"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Setiap kali ia pulang dari rumah tetangga depannya, Bri akan berdiri sejenak menatap rumah kosong berwarna merah bata yang sudah kusam di samping rumah Mbak Dita tetangganya yang telah lama kosong. Suasanya agak mencekam dengan pagar yang sudah berkarat kadang berbunyi seram ketika tertiup angin kencang.
Seminggu kemudian rumah itu menampakkan tanda-tanda kehidupan. Penghuninya adalah seorang pria misterius, berusia sekitar lima puluhan, dengan postur tegap dan wajah yang selalu tertutup bayangan topi hitamnya. Namanya hanya diketahui sebagai Pak Opet meskipun tidak ada yang yakin apakah itu nama aslinya.
Pak Opet jarang terlihat keluar rumah. Jika pun ia keluar, itu hanya untuk membeli kebutuhan di toko terdekat, dan bahkan saat itu ia hanya berbicara seperlunya dengan nada datar. Bri tidak pernah bertemu dengannya karena mungkin juga dia pulang sangat larut dan tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga lain.
Para tetangga mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Beberapa anak yang penasaran pernah mencoba mengintip ke dalam rumahnya, tapi jendela-jendelanya selalu tertutup rapat oleh tirai gelap.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur, seorang tetangga bernama Bu Siska melihat sesuatu yang aneh dari jendela rumahnya. Ia melihat Pak Opet keluar dari rumah dengan membawa sebuah koper besar. Namun, koper itu terlihat sangat berat, seolah-olah berisi sesuatu yang tidak biasa. Pak Opet memasukkan koper itu ke dalam mobilnya dan pergi, meninggalkan genangan air bercampur lumpur di halaman rumahnya.
Keesokan harinya, desas-desus semakin liar. Ada yang bilang koper itu berisi emas curian, ada pula yang menduga itu sesuatu yang lebih gelap.
Raga pulang dari aktifitasnya berolahraga pagi itu. Ketika tidak menemukan kucingnya Biu di manapun, di carinya di sekitar teras depan juga nihil. Dilihatnya Bri yang sedang mencuci mobilnya di samping.
"Kau lihat kucingku?" tanyanya sambil berteriak. Sementara Bri yang terlihat tidak peduli menjawab sekenanya. "Tidak."
"Apa kau yakin?"
"Kenapa tiap kucingmu hilang, harus aku yang selalu menjadi tertuduh?" Bri mematikan keran air dan menatap Raga dengan sengit.
"Aku kan hanya bertanya." Raga tidak mau berdebat dengan wanita itu lalu mencari disekitaran rumah tetangganya. Mbak Dita keluar dari rumahnya dan melihat Raga yang sedang tampak mencari sesuatu.
"Cari apa Mas Raga?"
"Eh, Mbak Dita. Ini kucing saya sepertinya hilang lagi."
"Oh, sepertinya tadi saya lihat dia main sekitaran pagar tetangga sebelah," ucap Dita sambil menunjuk rumah Pak Opet yang terlihat sunyi dan tenang.
Raga memperhatikan rumah itu dengan seksama, pagarnya nampak terbuka sedikit. Bri yang ikut bergabung berdiri menatap rumah itu.
"Jangan bilang kau mau mencarinya di dalam sana," ucap Bri agak ngeri.
"Aku tidak punya pilihan." Raga melangkah perlahan menuju rumah itu. Dibelakangnya Dita tampak cemas tapi tidak mau ikut campur. Bri yang juga takut tapi selama ini cukup penasaran dengan suasana di dalam rumah itu memutuskan mengikuti Raga di belakangnya.
Raga menoleh ke belakang. "Apa yang kau lakukan?"
Bri berbisik pelan. "Jangan berisik. Aku tau kau takut, jadi tenang saja aku akan menemanimu."
"Cih! Lihatlah kakimu bergetar seperti itu. Jangan berteriak tiba-tiba di telingaku." Mereka masuk perlahan, Raga sebelumnya sudah mengucapkan permisi denga kencang namun tidak ada sahutan dari dalam dan memutuskan untuk masuk mencari sebentar. Langit mulai gelap secara perlahan, angin bertiup cukup kecang membuat pagar berkarat itu begoyang dan mengeluarkan suara seram yang menakutkan.
Mereka masuk lebih dalam ke halaman belakang yang terhubung langsung dengan pintu samping yang tidak dikunci. Bri was-was dan menatap sekelilingnya dengan fokus takut kalau ada yang muncul ketika dia tidak siap.
"Meow...." suara kucing terdengar oleh mereka. Raga bergegas mencari di balik sebuah pohon mangga besar. Bri yang menunggu di belakang Raga tampak ikut lega kucing itu baik-baik saja.
"Untung kepalanya masih utuh," ucap Bri mendesah lega yang disertai tatapan sinis Raga.
"Sedang apa kalian?" suara berat berasal dari belakang mereka. Bri yang takut menahan teriakan tertahannya yang sudah berada di ujung lidahnya, tangannya memegang ujung kemeja Raga, mereka tertangkap basah.