Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Jarak yang Mulai Terbentuk
Pagi di Eradel kembali diselimuti kabut tipis, tetapi suasananya tidak lagi sehangat biasanya. Ayla dan Kael, yang biasa memulai hari dengan latihan bersama, kini berjalan dalam diam, seolah ada tembok tak kasatmata yang memisahkan mereka.
Di ruang pelatihan, Tuan Eldric menyadari ketegangan di antara keduanya. Ia berdiri di tengah ruangan, memandang mereka dengan dahi berkerut. “Hari ini kita akan fokus pada harmoni. Sebuah kekuatan tidak akan maksimal jika tidak ada keselarasan dalam pikiran dan hati.”
Kael dan Ayla hanya saling melirik sebentar sebelum kembali memusatkan perhatian pada Tuan Eldric. Pelatihan dimulai dengan mereka mencoba menyinkronkan energi mereka, tetapi hasilnya tidak sebaik biasanya. Ayla merasa pikirannya terus-menerus mengembara ke Arlen dan apa yang dikatakannya, sementara Kael merasa gelisah dengan perasaan bahwa Ayla mulai menjauh darinya.
Setelah beberapa kali gagal, Tuan Eldric menghentikan latihan. “Ada sesuatu yang mengganggu kalian,” katanya tegas. “Jika ini terus berlanjut, kalian tidak akan bisa menghadapi ancaman yang sebenarnya.”
Ayla menunduk, sementara Kael memalingkan wajahnya.
“Kael,” kata Tuan Eldric, suaranya lebih lembut. “Sebagai pemimpin, kau harus belajar untuk mempercayai mereka yang ada di sisimu, bahkan saat kau merasa ragu.”
Kael mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya soal kepercayaan.
Sore harinya, Ayla pergi ke taman istana, tempat ia sering merenung. Ia duduk di bawah pohon besar, mencoba menenangkan pikirannya. Tidak lama kemudian, Arlen muncul, langkahnya pelan dan penuh percaya diri.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya dengan senyum khasnya.
Ayla menatapnya dengan sedikit ragu. “Kael tidak mempercayaimu, dan aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Ketakutan itu wajar,” jawab Arlen sambil duduk di dekatnya, menjaga jarak yang sopan. “Tapi ketakutan juga bisa menghalangi kita melihat kebenaran.”
Ayla memandangi Arlen, matanya mencari kejujuran dalam kata-katanya. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?”
Arlen tersenyum, kali ini lebih lembut. “Aku ingin kau berhasil. Dunia ini membutuhkanmu, Ayla. Dan aku… aku ingin berada di sisimu untuk memastikan itu terjadi.”
Cara ia mengatakannya membuat hati Ayla bergetar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa dimengerti, seolah Arlen benar-benar peduli, bukan hanya tentang misinya, tetapi juga tentang dirinya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Kael muncul, matanya penuh dengan amarah yang ia coba kendalikan.
“Ayla,” katanya tajam. “Kita harus bicara.”
Ayla berdiri, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Arlen bangkit berdiri di sampingnya. “Dia punya hak untuk memilih jalannya sendiri, Pangeran.”
“Dan kau tidak punya hak untuk mencampuri hidupnya,” balas Kael, nadanya rendah tetapi berbahaya.
Ketegangan di antara mereka semakin terasa, seolah udara di sekitar mereka menjadi berat. Ayla melangkah maju, mencoba meredakan situasi. “Sudah cukup!” serunya. “Aku tidak ingin kalian bertengkar karena aku.”
Kael menatap Ayla dengan campuran kekecewaan dan kesedihan. “Aku hanya ingin melindungimu,” katanya lirih.
Arlen tersenyum tipis, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Malam itu, Ayla kembali ke kamarnya dengan hati yang bimbang. Di satu sisi, ia merasa terhubung dengan Kael—kehangatannya selalu membuatnya merasa aman. Tetapi di sisi lain, kehadiran Arlen membawa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam.
Ia tahu bahwa pilihannya nanti tidak hanya akan memengaruhi hatinya, tetapi juga nasib dunia yang ia perjuangkan.
Malam semakin larut di Istana Eradel, dan ketegangan antara Kael dan Arlen semakin sulit diabaikan. Ayla berusaha memusatkan pikirannya dengan membaca catatan tua dari perpustakaan istana, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah.
Ketukan di pintu kamarnya membuatnya terkejut. Saat membuka pintu, ia menemukan Kael berdiri di sana, wajahnya serius, tetapi sorot matanya penuh keraguan.
“Kita perlu bicara,” ucap Kael pelan.
Ayla mempersilakannya masuk, dan mereka duduk di dekat jendela. Kael memandang keluar, melihat hutan yang mulai diselimuti bayangan malam.
“Aku tahu aku tidak berhak marah padamu,” Kael memulai, suaranya berat. “Aku hanya… aku merasa kita semakin jauh, Ayla. Dan aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi ini.”
Ayla tertegun. Ia tidak menyangka Kael akan begitu terbuka. “Kael, aku tidak pernah berniat membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya… ada banyak hal yang membuatku bingung sekarang. Arlen, Noir, kekuatan yang aku sendiri belum sepenuhnya pahami.”
Kael menoleh, menatap Ayla dengan mata yang penuh ketulusan. “Aku tahu Arlen membuatmu merasa bahwa dia punya jawaban. Tapi aku tidak percaya dia sepenuhnya jujur. Aku takut dia memanfaatkanmu untuk sesuatu yang tidak kita ketahui.”
Ayla menggenggam tangannya, mencoba meyakinkan. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun memanipulasiku, Kael. Tapi aku juga merasa bahwa dia bisa membantu kita.”
Kael menatap tangannya yang digenggam Ayla, lalu menatap matanya. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Ayla. Tidak sebagai sekutu, tidak sebagai teman… dan terutama, tidak sebagai seseorang yang lebih dari itu.”
Hati Ayla berdetak lebih cepat mendengar pengakuan Kael. Ia bisa merasakan berat di balik kata-kata itu, sesuatu yang selama ini mungkin ia abaikan atau takut untuk akui.
Namun, sebelum Ayla bisa merespons, ada ketukan lain di pintu. Kali ini, seorang pelayan istana datang dengan wajah cemas.
“Maaf mengganggu, tapi Tuan Arlen meminta untuk bertemu Nona Ayla di aula utama. Katanya ini mendesak.”
Kael langsung berdiri, rahangnya mengeras. “Tentu saja,” gumamnya, nada suaranya jelas mengandung ketidaksenangan.
Ayla menatap Kael dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk pada pelayan tersebut. “Aku akan ke sana.”
Kael mengikuti Ayla keluar dari kamar, tidak mengatakan sepatah kata pun. Saat mereka tiba di aula utama, Arlen sudah menunggu di sana, berdiri dengan santai di dekat meja besar yang dihiasi peta Eradel.
“Ada apa, Arlen?” tanya Ayla, suaranya tegas tetapi tidak kasar.
Arlen melirik Kael sebentar, lalu kembali memandang Ayla. “Aku menemukan sesuatu di sekitar perbatasan barat Eradel. Sesuatu yang mungkin merupakan jejak Noir. Aku pikir kau ingin mengetahuinya.”
Kael menyela dengan tajam, “Dan kau pikir membawa Ayla ke sana adalah ide yang bagus? Kau bahkan belum membuktikan siapa dirimu sebenarnya.”
Arlen tersenyum kecil, seolah tak terpengaruh oleh komentar itu. “Aku hanya memberi informasi. Keputusan ada di tangan Ayla.”
Ayla merasa dirinya terjebak di tengah dua arus yang bertentangan. Satu sisi hatinya mempercayai Kael, yang selalu menjadi pelindungnya. Di sisi lain, ada dorongan untuk memahami lebih banyak tentang Noir, bahkan jika itu berarti mendengarkan Arlen.
“Jika ini memang jejak Noir, kita tidak bisa mengabaikannya,” kata Ayla akhirnya. “Tapi kita harus berhati-hati.”
“Aku akan ikut,” tegas Kael, nada suaranya tak memberi ruang untuk perdebatan.
Arlen hanya mengangguk. “Tentu saja. Aku tidak keberatan.”
Malam itu, persiapan untuk perjalanan ke perbatasan dimulai. Ayla menyadari bahwa langkah ini bukan hanya soal mencari Noir, tetapi juga tentang bagaimana ia harus menentukan siapa yang benar-benar bisa ia percayai—dan mungkin, siapa yang lebih berarti bagi hatinya.
Bayang-bayang Noir masih membayangi, tetapi di dalam dirinya, konflik lain mulai membara. Dan ia tahu, pertarungan terbesar mungkin adalah yang terjadi di dalam hatinya sendiri.