Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Detik-detik yang berlalu terasa begitu panjang, seakan perasaan mereka yang pernah hilang, kini kembali muncul tanpa bisa mereka kontrol.
Secara tiba-tiba, Arkana tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh misteri, lalu kembali mengalihkan pandangannya, melanjutkan langkahnya menuju teman-temannya. Namun, Siera tetap terdiam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang, dan perasaan yang selama ini terkubur dalam hati muncul kembali tanpa bisa ia bendung. Apa yang sebenarnya dia inginkan? pikirnya, tatapan itu masih terbayang jelas di matanya.
“Anjirr, Sie! Ngapain dia natap pake senyum kayak gitu,” seru Cindy dengan suara setengah berbisik tapi penuh emosi. Matanya menatap tajam ke arah Arkana, jelas-jelas ikut bingung dengan kelakuannya.
Ternyata sejak tadi Cindy juga memperhatikan Arka yang menatap Siera.
“Shttttt, nggak usah ribut gitu, Cin,” balas Siera sambil melirik ke sekitar, khawatir kalau orang lain mendengar percakapan mereka.
“Tapi ya, si Arka ngapain kayak gitu?” Cindy masih belum menyerah, ekspresinya penuh rasa penasaran bercampur kesal.
“Mungkin karena baru ketemu lagi, atau… dia sebenarnya ngelihat orang di belakang gue,” ucap Siera mencoba beralasan, meski ia tahu itu terdengar tidak masuk akal.
“Ya nggak mungkinlah! Jelas-jelas dia natap lo. Ada gila-gilanya tuh orang. Muncul-muncul senyum kayak gitu, nggak ada rasa bersalanya sama sekali. Minimal minta maaf dulu kek, jelasin apa kek,” Cindy semakin kesal, tangan kecilnya terkepal seolah ingin mengungkapkan kekesalannya lebih lanjut.
“Udahlah, Cin. Nggak usah peduliin dia,” potong Siera cepat, mencoba meredam situasi.
“Ya tapi kan…” Cindy masih ingin bicara, tapi Siera langsung menarik tangannya.
“Cin, serius deh, nggak usah bahas ini sekarang. Ayo cari tempat duduk aja,” kata Siera sambil berjalan menjauh, berharap Cindy berhenti membahas tatapan Arkana yang terus membayang di pikirannya. Meski bibirnya mengatakan tidak peduli, hati Siera berkata lain. Tatapan itu, senyuman itu, seolah menyimpan sesuatu yang tak pernah selesai di antara mereka.
Sekarang, Siera dan Cindy duduk di salah satu meja bundar yang telah disediakan, membawa piring mereka yang penuh makanan dari buffet. Siera memilih salad dan beberapa potong daging panggang, sementara Cindy lebih memilih nasi goreng dengan tambahan sate ayam dan dessert kecil-kecil yang menggiurkan.
Meja-meja bundar di ruangan itu tertata rapi, dihiasi lilin kecil yang memberikan cahaya temaram, menciptakan suasana hangat. Vas bunga segar dengan warna-warna pastel menambah sentuhan elegan di setiap meja, membuat ruangan itu terasa nyaman namun tetap istimewa.
Di tengah ballroom, suasana penuh tawa dan cerita. Kelompok-kelompok kecil teman alumni tampak asyik berbincang, mengenang masa-masa SMA mereka dengan candaan khas yang seolah membawa mereka kembali ke masa lalu. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada juga yang membicarakan topik serius dengan nada yang lebih rendah. Percakapan tentang pekerjaan, pernikahan, hingga cerita lucu masa lalu menggema di penjuru ruangan.
“Hai, Sie. Boleh nggak kita duduk di sini?” tanya Arka yang tiba-tiba datang dengan suara tenang, sembari melemparkan senyuman ramah.
Siera, yang tengah sibuk berbicara dengan Cindy, terkejut mendengar suara itu. Ia mendongak, mendapati Arkana dan beberapa teman lamanya berdiri di dekat meja mereka. Jantungnya mendadak berdebar lebih cepat. Kenapa harus di sini, sih? pikirnya panik, tapi ia berusaha tetap tenang.
“Oh... silakan, kosong kok,” jawab Siera terbata-bata, sambil mengangguk kecil. Ia mencoba terlihat biasa saja, meski matanya tidak bisa lepas dari sosok Arka yang kini menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
Suasana di meja itu mendadak berubah canggung. Siera meneguk air mineralnya perlahan, mencoba menyibukkan diri agar tidak terlihat gelisah. Kehadiran Arka begitu dekat membuat pikirannya kacau.
Cindy, yang duduk di samping sampingan Siera, langsung menangkap perubahan suasana. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Arka dengan tatapan penuh arti, seolah ingin menanyakan niat pria itu. Meski sebelumnya ia menggoda Siera habis-habisan soal Arka, melihat pria itu bersikap biasa saja seperti tidak ada apa-apa membuat Cindy merasa tidak nyaman.
Apa-apaan sih Arka? Main duduk di samping Siera aja tanpa rasa bersalah, pikir Cindy kesal. Ia tahu betul bagaimana perasaan sahabatnya itu, dan sikap santai Arkana justru membuat situasi terasa semakin aneh. Cindy melipat tangannya di depan dada, memasang wajah sedikit dingin, namun tetap berusaha menjaga sopan santun di hadapan orang lain.
Arka, dengan gaya santainya, mulai terlibat percakapan dengan beberapa teman yang duduk di meja itu. Tawa kecil dan sapaan ramah darinya mengalir begitu mudah, membuat suasana meja perlahan mencair. Namun, bagi Siera, kehadirannya tetap menciptakan tekanan yang sulit dijelaskan.
“Jadi gimana kabarnya, Sie?” Arka tiba-tiba mengarahkan pertanyaan itu kepadanya, membuat Siera yang sedang memainkan garpu di piringnya sedikit terkejut. Suara Arka terdengar ringan, seolah-olah tidak ada masa lalu yang rumit di antara mereka.
“Oh... baik. Baik kok,” jawab Siera pelan, mencoba tersenyum meski hatinya tidak tenang. Ia merasa semua orang di meja itu menatapnya, bahkan Cindy yang biasanya cerewet kini hanya diam sambil mengamati interaksi mereka.
“Kamu sendiri gimana?” tanya Siera akhirnya, berusaha bersikap sopan.
“Baik juga. Lama nggak ketemu, ya?” Arkana menjawab sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Siera dengan senyuman tipis yang entah kenapa terasa terlalu familiar.
Cindy yang mendengar itu hanya bisa memutar matanya. Lama nggak ketemu? Lo ninggalin dia tiba-tiba, terus ngomong kayak nggak ada apa-apa. Serius banget, Arka? pikir Cindy sambil menahan dirinya untuk tidak menyindir pria itu di depan semua orang.
Cindy yang melihat interaksi itu menghela napas panjang. Ya ampun, ini bakal jadi malam yang panjang, pikirnya sambil memutar mata.
Sementara Siera yang mendengar penuturan Arka itu merasa kesal hingga dadanya bergejolak. Apa yang dia pikir? Lama nggak ketemu? Enteng banget, pikirnya sambil mengepalkan tangan. Bagaimana bisa seseorang yang pergi tiba-tiba, tanpa kabar, merasa semuanya adalah hal wajar? Seolah-olah luka yang dia tinggalkan begitu mudah dilupakan.
Wajah cantiknya mengeras, matanya berkilat dengan emosi yang berusaha ditahan. Keputusan untuk membenci Arka, yang pernah ia buat dengan berat hati, terasa semakin benar. Arka memang pantas dibenci, batinnya dengan penuh keyakinan
Siera merasakan dadanya semakin sesak seiring dengan kata-kata Arka yang terngiang di kepalanya. Apa gue sebegitu sepele bagi dia? pikirnya dengan getir. Bagaimana mungkin Arka bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa?
Pertemanan mereka selama bertahun-tahun terasa seperti debu yang beterbangan, tidak meninggalkan jejak apa pun. Setiap kenangan, setiap tawa, setiap dukungan yang mereka bagi, kini terlihat seperti hal yang tidak berarti baginya.
Matanya mulai berkaca-kaca, tapi Siera menahan air mata itu agar tidak jatuh. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan Arka. Kalau gue nggak berarti bagi dia, kenapa gue harus peduli lagi?! tekannya dalam hati, penuh amarah yang bercampur kekecewaan.