Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 - Berpindah dimensi (2)
Melanjutkan kisah sebelumnya dimana Regulus, Poppy, Angie, dan Vina dibawa ke dimensi lain ulah dari Volcanic Cerberus yaitu tiga Iblis berkepala Anjing yang merupakan satu kakak dan dua adik-adiknya yang merupakan saudara kembar identik yang terdiri atas Funka sang kakak tertua, Kazan dan Magm, sebagai saudara kembar identik. Kini, mereka harus bertarung dengan ketiga kakak beradik mematikan itu.
Di hadapannya, tiga sosok berdiri tegap. Funka, yang tertua dari tiga bersaudara, melangkah maju dengan tatapan tajam. "Kazan, Magm, serang dia sekarang!" perintahnya.
Kazan dan Magm, dua adik Funka, saling melirik dan mengangguk. Namun, alih-alih langsung menyerang, mereka meraih sesuatu dari pinggang mereka—sabuk yang diberikan oleh Rizal. Kedua sabuk itu dilengkapi dengan kunci miniatur planet Jupiter dan Saturnus. Dengan gerakan cepat, mereka memasukkan masing-masing miniatur ke dalam slot yang tersedia dan menggesekkan kartu gesek.
“Jupiter, set up.”
“Saturn, set up.”
Alat berbentuk planet Mars itu ditautkan ke gawai canggih itu kemudian berbunyi sebuah suara dari masing-masing sabuk.
“Jupiter, set!”
“Saturn, set!”
Setelah itu, Kazan dan Magm mengambil sebuah kartu akses dan ia mengucapkan sebuah kata lagi.
“Armor slash!”
Setelah mengatakan kata itu, kartu itu digesek.
“Slash! Crush and smash, jupiter armor!”
“Slash! Cut with circle chainsaw, saturn armor!”
Setelah suara itu berbunyi, muncullah armor bernuansa Planet Jupiter dan Planet Saturnus di tubuh Kazan dan Magm. Aura mereka berubah drastis, kekuatan mereka melonjak berkali lipat.
Funka memicingkan mata, tidak menyangka kedua adiknya memiliki perlengkapan sehebat itu.
"D-Dari mana kalian mendapatkan itu?" tanyanya.
Namun, pertanyaan itu menjadi kesempatan bagi Regulus. Tanpa membuang waktu, ia meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, mengincar Kazan dan Magm yang masih sibuk dengan transformasi mereka.
“TRING!
Tebasan pedang milik Regulus menghantam Magm tepat di dada, tetapi Magm hampir tidak bergeming. Sebelum Regulus bisa menyerang lagi, Kazan melancarkan serangan balasan dengan tendangan berputar yang menghantam Regulus dan mengirimnya terhempas ke dinding sekolah.
Regulus bangkit dengan cepat, tetapi Kazan dan Magm tidak memberinya waktu untuk bernapas. Mereka menyerang tanpa henti, serangan mereka begitu cepat dan kuat sehingga Regulus mulai kewalahan. Setiap pukulan yang diberikan Regulus seakan tidak berpengaruh terhadap zirah mereka. Sebaliknya, setiap serangan yang diterimanya terasa seperti hantaman meteor.
Di kejauhan, Angie, Poppy, dan Vina menyaksikan pertarungan itu dengan cemas.
"Regulus tidak bisa menghadapi mereka sendirian!" ujar Angie dengan nada tegas.
Poppy mengepalkan tangan.
"Kalau begitu, kita harus membantunya!"
Vina mengangguk, matanya berkilat penuh tekad.
"Aku akan menggunakan telekinesisku untuk menghambat pergerakan mereka."
Tanpa ragu, mereka bertiga melompat ke dalam pertempuran. Poppy menyerang Kazan dengan kecepatan luar biasa, sementara Vina menggunakan telekinesisnya untuk menahan gerakan Magm, memperlambatnya cukup lama agar Regulus bisa membalas serangan.
Dengan kerja sama yang luar biasa, mereka mulai membalikkan keadaan. Regulus kini bisa bergerak lebih leluasa, memanfaatkan celah dalam pertahanan lawan. Angie memberikan serangan bantuan dari kejauhan, melemparkan bola energi ke arah Funka yang mencoba turun tangan.
Akhirnya, setelah serangan bertubi-tubi, ketiga kakak beradik itu mulai melemah. Kazan dan Magm jatuh berlutut, zirah mereka mulai retak akibat serangan gabungan Regulus, Poppy, dan Vina. Funka, meski masih bertahan, kini tampak putus asa.
Regulus melihat kesempatan itu. Ia mengangkat tangannya, energi biru berkumpul di telapak tangannya.
"Regulium Beam!"
Sebuah cahaya biru terang melesat dari tangannya, menyelimuti tubuh Kazan, Magm, dan Funka. Dalam sekejap, mereka bertiga menghilang dalam ledakan cahaya yang membutakan.
Saat cahaya meredup, hanya keheningan yang tersisa. Regulus menurunkan tangannya dan menghela napas.
"Kita berhasil," kata Poppy dengan senyum lega.
Angie menepuk bahu Regulus.
"Tapi ini belum selesai. Kita masih harus menemukan jalan keluar dari dimensi ini." Ajak Angie.
“Ya, memang belum selesai!”kata Kazan.
“Apa?”tanya Vina heran.
“Dasar budeg. Ini memang belum selesai! Karena kalian akan berhadapan dengan boss terakhir di dimensi ini! Dan ku jamin kalian tidak akan selamat!”kata Magm menakut-nakuti.
“Sudah cukup, adik-adikku, saatnya kita bergabung! Kita rapalkan mantra itu bersama-sama!”ajak Funka.
Funka, Kazan, dan Magm kemudian merapalkan sebuah mantra. Sebuah tornado kemudian menutupi mereka hingga mereka semua menjadi satu membentuk sosok yang besar. Sosok Fenrir atau anjing raksasa dengan muntahan lava yang siap membakar apapun di hadapannya.
“Buahahahaha! Rasakan ini, Regulus!”
Regulus merasakan panas yang membakar di sekelilingnya. Fenrir api itu mengamuk, memuntahkan lava dari mulutnya yang besar. Setiap kali Regulus mencoba menebas kulitnya, pedangnya hanya terpental seperti mengenai besi. Peluh mengalir dari dahinya, dan napasnya semakin berat.
Di sisi lain, Angie dan Poppy berusaha keras mencari cara untuk membantu Regulus dan Vina. Angie, dengan mata tajamnya, melihat ada tali yang terlilit di tiang besar di dekat mereka.
"Poppy, cepat ambil tali itu dan bawa ke lantai dua!" serunya.
Poppy mengangguk dan segera berlari menuju lantai dua. Jalannya tidak mudah, zombie yang dikirim oleh Mbah Rukmini menghadangnya di setiap sudut. Namun, Poppy tidak menyerah. Ia melawan zombie-zombie itu dengan gigih, menggunakan segala cara yang ia bisa pikirkan, termasuk membuat lantai licin untuk menghambat langkah musuh.
Setelah perjuangan keras, Poppy akhirnya mencapai lantai dua. Dari atas, ia melihat Angie memberi kode. Poppy segera mengikatkan tali itu di leher Fenrir api, menariknya dengan sekuat tenaga. Fenrir api mengerang kesakitan dan menjadi kesulitan bergerak.
Vina melihat aksi Poppy dan mengacungkan jempol sebagai tanda terima kasih. Regulus yang melihat situasi ini, tahu apa yang harus ia lakukan. Ia melompat tinggi, mengarahkan pedangnya dan menggunakan jurus pamungkasnya.
"Regulus thousand stab!”
Serangan itu membuat tubuh Fenrir api terluka parah, darah mengalir dan membasahi lapangan bola.
Dengan satu serangan terakhir, Regulus menggunakan jurus terkuatnya.
"Regulium beam!" teriak Regulus.
Ledakan besar terjadi, dan Fenrir api lenyap, menandakan akhir dari pertarungan mereka. Vina merasa lega dan berpikir bahwa semua sudah berakhir.
Namun, tiba-tiba dimensi di sekitar mereka terasa terdistorsi. Mereka terbangun di lapangan bola, kali ini di dunia asli mereka.
"Kita…udah balik? Ini sekolah kita?" tanya Vina.
"Gila, ini beneran dunia nyata? Barusan kita masih lawan Fenrir, sekarang…" kata Poppy keheranan.
Angie menggigit bibir seolah dirinya merasa syok.
“Kenapa?”tanya Rojak.
"Kayaknya bukan cuma kita yang syok." Katanya.
Rojak menyipitkan mata, melihat para siswa, guru, dan staf sekolah yang membeku menatap mereka. Ya, mereka menjadi sorotan banyak masyarakat Sekolah.
Di tempat lain, Mbah Rukmini duduk dengan kesal. Rencananya yang rumit telah gagal, dan sekarang ia harus menghadapi konsekuensinya.
"Sial! SIAL!! Rencana ini seharusnya berjalan sempurna! Regulus dan teman-temannya seharusnya mati di dimensi itu! Kenapa bisa gagal?! Dan sekarang... iblis-iblis itu marah besar padaku!"
Di tempat lain. Rizal dalam wujud Inazukko, sedang dalam perjalanan untuk membunuhnya karena kinerjanya yang tidak becus. Mbah Rukmini tahu bahwa waktunya tidak banyak.
“Rizal... Anak brengsek itu pasti akan mencariku! Aku harus kabur sebelum dia menebasku hidup-hidup!"
Dengan cepat, ia mengemasi beberapa barang penting dan segera melarikan diri dari gubuk itu. Ia harus beraksi seorang diri dan menemukan cara untuk menghindari murka Rizal. Sementara itu, Rizal tiba di gubuk tua tersebut. Wajahnya dipenuhi amarah saat ia menyadari bahwa Mbah Rukmini telah kabur.
"Dasar pengkhianat! Ini bukan pertama kalinya kau bekerja tidak becus!" Rizal berteriak sambil berubah wujud menjadi Inazukko.
Dengan tebasan listrik yang mematikan, ia menghancurkan gubuk tua itu. Debu dan puing-puing berhamburan di udara, mencerminkan kekacauan yang ada di dalam hati Rizal.
Di sebuah rumah sederhana, Poppy duduk bersama kakaknya, Rojak, sambil menunggu makan malam yang disajikan oleh ibu mereka, Diah. Poppy merasa gelisah dan penuh pertanyaan setelah pengalaman aneh yang mereka alami di dunia lain.
"Kak Rojak. Menurut kita, siapa yang membawa kita ke dimensi lain?" tanya Poppy dengan penuh rasa ingin tahu.
Rojak mengangkat bahunya, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku juga tidak tahu, Pop. Bagaimana kamu bisa masuk ke dunia itu?"
Poppy mengingat-ingat.
"Awalnya aku lagi nyatet materi di kelas. Terus pas mau nanya ke temen, tiba-tiba mereka semua pasang muka datar... dan tahu-tahu kita udah pindah ke dunia lain."
Obrolan mereka terhenti ketika Diah datang menyajikan makanan di meja. Aroma harum masakan ibu mereka mengisi ruangan, membuat perut mereka keroncongan. Namun, sebelum mereka sempat mengambil sendok, terdengar ketukan di pintu.
"Ayah?" Poppy berlari membuka pintu, namun yang ia temui adalah Angie, teman mereka.
“Halo! Maaf ganggu waktunya.”
"Eh ada Kak Angie. Masuk, kak." kata Poppy meskipun Angie tampak ragu.
Diah mendekat dan bertanya.
"Siapa dia?"
"Dia teman kami, Bu. Dia ingin mengembalikan buku bahasa Indonesia yang tertinggal di kelas Rojak," jawab Poppy.
Diah tersenyum hangat.
"Ayo makan bersama, Nak Angie. Tidak usah malu."
Angie menolak dengan sopan, namun Poppy tidak membiarkannya menolak. Ia menarik tangan Angie dan memaksanya duduk di meja makan. Akhirnya, Angie luluh dan setuju untuk makan bersama mereka.
Di Rumah Vina, di dalam sebuah ruang makan yang sepi, Vina duduk sambil meminum segelas air putih. Pikirannya berkecamuk, mencoba menenangkan dirinya setelah ilmu hitam yang menghantuinya berusaha merusak ketenangannya. Bayangan-bayangan gelap masih menghantui pikirannya, namun suara gemericik air memberinya sedikit kedamaian.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
“Tok..... Tok..... Tok.....”
Vina segera berdiri dan berjalan menuju pintu depan. Saat membuka pintu, ia terkejut melihat bahwa tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya angin malam yang dingin menyapu wajahnya. Ia mengira itu hanya perbuatan orang iseng.
Namun, tiba-tiba ia merasakan ada kehadiran di atas kamarnya. Vina merasa bulu kuduknya meremang dan memutuskan untuk naik ke lantai atas. Saat ia menaiki tangga, tiba-tiba ada asap hitam yang mendorongnya ke belakang. Vina terhuyung-huyung, namun dengan sigap ia menggunakan kekuatan telekinesisnya untuk menyerang asap itu. Asap hitam tersebut menghilang, seolah lenyap ke dalam kegelapan.
Vina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, sebelum ia sempat benar-benar merasa tenang, pintu kembali diketuk. Kali ini, Vina merasa ketukan itu berbeda. Lebih berat, lebih tegas. Ia membuka pintu dengan hati-hati.
Di depan pintu, berdiri seorang wanita berumur 42 tahun dengan pakaian pembantu. Tatapan wanita itu begitu tajam, membuat Vina agak terkejut. Namun, wanita itu kemudian tersenyum lembut dan memperkenalkan dirinya.
"Dengan Vina?”tanya Mbok Yani.
“I-Iya... Siapa ya?”tanya Vina.
“Perkenalkan saya Yani. Bisa panggil saya Mbok Yani. Aku diutus oleh kedua orang tuamu untuk menemanimu agar tidak kesepian," katanya.
Vina merasa heran.
“Di pekerjakan sama orang tua saya? Perasaan Mami sama Papi ga ngomong apa-apa deh.”Kata Vina.
Mbok Yani menjelaskan.
"Ibumu tidak sempat memberitahumu karena terburu-buru. Dia merasa kasihan padamu, maka dari itu dia mengutusku untuk menemanimu dan mengurus rumah ini."
“Begitu ya? Yaudah silahkan masuk, Mbok.”
Bersambung