Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Pemandangan Tak Biasa
Sebenarnya, Jagat masih penasaran dengan kehidupan Jenna. Namun, dia sangat lelah dan ingin segera pulang. Terlebih, malam sudah benar-benar larut. Akhirnya, Jagat memutuskan melanjutkan perjalanan ke rumah.
Setelah empat tahun berlalu, Jagat memilih meninggalkan apartemen yang telah lama ditempati, lalu membeli rumah tinggal di kawasan township. Jagat memulai hidup baru di sana, meskipun kenyataannya masih terpenjara dalam masa lalu.
“Ah,” keluhan pelan meluncur dari bibir berkumis tipis Jagat, yang sudah merebahkan tubuh di tempat tidur. Lajang berusia 41 tahun tersebut menatap langit-langit kamar. Pikirannya mulai menerawang tak menentu.
Perlahan, Jagat memejamkan mata. Berusaha tidur, untuk melepaskan rasa lelah yang membuat tubuhnya kehilangan sebagian tenaga. Namun, tiba-tiba bayangan Jenna melintas di benak sang pemilik Niskala Madyantara Abadi tersebut.
Jagat segera membuka mata. “Kehidupan seperti apa yang kamu jalani, Jenna?” gumamnya, bertanya pada diri sendiri.
Jagat kembali termenung, dengan tatapan menerawang ke langit-langit kamar. Beberapa saat kemudian, matanya terasa begitu berat, hingga tanpa sadar tertutup sempurna.
Meskipun tidur sangat larut, tapi Jagat tetap bangun pagi. Seperti biasa, dia memulai hari dengan olahraga dilanjutkan berenang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45, ketika Jagat telah selesai sarapan. Dia langsung mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tujuan utamanya kali ini adalah kawasan pemukiman kumuh, yang menjadi tempat tinggal Jenna.
Setelah memarkirkan mobilnya, Jagat berjalan beberapa meter. Dia harus mengabaikan rasa tak nyaman karena berada di wilayah, yang bagi orang-orang sepertinya merupakan tempat menjijikan.
Sungguh tak nyaman. Kondisi di sana begitu jorok. Tak bisa dimengerti, mengapa ada yang betah berlama-lama tinggal di tempat seperti itu.
Jagat terpaku sejenak, melihat deretan rumah tak layak huni berhiaskan tali jemuran semrawut. Beberapa wanita asyik berkumpul sambil bergosip. Sebagian dari mereka hanya mengenakan tanktop dan celana kolor lusuh. Ada juga yang berbincang sambil mencari kutu.
Sungguh pemandangan yang tidak nyaman dan tak biasa bagi seorang Jagat Hartadi. Namun, rasa penasaran terhadap Jenna, berhasil membawanya ke sana. Jagat rela mengabaikan segala ketidakbiasaan itu.
“Di mana Jenna?” tanya Jagat dalam hati. Berhubung tak ingin berlama-lama di sana, dia memberanikan diri bertanya pada sekumpulan wanita yang tengah asyik bergosip tadi.
“Ada yang bisa dibantu, Om?” tanya wanita yang kelihatannya paling muda di antara lainnya.
“Saya mencari Jenna. Ada yang bisa memberitahu di mana ____”
“Jenna?” sela salah seorang wanita.
Jagat menoleh, lalu mengangguk.
“Biasanya, dia ada di TPS pada jam seperti ini. Coba saja Om cari ke sana.”
“TPS?” ulang Jagat.
“Iya, Om. Dia biasa _____”
“Anda? Kenapa kemari?” sela suara lembut, yang tak lain milik Jenna.
Jagat langsung menoleh. Ditatapnya Jenna dengan pakaian berbeda, tetapi tak lebih bagus dari yang dikenakan semalam.
"Aku mencarimu. Mari bicara di tempat lain," ajak Jagat, seraya mengarahkan tangan ke luar gang, sebagai isyarat dirinya tak ingin bicara di sana.
Awalnya, Jenna hanya terpaku dengan sorot penuh keraguan. Sesaat kemudian, wanita muda itu mengangguk setuju. Dia mengekor langkah Jagat, meninggalkan para wanita yang menatap kepergian mereka dengan penuh tanda tanya.
"Bagaimana Anda tahu aku tinggal di sini? Jangan katakan _____"
"Aku hanya memastikan kamu pulang dengan selamat," sela Jagat segera. Dia menghentikan langkah, kemudian menoleh pada Jenna yang tertegun di belakangnya.
"Terima kasih, tapi ...." Jenna menatap dengan sorot tak dapat diartikan.
"Apa kamu sudah sarapan?" tanya Jagat.
Jenna mengangguk pelan.
"Ikut aku," ajak Jagat, seraya melanjutkan langkah.
"Ke mana?" tanya Jenna. Meskipun diliputi rasa heran dan penasaran atas sikap Jagat terhadapnya, Jenna tetap mengikuti pria itu.
"Kamu harus memeriksakan kandungan ke dokter spesialis," jawab Jagat. Dia menghentikan langkah di dekat mobilnya terparkir.
Bukannya senang, Jenna justru menggeleng kencang. "Tidak," tolaknya. "Aku tidak punya uang."
"Aku yang akan membayar."
Jenna menatap aneh. "Kenapa Anda melakukan ini? Apa yang Anda inginkan?" Wanita muda itu menatap penuh selidik.
Jagat yang hendak membuka pintu mobil, berbalik menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Jenna. "Kesehatan bayimu harus diutamakan. Hanya itu yang jadi pertimbanganku."
"Kenapa Anda begitu peduli?" Jenna masih dengan tatapan penuh selidik.
"Aku peduli pada semua orang yang membutuhkan bantuan. Aku peduli pada anak-anak terlantar. Kubuatkan rumah untuk berteduh dan memperoleh segala hal yang sepatutnya mereka dapatkan," jelas Jagat lugas.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Namun, bayi dalam kandunganmu berhak mendapatkan sesuatu yang lebih. Dia adalah anugerah."
Jenna menggeleng kencang. "Anda salah, Pak!" bantahnya tegas. "Bayi dalam kandunganku justru merupakan bencana terbesar yang Tuhan berikan. Gara-gara kehamilan ini, aku jadi ...." Jenna tak kuasa melanjutkan kalimatnya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sebelumnya. Namun, sekarang kamu punya tanggung jawab besar untuk mengandung dan melahirkan bayi itu. Jadi, lakukan tugasmu dengan baik. Aku yakin, kamu akan memperoleh timbal balik dari semua yang sudah diperjuangkan selama ini," ucap Jagat bijak.
Jenna kembali menggeleng. "Jika Anda ingin membantuku, maka bantu aku menggugurkan kandungan ini karena aku tidak tahu bagaimana caranya."
"Jangan gila, Jenna!" sergah Jagat cukup tegas. "Aku tahu, kamu masih terlalu muda untuk menghadapi situasi seperti ini seorang diri. Namun, jangan membuatmu makin terperosok dalam dosa. Jika kamu tidak menginginkan bayi itu, tak apa. Cukup lahirkan dia, lalu serahkan padaku. Di negara ini, ada banyak pasangan yang menantikan kehadiran seorang anak."
Jenna terpaku dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak menyukai keadaan ini, Pak. Semuanya terasa begitu berat," isak wanita muda itu pelan.
"Aku bisa memahaminya. Oleh karena itu, biarkan aku membantumu."
Jenna yang masih muda, kebingungan menentukan jalan hidupnya saat ini. Dia hanya menjalani setiap hari, tanpa ada rencana matang ke depan. Semua begitu buram baginya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya Jagat, ketika dalam perjalanan.
"Aku muak bila mengingat hal itu, Pak," ucap Jenna pelan.
"Pacarmu?" Jagat menoleh sekilas.
Jenna menggeleng pelan, lalu tertunduk lesu. "Aku belum punya pacar, Pak," ujarnya.
Jagat menggumam pelan, sambil terus mengemudi. Untunglah karena kondisi lalu lintas pagi itu tidak sepadat biasanya.
"Apakah itu akibat dari pergaulan bebas?" tanya Jagat lagi. "Tidak apa-apa. Bercerita saja padaku. Jangan khawatir karena rahasiamu pasti aman."
Jenna tidak segera menjawab. Dia justru mengalihkan perhatian ke luar jendela, menatap jalanan yang dilalui. Wanita muda itu terdiam beberapa saat, seakan tengah mempertimbangkan sesuatu.
"Aku hanya gadis biasa, Pak," ucap Jenna, setelah terdiam beberapa saat.
"Lalu?"
"Aku dirudapaksa anak majikan, tempat ibuku bekerja," terang Jenna.