Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦲꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ ꦧꦺꦭꦱ꧀
Langit senja di Karta memancarkan warna jingga keemasan, menyoroti halaman istana yang mulai lengang. Angin lembut menyapu dedaunan, membawa aroma tanah yang basah selepas hujan sore tadi. Di dalam keraton, Sultan Agung duduk bersila di atas hamparan permadani tebal. Tubuhnya tampak letih, namun tatapannya tetap tegas, seperti seorang raja yang tak pernah mengenal kata menyerah.
Di hadapannya, beberapa penasihat dan panglima perang duduk bersimpuh, menunggu perintah. Suasana ruangan hening, hanya terdengar suara serangga malam dari luar jendela.
“Bagaimana laporan terakhir dari pesisir utara?” tanya Sultan Agung dengan suara berat, memecah keheningan.
Panglima Wirapatih maju dengan penuh hormat, menundukkan kepala sebelum berbicara.
“Yang Mulia, pasukan VOC semakin memperkuat benteng mereka di Jepara. Mereka membawa lebih banyak senjata dari kapal-kapal dagang mereka. Kami juga mendapat kabar bahwa Banten kembali menyusun kekuatan untuk menyerang wilayah perbatasan barat.”
Sultan Agung menghela napas panjang. Wajahnya tak menunjukkan rasa panik, tapi guratan di dahinya semakin jelas. Ia memandang jauh ke luar jendela, seolah melihat medan perang yang tak pernah berakhir.
“Mereka datang seperti wabah, tak kenal lelah, tak kenal batas. Kita telah melawan mereka di Batavia, dua kali kita menggempur, namun belum juga berhasil mengusir mereka dari tanah ini.” Suaranya rendah, tetapi mengandung kegetiran yang dalam.
Seorang penasihat tua, Ki Jayasasmita, angkat bicara dengan hati-hati.
“Yang Mulia, rakyat masih percaya pada kekuatan Paduka. Namun, tenaga pasukan kita terkuras. Wilayah pedalaman sulit menjaga pasokan logistik, sementara perang terus berkobar. Mungkin saatnya kita mempertimbangkan strategi baru.”
Sultan Agung menoleh. Tatapannya tajam, tapi tidak marah. Ia tahu Ki Jayasasmita hanya mengutarakan kenyataan.
“Strategi baru,” gumamnya pelan. “Apakah kita harus tunduk pada para penjajah itu? Membiarkan tanah leluhur kita dikoyak oleh mereka yang hanya peduli pada emas dan rempah?”
“Tidak, Yang Mulia!” sahut Panglima Wirapatih dengan lantang. “Kami, para prajurit, tidak akan pernah menyerah. Kami akan bertarung sampai tetes darah terakhir, demi Mataram!”
Sultan Agung mengangguk perlahan. “Semangatmu, Wirapatih, adalah semangat yang kuinginkan dari semua rakyatku. Namun, perang bukan hanya soal keberanian. Kita membutuhkan strategi, kesabaran, dan pengorbanan.”
Ia terdiam sejenak, lalu memegangi dadanya. Napasnya terdengar berat. Para penasihat dan panglima saling berpandangan, khawatir melihat kondisi rajanya.
“Yang Mulia, apakah Paduka merasa tidak sehat? Izinkan kami memanggil tabib,” ucap seorang abdi dalem dengan suara gemetar.
Sultan Agung mengangkat tangan, menghentikan niat mereka. “Aku masih bisa bertahan. Jangan khawatirkan aku. Lebih baik kalian pikirkan bagaimana cara menjaga kestabilan kerajaan ini jika sesuatu terjadi padaku.”
Kata-kata itu membuat ruangan sunyi. Para pengikutnya tidak berani menatap langsung ke arah beliau.
“Ki Jayasasmita,” panggil Sultan Agung, “kau telah bersamaku sejak awal aku naik takhta. Kau tahu bagaimana sulitnya kita menyatukan Jawa. Jika aku pergi, apakah Mataram akan tetap bertahan?”
Ki Jayasasmita mengangkat wajahnya, meskipun terlihat ragu. “Yang Mulia, saya percaya Mataram akan tetap kokoh selama rakyat percaya pada warisan yang Paduka tinggalkan. Namun, saya juga tahu bahwa badai besar akan datang. Tanpa kepemimpinan Paduka, VOC dan kerajaan-kerajaan kecil yang berkhianat akan semakin berani.”
Sultan Agung mengangguk. “Itulah yang kutakutkan. Aku telah mencoba yang terbaik untuk menyatukan tanah ini. Tetapi aku hanyalah manusia. Waktuku di dunia tidak akan lama lagi.”
Tiba-tiba, ia batuk keras, membuat semua yang hadir menjadi lebih khawatir. Seorang tabib akhirnya dipanggil untuk memeriksa beliau.
Tabib itu berlutut di samping Sultan Agung, memeriksa nadinya dengan cermat. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara pelan.
“Yang Mulia, tubuh Paduka telah banyak menanggung beban. Istirahatlah, atau kondisi Paduka akan semakin memburuk.”
Sultan Agung tersenyum tipis. “Istirahat bukan pilihan bagi seorang raja, tabib. Jika aku berhenti, siapa yang akan menjaga tanah ini?”
Tabib itu terdiam, tak mampu menjawab.
Setelah beberapa saat, Sultan Agung memandang semua yang hadir. “Dengar baik-baik. Jika aku tidak lagi berada di sini, pastikan Mataram tetap berdiri. Jangan biarkan VOC menginjak-injak martabat kita. Dan yang terpenting, jaga rakyat. Mereka adalah kekuatan sejati dari kerajaan ini.”
Para panglima dan penasihat bersujud, menyatakan kesetiaan mereka.
“Yang Mulia, kami bersumpah untuk menjaga Mataram, apa pun yang terjadi,” ujar Panglima Wirapatih dengan suara bergetar.
Malam itu, Sultan Agung memutuskan untuk menyepi di ruang pribadinya. Ia ingin bermeditasi, mencari kedamaian di tengah gejolak pikirannya. Di dalam keheningan, ia merenungkan perjalanan hidupnya perang, pengorbanan, dan tekad untuk menjaga kehormatan tanah Jawa.
Ketika fajar menyingsing, pelayan yang datang membawa minuman menemukan beliau telah terkulai lemah di tempat duduknya. Sultan Agung telah berpulang, meninggalkan kerajaan yang ia cintai dan rakyat yang menggantungkan harapan mereka padanya.
Berita wafatnya Sultan Agung menyebar cepat. Tangis dan duka melanda seluruh kerajaan. Para pengikutnya segera membawa jenazahnya ke Imogiri, tempat peristirahatan yang telah ia persiapkan sebagai simbol kejayaan Mataram.
Puniki pawartos dukā saking Kesultanan Mataram.
Sang Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma, nata agung ing Mataram, sampun miyos wonten ing ngarsanipun Hyang Maha Agung, ing dinten Sabtu Wage warsa Alip 1570 (1645 Masehi).
Sang Sinuhun, ingkang kawentar dados nata wijaksana saha satriya wicaksana, sampun nggadhahi warisan agung. Panjenenganipun ngupaya nyawijikaken Nusantara saha nentang prajurit Walanda kanthi semangat kang luhur. Panjenenganipun ugi nulis pranatan penanggalan Jawa minangka paduan agami lan budaya Jawi.
Jenazahipun Sinuhun kakuburaken wonten ing Astana Imogiri kanthi pakurmatan ageng, dipuniringi sedayaning abdi dalem, sedaya kawula, saha putra wayah ingkang tetenger tresna saha pengajeng-ajengipun dhumateng panjenenganipun.
Sadurunge miyos, panjenenganipun dhawuh:
"Ngudi rasa tunggal lan nyawiji kanggo rahayu lan kamulyan tanah Jawi."
Semoga arwahipun kesah wonten ing swarga luhuring Hyang Maha Agung, lan perjuanganipun dados inspirasi ingkang langgeng kanggé sedaya kawula ing Nusantara.
Berita wafatnya Sultan Agung menyelimuti seluruh tanah Mataram dalam duka yang mendalam. Di setiap sudut desa dan kota, rakyat berbicara dengan bisik-bisik, tak percaya bahwa pemimpin besar mereka telah tiada. Tangisan terdengar dari perempuan-perempuan di pasar, lelaki-lelaki tua duduk diam dengan mata berkaca-kaca, sementara para pemuda yang biasanya penuh semangat kini hanya menunduk lesu.
“Ibu… benar kah ini? Sultan Agung… meninggal?” tanyanya dengan suara bergetar.
Ibunya hanya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Nak, sepertinya itu benar. Sultan yang kita banggakan, pelindung kita, telah berpulang.”
Di luar tembok keraton, rakyat berbondong-bondong membawa bunga dan sesaji, sebagai penghormatan terakhir untuk Sultan Agung. Mereka berdoa di bawah bendera kerajaan yang setengah tiang, berharap arwah sang raja diterima di sisi Tuhan.
Duka itu tak hanya milik keluarga kerajaan, tetapi juga seluruh rakyat Mataram, yang merasakan kehilangan yang mendalam atas pemimpin yang telah mengabdikan hidupnya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah Jawa.