Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Ketegangan
Beberapa tetangga Mulya tampak penasaran saat melihat mobil mewah memasuki halaman rumahnya dan berhenti di halaman rumah sederhana itu.
Di dalam mobil, Arya menghela napas berat, matanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi sulit ditebak. Tak disangka, ia akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Begitu banyak kenangan yang dulu ia tinggalkan di sini, baik yang manis maupun yang begitu pahit hingga ia berharap tak perlu mengingatnya lagi.
Di kursi belakang, Alika menggenggam jemarinya sendiri, berusaha memantapkan hati. Ia datang ke sini dengan satu tujuan, meminta restu. Namun, hatinya berkecamuk hebat. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa berdiri di hadapan ibunya setelah semua yang terjadi bukanlah hal yang mudah.
Di dalam rumah, Maya dan Tari masih menatap mobil itu dengan penuh tanda tanya. Begitu pula para tetangga Mulya yang terus mengamati dari kejauhan. Sesekali mereka saling berpandangan, mencoba menebak siapa tamu tak terduga yang baru saja tiba. Namun, keterkejutan mereka mencapai puncaknya ketika melihat siapa yang turun dari dalam mobil.
Arya turun lebih dulu, ekspresinya tetap datar meskipun matanya tak bisa menyembunyikan sedikit kegelisahan. Lalu Alika, yang kini tampil begitu anggun dan elegan, turun menyusul. Wajahnya lebih dewasa, auranya begitu berbeda, tak lagi seperti gadis polos yang dulu mereka kenal.
Tetapi yang paling menarik perhatian Maya, Tari dan tetangga yang melihatnya adalah pria yang turun terakhir, Arlan. Meskipun hanya mengenakan kemeja sederhana dan celana bahan, sikapnya yang tenang, posturnya yang tegap, serta sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia bukan pria biasa. Di pelukannya, seorang bocah kecil yang gembul dan tampan duduk nyaman, sibuk memainkan jemari kecilnya di bahu pria itu.
Maya dan Tari tertegun, pikiran mereka dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapa pria itu? Mengapa Alika kembali dengan tampilan seperti ini? Dan siapa anak kecil yang ada dalam gendongan pria itu?
Suara gemuruh motor terdengar dari kejauhan. Mulya, ayah Maya, baru saja tiba, mengendarai motornya dengan santai. Namun, ketika ia mendekat dan melihat siapa yang berdiri di halaman rumahnya, tangan tuanya refleks mengerem mendadak.
Matanya membesar, penuh tanda tanya dan keterkejutan. Arya. Alika. Dan pria asing yang membawa seorang bocah kecil. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Arya melangkah maju, menatap Mulya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia mengangguk kecil sebelum membuka suara, suaranya tetap tenang meski di dalam hatinya ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
"Mulya... sudah lama sekali."
Mulya, yang masih duduk terpaku di motornya, mengedarkan pandangannya pada pria yang dulu ia sebut sahabat, lalu pada Alika yang kini berdiri di sampingnya. Sejenak, ia seperti tak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, akhirnya ia menarik napas dalam dan mengangguk.
"Iya, Arya... sudah lama," jawabnya, suaranya sedikit bergetar, lalu turun dari motornya.
Alika berdiri di samping ayahnya, menatap wajah kakeknya dengan jantung berdebar. Ia masih mengingat jelas bagaimana Mulya selalu memanjakannya saat kecil, sekaligus bagaimana pria itu menentang hubungannya dengan Rudy dan berusaha membujuknya untuk berpisah. Namun saat itu, Alika menolak dengan tegas, memilih mempertahankan rumah tangganya yang pada akhirnya tetap hancur.
Masihkah ia diterima di rumah ini?
Dengan perasaan campur aduk, Alika mengulurkan tangan, menyalami Mulya dengan penuh hormat. Jemari kakeknya yang terasa sedikit kasar membangkitkan kenangan masa kecilnya, masa di mana ia selalu dipenuhi kasih sayang pria tua itu. Namun, hubungan mereka akhirnya merenggang setelah Alika dengan tegas menolak permintaan kakeknya untuk berpisah dari Rudy.
"Kakek..." bisiknya nyaris tak terdengar.
Mulya menatap cucunya, mencoba mencari sesuatu di wajah yang kini terlihat jauh lebih dewasa. Hatinya dipenuhi tanda tanya dan rasa bersalah. Ia tahu kehancuran hidup Alika tidak lepas dari kesalahannya. Ia yang menyembunyikan fakta bahwa Rudy adalah anak dari dosanya, menutupi aibnya hingga akhirnya berdampak pada cucunya sendiri.
Namun, terlepas dari semua itu, ia tetap membalas genggaman tangan Alika, meremasnya perlahan sebelum akhirnya mengangguk.
"Masuklah," ucapnya, mempersilakan mereka memasuki rumah.
Para tetangga yang menyaksikan rombongan Arya memasuki rumah Mulya hanya bisa saling bertukar pandang, menyimpan pertanyaan yang sama tanpa jawaban.
Arlan, yang sejak tadi diam mengamati interaksi mereka, melangkah masuk sambil tetap menggendong Adriel, mengikuti Arya dan Alika yang berjalan di depannya. Rumah ini sederhana, tak banyak berubah dari yang Alika ingat. Bau khas kayu tua masih sama seperti dulu, hanya saja kini terasa lebih asing.
Saat mereka tiba di ruang tamu, langkah Alika terhenti seketika. Dari balik pintu dalam, Maya dan Tari muncul.
Maya, yang sejak tadi merasa tak tenang, kini berdiri diam, menatap langsung pada Arya dan Alika. Matanya membesar saat melihat wajah putrinya, begitu berbeda dari terakhir kali ia melihatnya. Sementara Tari menatap mereka dengan sorot penuh tanya, sesekali melirik ke arah Arlan dan anak kecil yang ada dalam gendongannya.
Arya mengeraskan rahangnya, sorot matanya dingin saat bertemu tatapan Maya. Seketika, udara di ruangan itu terasa berat. Alika sendiri menggigit bibirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar lebih cepat.
Ini pertama kalinya sejak meninggalkan kampung ini, ia bertemu dan berdiri sedekat ini dengan ibunya, wanita yang memberinya kehidupan, sekaligus orang yang telah menghancurkan keluarganya.
Mulya menghela napas, berusaha mengurai ketegangan yang masih menggantung di udara. Dengan gerakan tenang, ia mempersilakan semuanya duduk.
"Silakan duduk, jangan hanya berdiri," ucapnya, suaranya terdengar lebih ramah meski ada kebingungan di matanya.
Arlan duduk di samping Alika dengan sikap santai namun tetap menjaga wibawanya. Sementara itu, Adriel yang sejak tadi berada dalam gendongan Arlan, kini merentangkan tangannya, meminta untuk dipangku oleh Alika. Wanita itu segera meraih putranya, membiarkannya duduk nyaman di pangkuannya.
Semua mata memperhatikan bagaimana kedekatan mereka bertiga. Jika melihat ini, warga desa mungkin bertanya-tanya siapa pria yang kini bersama Alika, tetapi di ruangan ini, tak ada yang bisa mengabaikan betapa serasinya mereka terlihat.
Arya, yang duduk di kursi seberang, akhirnya membuka suara.
"Kami datang ke sini karena Alika ingin meminta restu," katanya, langsung ke inti pembicaraan. Ia menatap Mulya dengan tatapan tegas sebelum melanjutkan. "Ia akan menikah dengan Arlan."
Maya, Tari, dan Mulya saling bertatapan. Reaksi mereka bercampur antara terkejut, bingung, dan hati-hati.
"Menikah?" suara Tari nyaris terdengar seperti gumaman, seolah mencoba memastikan apakah ia tidak salah dengar.
Maya menatap Alika dan Arlan bergantian, hatinya dipenuhi tanda tanya. "Apakah pria itu yang akan menikahi Alika?"
Mulya menatap Alika dengan dalam. Ada banyak pertanyaan di matanya, tetapi ia tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Arya mendesah pelan sebelum menambahkan, "Sebenarnya, aku sudah melarangnya datang ke sini. Aku tidak ingin ia mengingat luka lama, tidak ingin ia kembali mengorek hal-hal yang sudah seharusnya ia tinggalkan. Tapi Alika tetap ingin meminta restu."
Mata Maya sedikit membesar mendengar ucapan Arya. Entah apa yang ia rasakan, terkejut, tersentuh, atau mungkin juga perasaan yang sulit dijelaskan.
Di sisi lain, Arlan yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara.
"Saya tahu mungkin kedatangan kami mengejutkan," suaranya tenang, tetapi ada ketegasan di dalamnya. "Tapi saya ingin kalian tahu bahwa saya ingin menikahi Alika dan ingin membahagiakannya. Jika bisa, saya juga ingin mendapatkan restu dari keluarganya."
Nada suaranya begitu tulus, membuat suasana di ruangan itu sedikit melunak. Mulya menatap pria di hadapannya dengan sorot penuh pertimbangan. Sementara Maya dan Tari, meskipun masih terlihat ragu, jelas tak bisa mengabaikan bagaimana Arlan berbicara dengan penuh keyakinan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
sungguh aku sangat-sangat terkesan.....
TOP MARKOTOP BUAT AUTHOR
semoga rejeki nya berlimpah.......
tetap semangat kak ...meski gak dapat reward yakinlah ada rezeki yang lain yang menggantikan .
sehat slalu dan rejeki lancar berkah barokah . aamiin 🤲
ditunggu karya selanjutnya kak Nana .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
di tunggu karya terbaru nya 🥰❤️❤️❤️❤️
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍