ibra.
“Nggak apa-apa, kesehatan dan keselamatan karyawan, adalah keutamaan perusahaan, apalagi karyawan cerdas seperti kamu, Meira. Alhamdulillah kamu nggak apa-apa,” sahut Ibra di sertai senyum.
Darel masih tak bersuara, memantau dalam diam, bagaimana tingkah laku ayahnya yang mendadak ramah pada seorang wanita muda. Apalagi dengan melontarkan pujian. Jelas, ini tidak bisa di biarkan.
Meira tak percaya dengan kenyataan, lelaki setampan Darel, tidak suka perempuan? sungguh di sayangkan. Meira mencoba meliriknya, dan pandangan mereka langsung bertemu, lelaki itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, terlalu enggan menatap Meira, dia melipat kedua lengannya di dada, masih dengan gaya angkuhnya.
🌸🌸🌸