NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjelang Kepulangan

"Ketika waktu semakin mendekat, ujian akan datang lebih kuat. Namun, hati yang bertaut dalam doa tak akan mudah goyah."

---

Hati yang Kian Berdebar

Waktu berlalu begitu cepat. Kini, hanya tersisa tiga minggu sebelum Fathir kembali ke Indonesia.

Seharusnya, Arpa merasa bahagia. Seharusnya, ia bisa bernapas lega karena penantiannya hampir berakhir.

Namun, justru di saat inilah perasaan aneh mulai menghampirinya.

Bukan rasa ragu terhadap Fathir, bukan pula ketidakyakinan terhadap penantian yang telah ia jalani selama ini.

Tapi lebih kepada sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ketakutan akan perubahan.

"Bagaimana jika setelah ini semuanya terasa berbeda?"

Selama dua tahun terakhir, ia dan Fathir telah membangun ikatan yang kuat dalam doa, dalam keyakinan, dalam kesabaran yang tak terlihat oleh dunia.

Mereka tak pernah bertemu secara langsung selama masa penantian ini. Tak ada tatapan yang bertemu, tak ada pertemuan yang bisa memperjelas perasaan mereka satu sama lain.

Yang mereka miliki hanyalah kata-kata dalam pesan suara, surat-surat elektronik yang dikirimkan dengan penuh makna, serta doa-doa yang mereka panjatkan dalam kesunyian malam.

Tapi setelah mereka benar-benar bertemu, apakah semuanya akan tetap sama?

Apakah hati mereka masih bisa berbicara dalam bahasa yang sama, seperti saat mereka berjauhan?

Atau justru pertemuan ini akan membawa mereka pada kenyataan yang berbeda dari apa yang selama ini mereka bayangkan?

Arpa menghela napas panjang, duduk di balkon kamarnya dengan secangkir teh hangat di tangan.

Langit senja di hadapannya terlihat begitu indah, memantulkan warna oranye keemasan yang perlahan meredup.

Hatinya gelisah, tetapi ia tahu, perasaan ini adalah sesuatu yang wajar.

Ia hanya takut…

Takut jika harapan yang selama ini ia bangun ternyata tak sesuai dengan kenyataan.

Takut jika Fathir telah berubah dan mereka tak lagi menemukan kenyamanan seperti dulu.

Takut jika selama ini mereka hanya saling menjaga janji, tapi lupa bahwa manusia bisa berubah seiring waktu.

Namun, di sisi lain, ia juga percaya.

Percaya bahwa jika Allah telah mempertemukan mereka dalam jalan yang benar, maka tak ada yang perlu ia khawatirkan.

Percaya bahwa jika cinta ini tetap ia jaga dalam ridho-Nya, maka segalanya akan tetap dalam lindungan-Nya.

Arpa menggenggam cangkir tehnya lebih erat. Uap hangatnya masih mengepul, seolah membisikkan ketenangan di tengah kegelisahannya.

Lalu, dengan suara pelan, ia berbisik,

"Ya Allah… aku ingin tetap percaya."

Malam itu, di langit yang luas, bulan menggantung dengan cahaya lembutnya, menjadi saksi bisu atas doa yang kembali ia panjatkan.

---

Pesan dari Timur Tengah

Sore itu, langit mulai berubah jingga saat Arpa merapikan buku-buku di meja belajarnya. Udara di kamarnya terasa lebih tenang dari biasanya, namun hatinya tetap berdebar setiap kali mengingat bahwa kepulangan Fathir semakin dekat.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar.

Sebuah pesan suara masuk dari Fathir.

Sejenak, Arpa terdiam. Ia meraih ponsel dengan hati-hati, lalu memasang earphone.

Suara Fathir terdengar begitu dekat, meski mereka terpisah ribuan kilometer.

Fathir: "Assalamualaikum, Arpa. Bagaimana kabarmu?"

Arpa tersenyum tipis, jantungnya berdetak lebih cepat.

Fathir: "Aku ingin cerita sesuatu. Hari ini aku duduk di halaman asrama, melihat para mahasiswa baru yang baru datang ke sini. Wajah mereka penuh semangat, penuh harapan. Aku jadi ingat, dua tahun lalu aku datang dengan perasaan yang sama—ingin belajar, ingin memperbaiki diri, ingin mendekatkan diri pada Allah. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa perjalanan ini juga mengajarkanku banyak hal tentang cinta yang sebenarnya."

Arpa menggigit bibirnya, mendengarkan dengan saksama.

Fathir: "Dulu, aku pikir cinta hanya soal menunggu. Tapi ternyata, cinta juga soal memperbaiki diri. Aku sadar, cinta sejati bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang bagaimana kita tumbuh bersama, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu."

Arpa menahan napas. Ada sesuatu dalam kata-kata Fathir yang membuatnya ingin menangis.

Bukan karena sedih, tapi karena haru.

Fathir: "Aku ingin pulang bukan hanya sebagai Fathir yang dulu, tapi sebagai seseorang yang lebih siap. Aku ingin menemuimu bukan hanya sebagai seseorang yang kembali, tapi sebagai seseorang yang bisa melangkah dengan lebih pasti. Aku ingin datang kepadamu dengan hati yang sudah lebih matang, bukan hanya sebagai laki-laki yang menunggu, tapi sebagai laki-laki yang siap untuk memperjuangkanmu dengan cara yang benar."

Arpa merasakan dadanya semakin sesak. Ia menatap ke luar jendela, melihat langit senja yang semakin memerah.

Air matanya menggenang, bukan karena ragu, tetapi karena ia baru menyadari sesuatu.

Fathir tidak hanya menunggu, tetapi juga bertumbuh dalam penantiannya.

Sama seperti dirinya, Fathir telah mengisi waktunya dengan memperbaiki diri, bukan hanya berharap.

Ternyata, penantian mereka bukan hanya sekadar mempertahankan janji, tetapi juga perjalanan untuk menjadi lebih baik, agar kelak ketika mereka bertemu, mereka bisa berdiri sebagai dua insan yang lebih siap menapaki masa depan.

Arpa menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Jemarinya bergerak di atas layar ponsel, lalu ia mengetik balasan singkat:

Arpa: "Waalaikumsalam, Fath. Aku juga ingin bertemu denganmu, bukan hanya sebagai seseorang yang menunggu, tapi juga sebagai seseorang yang lebih siap menghadapi masa depan. InsyaAllah."

Ia menekan tombol kirim, lalu menutup matanya.

Dalam hatinya, ada keyakinan yang semakin kuat.

Malam itu, langit terasa lebih luas, seolah menyimpan segala harapan yang ia titipkan dalam doa.

--

"Ketika kita berhenti berharap kepada manusia dan mulai berharap kepada Allah, saat itulah takdir terbaik akan datang dengan caranya sendiri."

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!