Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Hasil Perselingkuhan
Berkat perubahan sikap Wenda, Lintang mengalami sedikit kemajuan. Terbukti dari saat ia menemui psikiater, ada gurat semangat yang menghiasi wajah ayunya. Agak berbeda dari kemarin, yang mana hanya terlihat tatapan kosong dan raut keputusasaan. Mungkin, memang sebesar itu peran dukungan dari keluarga terdekat.
Ahh, andai saja Ningrum lebih punya hati, atau Utari dan Albi. Sayangnya mereka kompak, hati dan pikiran sama-sama sekeras batu.
Ratna Diah Sari, psikiater yang menangani Lintang. Sama seperti Luvita kemarin, Ratna pun mengatakan bahwa depresi yang dialami Lintang memang sudah tahap kronis. Sudah tak cukup jika penangananya terapi saja, harus dibantu dengan obat-obatan. Terutama antidepresan, yang berguna untuk mengurangi kecemasan dan mengatur pola tidur.
"Mbak Lintang, saya mohon dengan sangat ya, jangan mengonsumsi obat lain di luar pengawasan saya. Cukup yang saya resepkan ini saja. Misalkan nanti masih ada keluhan, mungkin Mbak Lintang masih sulit tidur atau masih sering cemas, nanti konsultasikan saja dengan saya. Di sini saya sudah menyertakan nomor telepon, bisa Mbak Lintang hubungi sewaktu-waktu. Pokoknya jangan sembarangan minum obat. Itu ya," terang Ratna di akhir pemeriksaannya.
"Baik, Bu." Lintang pun patuh dan tidak banyak membantah.
"Satu lagi ya, Mbak, jangan bosan menyugesti diri dengan hal-hal positif. Percayalah, semua orang itu punya kekurangan, bahkan yang terlihat sempurna sekalipun pasti ada kekurangannya. Tapi, di samping itu juga ada kelebihannya. Seburuk apa pun seseorang pasti punya kelebihan di sisi yang berbeda. Jadi, jangan pernah kita menganggap diri kita tidak berharga, tidak berguna. Semua orang berharga, Mbak Lintang. Jangankan kita yang manusia, ibaratnya buah pinus yang sudah kering dan jatuh saja itu sangat berharga kok." Ratna tersenyum dan menjeda sebentar ucapannya.
Lintang masih diam. Bahkan, setelah Ratna meraih vas bunga yang ada di meja sudut, Lintang hanya menatap tanpa mengucap kata.
"Ini adalah buah pinus yang sudah kering, Mbak Lintang. Tapi, sangat indah ketika berada di sini. Saya membelinya tiga tahun yang lalu dengan harga yang cukup mahal," lanjut Ratna sambil menunjukkan buah pinus kering yang turut menghiasi vas tersebut.
Lintang menatapnya, dan memang indah. Buah pinus itu berada di antara bunga edelweis dan daun-daun kering yang aesthetic. Wajar jika harganya mahal, itu jauh lebih indah dibanding hiasan bunga-bunga pada umumnya.
"Terima kasih, Bu, saya mengerti," kata Lintang sesaat kemudian.
Sebenarnya cukup mudah baginya memahami semua itu. Selama ini yang sulit adalah menerapkannya. Sekuat apa pun dia menyugesti diri, pada akhirnya kalah dengan trauma dan perasaan tak berguna yang menyertainya.
Karena perbincangan sudah cukup, Lintang pun bangkit dan pamit keluar. Berganti Pandu yang masuk, untuk berbincang singkat sambil menyelesaikan administrasi.
"Mas Pandu, sebagai suami Mbak Lintang, saya harap Anda bisa mendukung penuh kesembuhannya Mbak Lintang. Di sini, saya hanya bisa mengarahkan dan membantunya, baik dengan terapi maupun obat. Namun, untuk kesembuhan Mbak Lintang, tetap harus ada kemauan dan upaya dari diri Mbak Lintang sendiri. Dan tentunya itu juga membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Jadi, tolong ya, Mas Pandu, kita upayakan kesembuhan Mbak Lintang ini bersama-sama."
"Baik, Bu, saya mengerti. Saya akan sepenuhnya mendukung dan memberikan yang terbaik untuk istri saya," sahut Pandu dengan bersunggung-sungguh. Andaipun Ratna tidak menyarankan demikian, ia tetap akan melakukan itu. Demi Lintang, apa saja akan ia tempuh sekalipun itu sulit ataupun berat.
_______
Sebuah kamar mewah dengan perabotan yang lengkap dan elegan. Dengan nuansa warna putih salju dan abu-abu. Meski tidak terlalu luas, tetapi mampu memanjakan siapa pun yang sedang ada di dalam sana.
Di tempat itulah Ningrum berada saat ini, salah satu kamar di rumah pribadi Albi dan Rayana, di Kota Sidoarjo. Ia sedang berdiri di dekat jendela yang terbuka, menatap suasana luar yang mengingatkannya pada masa silam.
Dulu, ia juga tinggal di kota itu. Rumahnya tak jauh dengan rumah Albi saat ini. Namun, karena sesuatu rumah itu harus dijual dan ia sekeluarga pindah ke Kota Malang. Tepatnya, sepuluh tahun yang lalu.
"Jadi ingat dulu ya, Bu, tempat ini masih pekarangan kosong. Dulu aku dan Mas Albi sering main di sini bareng anak-anak lain. Terus kalau udah sore, Nenek pasti menjemput kami sambil bawa donat. Donat buatan Nenek itu enak banget," ucap Utari, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Ningrum.
"Kamu juga masih ingat dengan masa itu?"
Utari menjawab sambil ikut menatap ke luar. "Ingat lah, Bu. Kenangan-kenangan di sini nggak mungkin kulupakan. Justru aku tuh sering banget merasa kangen. Ya gimana, Bu, aku lahir di sini, tumbuh di sini."
Ningrum tersenyum, lalu berkata, "Kadang Ibu juga kangen, Tari. Banyak kenangan Ibu dengan bapakmu di kota ini."
"Andai saja ya, Bu, dulu Lintang nggak kayak gitu. Kita nggak perlu pindah dan ninggalin tempat ini."
Ningrum membuang napas kasar. Untuk kesekian kalinya dia merasa jengah dengan kebodohan Lintang. Di rumah kosong yang ada di ujung sana, yang sekarang sudah direnovasi menjadi hunian mewah, dulu Lintang ditemukan tidur dalam keadaan telan-jang di sana. Dari informasi yang ia dapat, Lintang melakukan itu dengan kekasihnya. Tak tahu bagaimana ceritanya Lintang sampai ketiduran, juga tak tahu lelaki mana yang menjadi kekasihnya. Lelaki itu kabur lebih dulu dan tidak diketahui identitasnya sampai sekarang.
Yang jelas, berita tentang Lintang langsung menjadi trending topic saat itu. Ningrum sampai tak berani keluar rumah karena malu. Sampai akhirnya, mereka memutuskan hengkang dari sana.
"Nasib baik Ibu masih punya anak sebaik kamu dan Albi, Tari. Kalau semua seperti Lintang, bisa mati berdiri Ibu," ujar Ningrum sambil mengusap lengan Tari.
Wanita itu pun tersenyum, merasa puas karena sang ibunda bangga padanya. Ya, memang itu yang dia mau. Cukup padanya dan Albi ibunya punya rasa bangga, jangan pada Lintang. Sama sekali tidak pantas. Anak dari hasil perselingkuhan ibunya, jangan harap punya kedudukan yang setara dengannya.
Sementara itu, Rayana sedang sibuk di dapur. Ia baru saja membuat teh dan kopi untuk diminum bersama, sekarang ia tinggal membuat su-su yang spesial untuk Ningrum. Mertuanya itu sangat baik, sama seperti ibu kandung, oleh sebab itu Rayana juga memperlakukannya dengan baik. Apalagi ia sendiri memang sudah yatim piatu.
"Sayang, belum selesai?" tegur Albi.
"Tinggal su-sunya Ibu yang belum, Mas."
"Ya sudah, kamu tinggal aja. Biar aku yang membuat su-su."
"Nggak apa-apa, Mas, nanggung tinggal sedikit lagi kok," tolak Rayana.
"Sayang, kamu belum mandi loh. Keburu sore nanti. Mandi sana gih, ini biar aku yang selesaikan."
"Ya udah deh kalau gitu, aku tinggal ya, Mas."
Rayana tak bisa menolak lagi karena Albi terus membujuk. Akhirnya, ia pun meninggalkan dapur dan bergegas ke kamar untuk mandi.
Sepeninggalan Rayana, Albi tersenyum sendiri. Ia tatap gelas yang sudah berisi bubuk su-su itu dengan penuh arti.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu