Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 14 — Menjelajahi Dungeon Part 1 —
Satu minggu telah berlalu sejak ujian skill itu. Waktu terasa berjalan cepat, tapi bagiku, setiap hari terasa seperti beban baru. Identitasku masih aman, tetapi tekanan untuk terus berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan diriku semakin besar.
Setiap pagi, saat aku bangun, rasa cemas menyelimuti pikiranku. Aku harus bersikap seolah-olah tidak ada yang salah, tetapi di dalam diriku, ada suara yang terus berbisik, mengingatkanku akan kebohongan yang kututupi.
Saat aku berjalan untuk menemui mereka, aku bisa merasakan tatapan teman-temanku, terutama Kenta dan Ayana, yang seolah-olah mencoba mencari tahu apa yang terjadi di balik senyumku yang dipaksakan. Aku yakin mereka berdua tahu akan hal itu, tetapi tidak bisa membicarakannya karena sulit untuk mencari momen yang tepat.
Di malam hari, saat semua orang terlelap, aku sering terbangun dengan keringat dingin. Mimpi buruk menghantuiku, menampilkan bayangan kegelapan yang mengintai, seolah-olah menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Aku sering duduk di tepi ranjang, menatap langit malam yang gelap, bertanya-tanya akan sesuatu. Apakah aku akan terjebak dalam kebohongan ini selamanya?
Waktu pun terus berlalu, hingga pagi ini, kami berdiri di depan gerbang besar Dungeon pertama kami. Sebuah menara batu yang menjulang tinggi ke langit kelabu, seolah-olah menyimpan rahasia gelap di dalamnya. Kabut tipis melingkupi area sekitar, membuat suasana menjadi semakin mencekam.
“Perhatian!” seorang ksatria yang bertugas sebagai pemimpin tim berbicara dengan lantang. “Dungeon ini dipenuhi monster tingkat rendah. Tapi jangan meremehkan mereka. Gunakan kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuan kalian!”
Di antara teman-temanku, wajah mereka memancarkan beragam emosi—semangat, gugup, dan kewaspadaan. Di sisi lain, aku hanya berdiri di belakang rombongan, merasa seperti penonton yang dipaksa ikut bermain.
“Hayato.” Suara Kenta memecah lamunanku. Ia berdiri di sampingku dengan senyum khasnya. “Kau siap?”
“Siap untuk apa?” tanyaku, berusaha terdengar percaya diri meski dalam hati aku ragu.
“Ahli strategi, kan? Itu tugas penting.”
Aku hanya mengangguk kecil, menyembunyikan rasa canggungku. Peran ini hanyalah cara halus untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa diandalkan di medan pertempuran. Dengan hasil skill Null, Raja Abeir Toril memutuskan aku lebih cocok mengamati dan memberi arahan daripada bertarung langsung.
Saat kami melangkah masuk ke dalam Dungeon, perubahan suasana langsung terasa. Udara menjadi dingin, dan bau lembap dari dinding batu memenuhi hidungku. Cahaya obor di tangan para ksatria menciptakan bayangan yang bergerak di sekitar kami, membuat imajinasiku liar.
Setelah beberapa menit berjalan dalam keheningan, suara langkah kaki kecil mulai terdengar. Aku berhenti, memandang ke depan dengan serius.
“Berhenti!” seruku. “Ada sesuatu di depan kita. Semua bersiap!”
Timku langsung mengambil posisi sesuai instruksi ksatria. Kenta maju ke depan dengan pedangnya, sementara Ayana tetap di belakang, siap dengan ramuan penyembuhnya. Teman-teman lain mempersiapkan senjata masing-masing, wajah mereka tegang.
Ketika suara itu semakin mendekat, akhirnya makhluk-makhluk kecil bermunculan dari kegelapan. Mereka adalah goblin, dengan tubuh hijau, gigi tajam, dan senjata seadanya seperti tongkat dan pisau tumpul.
“Ada enam goblin,” kataku setelah menghitung cepat. “Kenta, fokus pada tiga di depan. Kenji, serang dari samping kiri. Ryota, lindungi Ayana dan awasi belakang. Ayana, siap dengan penyembuhan jika ada yang terluka!”
“Dimengerti!” jawab Kenta dengan tegas, lalu maju dengan pedangnya.
Pertarungan dimulai. Kenta menebas goblin-goblin di depannya dengan gerakan cepat, memanfaatkan kecepatan dan kekuatan yang membuatnya terlihat seperti pejuang sejati. Kenji menyerang dari samping, menabrak salah satu goblin dengan tamengnya sebelum menusuk yang lain dengan tombaknya.
“Di kananmu, Kenta!” seruku saat melihat salah satu goblin mencoba menyerang dari sisi butanya.
Kenta langsung berbalik, memblokir serangan itu dengan pedangnya sebelum memberikan tebasan balasan yang membuat goblin itu terjatuh.
Sementara itu, Ayana tetap berjaga di belakang, matanya terus memperhatikan pergerakan kami. “Kenta, kau terluka di bahu!” katanya.
“Aku baik-baik saja!” Kenta menjawab dengan sedikit terengah.
“Tetap di posisimu!” seruku. “Ayana, siapkan ramuannya, tapi jangan maju ke depan!”
Ketegangan terus meningkat seiring dengan pergerakan goblin yang semakin liar. Aku terus memantau situasi, memastikan semuanya tetap terorganisir.
“Ryota, awasi kananmu!” teriakku saat melihat bayangan lain bergerak di belakangnya.
Ryota berhasil memutar badannya tepat waktu, menangkis serangan goblin yang mencoba menyerangnya dari belakang. “Terima kasih, Hayato!”
Dalam beberapa menit, semua goblin berhasil dilumpuhkan. Tubuh mereka tergeletak di lantai batu, sementara teman-temanku berdiri dengan napas terengah-engah.
“Kalian melakukannya dengan baik,” kataku, mencoba menyemangati mereka.
“Ini semua berkat arahannya, Hayato,” ujar Kenta dengan senyum puas.
Aku hanya bisa tersenyum kecil. Rasanya aneh mendapat pujian seperti itu, terutama ketika aku tahu bahwa peranku ini hanya sementara.
Kami melanjutkan perjalanan lebih dalam ke Dungeon, menghadapi beberapa kelompok goblin lagi. Pertarungan demi pertarungan membuatku semakin memahami dinamika tim ini. Tapi di sisi lain, aku merasa seperti orang luar yang hanya menonton dari jauh.
Malam itu, ketika kami akhirnya beristirahat di area aman dalam Dungeon, aku duduk sendirian di dekat api unggun. Di sekitarku, teman-temanku berbicara tentang kemenangan mereka hari ini, tertawa dan bercanda. Aku mencoba mendengarkan, tapi pikiranku terus melayang ke arah lain.
Sistemku tetap diam sepanjang hari, tanpa petunjuk baru. Aku tahu aku harus terus bermain peran ini, tapi sampai kapan aku bisa bertahan?
Aku memandang api unggun di depanku, merasakan campuran antara ketakutan dan keinginan untuk melindungi mereka, meskipun aku tahu suatu saat kebenaranku akan terungkap. Dan saat itu terjadi, aku tidak yakin apa yang akan terjadi pada hubungan kami.
Malam itu, saat semua teman sekelasku sudah mulai tertidur lelap di sekitar api unggun, aku tetap terjaga. Pikiran tentang pertarungan hari ini dan peranku sebagai ahli strategi masih bergelayut dalam benakku. Namun, ada satu hal lain yang terus menghantui pikiranku sejak hari pertama aku bertemu mereka lagi.
Eirene.
Aku menatap langit berbintang melalui celah-celah dinding batu di atas kami. Rasanya tidak adil. Aku meninggalkannya sendirian di sisi kegelapan demi berpura-pura menjadi pahlawan di sisi terang ini. Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia mengerti alasanku melakukan semua ini?
Aku memejamkan mata, mengingat percakapan terakhir kami sebelum aku berangkat ke kerajaan Abeir Toril. Saat itu, aku tidak bisa mengatakan banyak hal padanya, tapi aku meninggalkan pesan kecil yang hanya ia yang bisa memahaminya.
Aku tidak tahu apakah ia sudah menemukannya atau belum, tetapi aku hanya bisa berharap ia memahami niatku. Aku meninggalkan pesan itu di tempat yang lumayan mencolok—menggunakan Manipulasi Darahku untuk menulis pesan di atas sehelai daun, lalu menempatkan daun itu di tempat yang mudah terlihat di dekat tenda, berharap Eirene akan mengerti.