Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari jawaban dalam diri
Pagi itu Bayu terbangun dengan perasaan yang sama seperti kemarin. Pikiran-pikirannya penuh dengan kekacauan yang tak kunjung reda. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada pelajaran filsafat yang diberikan dosennya, pikiran itu kembali mengalir. Rara. Perasaannya yang rumit. Kenapa perasaan itu tak kunjung menghilang?
Di kelas, Bayu duduk di bangkunya dengan wajah lesu. Teman-temannya sibuk berbicara dan bercanda, namun ia merasa seolah terasing. Semua yang ada di sekitar Bayu tampak begitu jauh. Ia hanya bisa mendengarkan suara dosen yang berbicara tentang filsafat eksistensialisme, namun kata-kata itu sama sekali tak membantunya menemukan jawabannya.
“Manusia itu terperangkap dalam kebebasan,” kata dosen dengan penuh semangat, mengutip Sartre. “Dia harus memilih, dan dalam memilih, dia menanggung tanggung jawab atas pilihannya. Tidak ada yang bisa menghindar dari kebebasan ini.”
Bayu menatap dosen yang sedang berbicara, namun kata-kata itu malah membuat hatinya semakin gelisah. “Kebebasan,” pikir Bayu. “Apakah itu yang aku cari? Kebebasan untuk memilih? Ataukah aku terjebak dalam kebingunganku sendiri?”
“Ah, Socrates berkata, ‘Kenalilah dirimu sendiri.’ Mungkin, itu yang harus gue lakukan. Gue terjebak dalam kebingungan ini karena gue belum kenal sepenuhnya apa yang gue rasain,” gumamnya pelan. “Apa ini tentang kebebasan untuk memilih, atau justru gue yang tidak mampu memilih karena ketidaktahuan gue tentang diri sendiri?”
Bayu mengalihkan pandangannya ke jendela. Pemandangan luar ruangan begitu tenang, jauh berbeda dengan pikirannya yang penuh kekacauan. Mungkin dia memang perlu memilih, tapi setiap pilihan seakan terasa berat baginya. Apakah memilih untuk tetap bersama Rara adalah keputusan yang tepat, atau malah menjadi keputusan yang akan mengubah hidupnya?
Sore harinya, Bayu memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia butuh ketenangan. Di sana, ia duduk di meja yang biasanya ia pakai untuk belajar, membuka buku filsafat. Ia mulai membaca tentang Stoikisme, filsafat yang selama ini ia pelajari, berharap ada sesuatu yang bisa membantunya menjernihkan pikiran.
“Tidak ada yang dapat menguasai kita kecuali apa yang kita pilih untuk kita kuasai,” baca Bayu, mengutip kata-kata Epictetus. “Jadi, kenapa gue biarin kebingunganku ini nguasain pikiran gue?”
Bayu berhenti sejenak, memikirkan kata-kata itu. Apakah kebingungannya itu merupakan pilihannya? Bukankah dia yang memutuskan untuk membiarkan dirinya terombang-ambing oleh perasaan yang tidak jelas?
“Ah, mungkin gue seperti yang dikatakan oleh Seneca, ‘Kita bukan terganggu oleh peristiwa, tapi oleh pandangan kita terhadap peristiwa tersebut.’ Perasaan ini bisa gue kendalikan, kalau gue mengubah cara pandang gue tentang itu,” ujar Bayu dengan suara pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Gue yang memilih untuk terus terjebak dalam kebingunganku, gue yang memberi makna pada perasaan ini.”
Bayu melanjutkan membaca, berharap menemukan jawaban lain yang lebih memadai. “Kita nggak bisa ngubah apa yang terjadi, tapi kita bisa ngubah gimana cara kita meresponnya,” katanya, kali ini mengutip Epictetus lagi.
Mungkin, pikir Bayu, inilah yang harus ia lakukan. Menerima bahwa ia tak akan pernah sepenuhnya memahami perasaan ini, tapi ia harus memilih untuk meresponsnya dengan cara yang tepat.
Bayu menutup bukunya dan menarik napas dalam-dalam. "Gue harus hadapin perasaan ini, bukan ngindarinya."
Keputusan itu datang tiba-tiba, seperti suara hati yang sudah lama ia abaikan. Bayu memutuskan untuk berbicara dengan Rara, untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tidak ada lagi kebingungan yang perlu dipelihara. Rara sudah cukup sabar menunggunya, dan sekarang adalah waktunya untuk jujur pada diri sendiri.
Setelah pertemuan di perpustakaan itu, Bayu merasa sedikit lebih tenang. Mungkin memang benar kata-kata para filsuf itu—kebebasan ada dalam memilih. Perasaan ini, meskipun sulit dipahami, tetap harus diterima. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu, kecuali dirinya sendiri.
Hari berikutnya, saat Bayu menemui Rara di kampus, ia merasa sedikit lebih percaya diri. Namun, hatinya masih berdebar-debar. Bayu menghampiri Rara yang sedang duduk di bangku taman, seperti biasa.
“Ra, ada yang mau gue omongin,” kata Bayu dengan suara pelan, namun cukup tegas.
Rara menoleh, tersenyum, namun kali ini ada kesan yang lebih serius di matanya. “Iya, apa itu? Lu terlihat lebih tenang hari ini.”
Bayu duduk di samping Rara, mencoba mengatur napasnya. “Ra, gue sudah mikirin ini cukup lama. Tentang perasaan gue, tentang kita... dan, ya, gue rasa gue udah siap buat ngomong.” Bayu berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin gue nggak sepenuhnya ngerti tentang cinta, tapi gue nggak bisa terus-terusan menghindar dari perasaan ini.”
Rara menatap Bayu dengan penuh perhatian. “Apa maksud lu?”
Bayu menatap Rara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Gue nggak tahu kenapa, Ra. Tapi gue sadar, perasaan gue sama lu tuh nggak bisa dibiarin begitu aja. Gue nggak bisa terus pura-pura nggak peduli. Gue nggak mau nyakitin lu, dan gue nggak mau bohongin diri gue sendiri lagi.”
Rara tersenyum, senyum yang berbeda dari biasanya. Senyum yang penuh harapan. “Gue nggak pernah ingin lu bohongin diri sendiri, Bayu. Gue cuma ingin lu jujur sama perasaan lu, seperti yang lu lakukan sekarang.”
Bayu menunduk, merasa sedikit lebih lega. “Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan selanjutnya. Tapi gue siap untuk mencoba, Ra. Coba untuk mengerti apa yang sebenarnya gue rasain.”
Rara mengangguk pelan. “Gak masalah, Bayu. Kita bisa mulai dari sini. Pelan-pelan, dan kita akan menghadapinya bersama.”
Bayu menghela napas panjang. Setelah sekian lama, akhirnya ia merasa sedikit lebih jelas tentang apa yang harus ia lakukan. Mungkin perasaan itu tidak akan pernah sepenuhnya dipahami dengan logika, namun yang terpenting sekarang adalah keberanian untuk menerima dan merespons perasaan itu dengan cara yang baik.
Seiring waktu, Bayu menyadari bahwa ia harus mengikuti kata hati, meskipun sering kali bertentangan dengan logika yang ia pelajari selama ini. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “Cinta adalah sebuah keputusan yang datang dari hati, bukan hanya akal.”