Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Aku tidak mau menikah dengan dia, Opa!" Suara Raka begitu lantang menyerukan penolakan. Dari tatapannya memancar amarah.
"Raka, pelankan suara kamu kalau bicara dengan opa!" Pak Darren memperingati keponakannya.
"Tapi, Abi ... memangnya wanita di dunia ini sudah habis sampai harus dijodohkan dengan orang seperti Nirma itu?" Kalimat penolakan terus terlontar dari mulut Raka.
"Nirma gadis yang baik dan dia yang paling cocok menjadi menantu di keluarga kita. Nirma akan mendampingi kamu membangun rumah tangga yang benar sesuai ajaran agama." Ucap Opa Sean.
"Тарі Ора.."
"Tidak ada tapi-tapian!" Suara Opa Sean kembali memekik.
Detik kemudian pria paruh baya itu menyentuh dada sebelah kiri yang terasa begitu nyeri. Napasnya juga mulai tampak sesak.
Hal yang membuat Raka tak berani berbuat lebih jauh untuk menolak.
Opanya memiliki riwayat sakit jantung, sehingga emosinya harus selalu terjaga.
Walau bagaimana pun, Raka tidak ingin kehilangan keluarganya lagi.
Kepergian Ayah dan Ibunya menghadap sang Pencipta adalah pukulan paling menyakitkan baginya.
Perlahan Raka mendekat dan bersimpuh di hadapan sang Opa yang sudah membesarkannya sejak kecil.
"Maafkan aku, Opa. Tapi, aku tidak suka Nirma. Apa aku bisa menjalani rumah tangga yang baik dengannya, sementara aku sendiri tidak bisa menerima dia?"
"Dikatakan bahwa wanita adalah perhiasan dunia, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalihah, Nak. Opa yakin Nirma bisa menemani kamu membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahma. Dia sangat sempurna untuk menjadi pendamping hidup kamu."
Tak ada sahutan dari Raka. Ia tahu sekeras apa Opa dan Abinya.
Segala penolakannya tidak akan membuahkan hasil. Jika ia memaksa, itu akan beresiko terhadap kesehatan Oра.
"Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusan Opa dan Abi." ucap Raka pasrah.
***
"Katanya Raka setuju menikah dengan Nirma." Bu Resha mengembangkan senyum sesaat setelah mengucapkan kalimat itu.
Tangannya sibuk mengisi piring dengan nasi dan beberapa lauk, lalu ia geser ke hadapan Suaminya.
"Alhamdulilah kalau begitu." jawab Pak Vino, lalu menatap Brayn yang duduk di hadapannya.
"Kamu sudah melihat seperti apa calonnya Raka, kan?"
"Sudah, Pa. Namanya Nirma, dia gadis bercadar. Kelihatannya sih baik, aku melihat dia mengajari anak-anak mengaji, aku melihat caranya melayani Ayah dan Ibunya dengan tulus. Tapi, tidak tahu kenapa Raka tidak suka padanya."
"Kalau Kak Raka tidak mau, sama Kakak Brayn saja." ucap Bima di sela-sela suapannya.
Brayn terkekeh pelan mendengar ucapan adik bungsunya. Saat ini Bima sudah berusia 12 tahun.
Gerbang menuju remaja, dan tahun depan ia akan memasuki bangku SMP.
"Kakak kamu sudah ada pilihan sendiri, Bim." sahut Bu Resha. "Bedanya Kakak kamu suka, malah perempuannya yang tidak suka sama dia."
Kalimat penuh canda itu membuat bibir Brayn mengerucut, lalu diakhiri dengan tawa kecil.
"Oh ya, Pa. Apa Papa tidak keberatan kalau aku berniat menyalurkan bantuan renovasi untuk pondok itu? Bangunanya sudah tua dan lapuk. Kalau hujan sering bocor."
"Kenapa harus keberatan? Selama itu untuk kebaikan, lakukan!" Pak Vino menatap putra sulungnya dengan bangga.
Meskipun Brayn hidup dengan bergelimang harta, namun ia tidak pernah menggunakannya untuk bersenang-senang.
Seperti Bu Resha, ia memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Alhamdulillah, makasih, Pa."
Pandangan Pak Vino kemudian tertuju kepada Zayn, yang sejak tadi memilih diam.
"Zayn gimana kuliahnya, Nak?"
"Lancar, Pa!" jawabnya singkat.
Pak Vino menatap putra keduanya itu. Sejak Zahra menghilang, Zayn menjadi sangat pendiam dan lebih senang menghabiskan waktunya dengan menyendiri.
"Oh ya, Mas. Tadi Mawar juga minta kita ikut ke pondok. Katanya mereka akan menemui Ustadz Yusuf untuk melamar Nirma."
"Boleh, Sayang. Aku akan meluangkan waktu." Pak Vino mengulas senyum.
"Bima ikut ya, Ma!"
"Boleh, Sayang. Tapi tidak boleh ribut di sana."
"Siap, Ibu Negara!"
Bu Resha terkekeh mendengar ucapan putra bungsunya.
***
Hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Pagi itu rombongan keluarga Opa Sean sudah hadir di pondok. Kedatangannya juga disambut hangat oleh Ustadz Yusuf.
Pak Vino dan Bu Resha turut hadir hari itu atas permintaan Tante Mawar dan Pak Darren.
"Jadi ini pondok yang dimaksud Brayn?" gumam Pak Vino sesaat setelah memasuki ruang tamu.
Pandangannya meneliti setiap bagian. Benar kata Brayn, pondok itu membutuhkan renovasi sesegera mungkin.
Atap dan bangunannya sudah cukup rapuh dan bisa membahayakan penghuninya.
"Kejutan sekali Pak Sean dan keluarga datang ke pondok kami." ucap Ustadz Yusuf.
"Alhamdulillah, Pak Ustadz." balas Opa Sean.
"Kebetulan kedatangan saya adalah untuk melanjutkan kembali pembicaraan kita beberapa waktu lalu."
Ustadz Yusuf terlihat cukup terkejut. Tentunya ia langsung paham maksud Opa Sean, ia masih ingat pembicaraan mereka beberapa bulan lalu.
Namun, kala itu ia tak menanggapi serius ucapan teman lamanya itu.
Mereka berasal dari keluarga sederhana. Orang terhormat seperti Opa Sean mana mungkin mau menjalin ikatan keluarga dengan mereka.
Begitu pikir Ustadz Yusuf kala itu.
"Kedatangan saya kemari adalah untuk mengutarakan keinginan saya untuk melamar anak Pak Ustadz, Nirma, untuk dijadikan menantu di keluarga saya."
Sejenak Ustadz Yusuf menunduk, kemudian menatap ke arah Istrinya yang duduk di barisan para wanita.
Di sana juga terlihat Nirma yang duduk di samping Ibunya.
"Alhamdulillah, terima kasih, Pak Sean. Saya sangat tersanjung dengan niat baik Pak Sean." Ia menjeda ucapannya dengan tarikan napas.
"Taрі, sebelum kita melanjutkan pada pembicaraan yang lebih dalam, saya harus memberitahu sesuatu yang penting mengenai Nirma."
"Soal apa, ya, Pak?" tanya pria paruh baya itu.
Ustadz Yusuf kembali terdiam selama beberapa saat. Ia sempat melirik putrinya. Gadis itu hanya diam dengan kepala menunduk.
"Sebenarnya Nirma bukanlah anak kandung saya, melainkan anak angkat." ucap Ustadz Yusuf, menciptakan keheningan di ruangan itu.
Semua tamu yang hadir tampak terkejut, termasuk Pak Vino dan Bu Resha.
Mata Bu Resha refleks menatap gadis bercadar yang duduk tak jauh darinya.
Entah untuk alasan apa, ia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Nirma.
"Anak angkat? Saya pikir anak kandung Pak Ustadz." ucap Opa Sean.
"Bukan, Pak Sean." Pria paruh baya itu kembali menoleh kepada putrinya yang duduk di barisan paling belakang.
"Nirma, boleh Abah ceritakan?"
Nirma menyahut dengan anggukan tanpa suara. Membuat keheningan kembali tercipta.
"Delapan tahun lalu, Nirma datang ke pondok ini dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Pagi itu saya bangun untuk shalat subuh. Saat membuka pintu, saya menemukan Nirma tidur di depan teras dalam keadaan kedinginan dan lapar. Dia sama sekali tidak bisa bicara. Saya ajak dia masuk dan memberi makan."
Di balik cadar, Nirma menjatuhkan air mata.
"Istri saya juga menemukan sepucuk surat di dalam tas Nirma, yang isinya kurang lebih menitipkan Nirma di pondok kami. Di dalam surat itu tertulis bahwa Nirma dalam keadaan trauma, dia juga tidak bisa bicara setelah mengalami kecelakaan. Sejak saat itu Nirma tinggal bersama kami dan kami angkat sebagai anak. Beberapa bulan setelahnya, kawan saya menawarkan untuk melakukan pengobatan untuk Nirma, Alhamdulillah, setelah berbulan-bulan menjalani terapi, Nirma mulai bisa bicara. Berkat bantuan kawan saya juga, Nirma bisa melanjutkan sekolah ke madrasah."
Semua orang terdiam.
"Sekiranya kalau Pak Sean mau membatalkan niat baik terhadap Nirma, saya paham bahwa dalam memilih menantu harus yang jelas asal usul keluarganya, apakah dia berasal dari keluarga yang baik atau tidak. Karena itulah saya memberitahu fakta tentang Nirma. Sampai saat ini ... kami tidak tahu siapa orang tua kandung Nirma."
*************
*************