Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Tampan Dari Brazil
Di rumah sakit, Bismo masih terbaring lemah tak berdaya. Ia tidak tahu bahwa Khalisa dan Marina adalah dalang di balik kondisinya yang memprihatinkan. Kedua wanita itu secara rutin memberinya obat pelemah yang membuat tubuhnya semakin lama semakin melemah.
Obat itu diberikan secara diam-diam melalui makanan atau minuman yang diberikan oleh perawat yang sudah disuap oleh Khalisa dan Marina. Bismo tidak curiga sama sekali karena ia percaya bahwa Khalisa dan Marina adalah orang yang menyayanginya.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu sembuh, Mas. Kamu akan selamanya menjadi orang yang lemah dan tidak berdaya," kata Khalisa, dengan nada yang sinis, saat menjenguk Bismo di rumah sakit.
Marina juga ikut tersenyum sinis. "Kamu tidak akan pernah bisa merebut kembali perusahaanmu, Bismo. Semuanya sudah menjadi milik kami," kata Marina, dengan nada yang mengejek.
Bismo hanya bisa menatap Khalisa dan Marina dengan tatapan yang penuh kebencian. Ia tidak menyangka bahwa kedua wanita yang ia percaya itu ternyata adalah orang yang sangat jahat.
"Kalian berdua adalah orang yang sangat kejam. Kalian telah menghancurkan hidupku," kata Bismo, dengan suara yang lemah.
Khalisa dan Marina tertawa mendengar perkataan Bismo. Mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Bismo. Yang mereka inginkan hanyalah kekuasaan dan uang.
"Kami tidak peduli dengan apa yang kamu katakan, Mas. Yang penting kami sudah mendapatkan apa yang kami inginkan," kata Khalisa, dengan nada yang acuh tak acuh.
Marina menambahkan, "Kamu sekarang tidak ada artinya lagi bagi kami. Kamu hanya menjadi beban bagi kami."
Bismo merasa sangat marah dan frustrasi. Ia ingin melawan Khalisa dan Marina, namun ia tidak berdaya. Tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
"Aku akan membalas perbuatan kalian. Aku akan membuat kalian menyesal telah menyakitiku," kata Bismo, dengan nada yang penuh dendam.
Khalisa dan Marina tidak takut dengan ancaman Bismo. Mereka yakin bahwa Bismo tidak akan pernah bisa melawan mereka.
"Kami tidak takut denganmu, Mas. Kamu sekarang hanya orang yang lemah dan tidak berdaya," kata Khalisa, dengan nada yang meremehkan.
Marina menambahkan, "Lebih baik kamu diam saja dan terima nasibmu."
Bismo terdiam. Ia tahu, ia harus mencari cara untuk bisa sembuh dan melawan Khalisa dan Marina. Ia tidak ingin terus menjadi orang yang lemah dan tidak berdaya.
"Aku pasti akan menemukan cara untuk membalas perbuatan kalian. Aku janji," kata Bismo, dalam hatinya.
****
Tentu, ini kelanjutan cerita novel Anda:
Suatu hari, di rumah besar itu, Stefanny terlihat mondar-mandir dengan wajah yang tidak senang. Ia terus saja melirik ke arah Gendhis yang sedang membersihkan ruang tamu. Stefanny merasa curiga bahwa Gendhis mencoba untuk menggoda suaminya, Prasojo.
"Gendhis, ke sini kamu!" panggil Stefanny, dengan suara yang ketus.
Gendhis yang sedang membersihkan meja, segera menghampiri Stefanny. Ia sudah merasakan firasat buruk dari sikap kakak iparnya ini.
"Ada apa, Kak?" tanya Gendhis, dengan nada yang sopan.
Stefanny menatap Gendhis dengan tatapan yang tajam. "Kamu ini memang perempuan tidak tahu malu. Kamu sudah berani menggoda suami saya!" tuduh Stefanny, dengan nada yang marah.
Gendhis terkejut mendengar tuduhan Stefanny. Ia tidak pernah berpikir untuk menggoda Prasojo. Ia hanya bersikap baik dan sopan kepada semua orang.
"Saya tidak pernah menggoda suami Kakak. Saya hanya bersikap baik seperti biasa," jawab Gendhis, dengan nada yang tenang.
Namun, Stefanny tidak percaya begitu saja. Ia sudah dibutakan oleh rasa cemburu. Ia yakin bahwa Gendhis pasti memiliki niat yang tidak baik terhadap suaminya.
"Jangan berbohong! Saya sudah melihat sendiri bagaimana kamu mendekati Prasojo," kata Stefanny, dengan nada yang semakin tinggi.
Gendhis tetap membantah tuduhan Stefanny, Ia mencoba untuk menjelaskan bahwa ia tidak bersalah.
"Saya bersumpah, Kak. Saya tidak pernah melakukan hal itu," kata Gendhis, dengan nada yang memohon.
Namun, Stefanny sudah tidak mau mendengarkan penjelasan Gendhis. Ia sudah terlanjur marah dan kesal.
"Kamu ini memang perempuan licik! Kamu pantas mendapatkan pelajaran!" kata Stefanny dengan nada yang penuh amarah.
Stefanny kemudian mengambil piring yang ada di meja dan membantingnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Gendhis terkejut dan ketakutan melihat tindakan Stefanny.
"Rasakan ini!" kata Stefanny sambil menjambak rambut Gendhis dengan keras.
Gendhis menjerit kesakitan. Ia mencoba untuk melepaskan diri dari cengkeraman Stefanny, namun ia tidak berdaya.
"Kamu memang pantas mendapatkan ini! Kamu sudah berani menggoda suami saya!" kata Stefanny, sambil terus menjambak rambut Gendhis.
Gendhis hanya bisa menangis dan memohon ampun. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia merasa sangat sedih dan putus asa.
"Kak, tolong kasihanilah saya. Saya tidak bersalah," kata Gendhis, dengan nada yang memohon.
Namun, Stefanny tidak peduli dengan permohonan Gendhis. Ia terus saja menyiksanya hingga Gendhis lemas dan tidak berdaya.
****
Di rumah besar keluarga Bimantoro, Gendhis sedang sendirian. Seluruh keluarga Khalisa sedang pergi keluar untuk urusan masing-masing. Gendhis merasa lega karena ia bisa bernafas sejenak tanpa harus berhadapan dengan tatapan sinis dan perlakuan kasar dari mereka.
Saat Gendhis sedang membersihkan ruang tamu, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Gendhis segera membuka pintu dan melihat seorang pria bule berdiri di depan pintu. Pria itu terlihat tampan dengan rambut coklat dan mata biru yang bersinar.
"Selamat siang," sapa pria itu, dengan senyum yang ramah. "Apakah benar ini rumah keluarga Bimantoro?"
Gendhis mengangguk. "Benar, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gendhis, dengan sopan.
Pria itu mengulurkan tangannya. "Saya Renan Buiati Guardo. Saya teman dari mendiang Bapak Haris Bimantoro," kata Renan, dengan nada yang penuh hormat.
Gendhis terkejut mendengar nama ayahnya disebut. Ia tidak menyangka ada teman ayahnya yang datang dari jauh-jauh hari setelah ayahnya meninggal.
"Saya Gendhis, putri dari Bapak Haris," kata Gendhis, sambil menyalami Renan.
Renan tersenyum. "Saya sudah lama ingin bertemu dengan Bapak Haris. Saya dengar beliau adalah orang yang sangat baik dan sukses," kata Renan, dengan nada yang kagum.
Gendhis mengangguk. "Ayah saya memang orang yang baik. Beliau selalu membantu orang lain," kata Gendhis, dengan nada yang bangga.
Renan kemudian menceritakan bahwa ia berasal dari Brazil. Ia bertemu dengan Haris beberapa tahun yang lalu saat Haris berkunjung ke Brazil untuk urusan bisnis. Mereka berdua menjadi teman dekat sejak saat itu.
"Saya sangat sedih mendengar kabar bahwa Bapak Haris telah meninggal dunia," kata Renan, dengan nada yang sedih.
Gendhis juga merasa sedih. Ia masih belum bisa melupakan kepergian ayahnya.
"Saya juga sangat kehilangan ayah saya," kata Gendhis, dengan nada yang lirih.
Renan kemudian mengajak Gendhis untuk duduk di ruang tamu. Mereka berdua bercerita tentang Haris. Renan menceritakan banyak hal tentang kebaikan dan kesuksesan Haris. Gendhis mendengarkan dengan penuh minat. Ia merasa seperti sedang bertemu dengan ayahnya kembali.
"Ayah saya pasti sangat senang jika tahu Anda datang ke sini," kata Gendhis, dengan nada yang tulus.
Renan tersenyum. "Saya juga senang bisa bertemu denganmu, Gendhis. Kamu adalah putri yang sangat mirip dengan ayahmu," kata Renan, dengan nada yang kagum.
Gendhis tersipu malu mendengar pujian Renan. Ia merasa sangat senang karena ada orang yang masih mengingat ayahnya dengan baik.