Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pengakuan Rangga tidak dipercayai begitu saja oleh Tejo. Diam diam ia pergi ke rumah Nadira, sebuah gubug yang luasnya tidak melebihi luas kandang ayamnya.
"Astaga..!"
Mata lelaki paro baya itu melotot besar, saat ia menyaksikan apa yang ada di depan matanya.
Suasana mencekam langsung terasa begitu ia mendorong pintu berkayu lapuk itu dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Keadaan di dalam benar benar kacau, berantakan tidak karuan bagaikan kapal pecah. Seolah baru saja terjadi pergumulan hebat di tempat ini.
Mata Tejo tertuju pada lemari plastik kusam yang pintunya sudah terlepas dan tergeletak di depannya.
Semua isi lemari tertumpah keluar, sepertinya sang pemilik mengambil barang yang diperlukan dengan terburu buru.
Dengan tubuh melesu, Tejo mendudukan bokongnya ke tepi kasur yang tak kalah kusam dengan semua perabotan yang ada.
"Ya Tuhan, Bayu, Bayu, bagaimana mungkin, kau bisa meninggalkan anakmu seperti ini?", desis Tejo dengan lirih.
Matanya berkabut membayangkan penderitaan gadis itu, tinggal di tempat tak layak dan tidak aman untuk seorang perempuan muda yang cantik jelita.
Beruntung, para warga setempat semua menyayangi Nadira, gadis yatim piatu yang santun dan cerdas itu. Mereka bahu membahu menjaga dan menolong Nadira jika gadis itu membutuhkan pertolongan.
Tak jarang, para ibu mendesak Bardi, agar sudilah kiranya menampung Nadira. Namun entah mengapa gadis itu sepertinya enggan untuk merepotkan paman dan bibinya.
Hatinya mencelos, lalu sibuk mengutuki Bayu yang tidak bertanggung jawab pada Nadira, padahal ia cukup kaya untuk ukuran di kampungnya.
Namun saat sadar Bayu sudah tiada, Tejo berulang kali mengucapkan istighfar, karena tak baik mengumpat pada orang yang sudah meninggal dunia.
" Apa ini?", tanya Tejo saat ia menemukan permukaan kasur yang basah.
Matanya terus lekat melihat tempat itu, ia mendekat dan menciumi sekalian, memastikan jika dugaannya benar.
"Shit, sialan anak itu!"
Hati Tejo bergemuruh, ia mengenali bau yang berasal dari permukaan kasur itu.
Sebagai laki laki yangg sudah tua, ia tau, bau bauan itu adalah bau sperma dan amisnya darah perawan.
Pengamatan Tejo tidak berhenti sampai di situ, kali ini matanya jelalatan di lantai semen kasar dan sebagian masih tanah keras.
Ada tetesan air yang tidak seberapa, ia mencolekan jari telunjuknya, lalu mendekatkan ke lubang hidungnya, membaui dan berusaha mengenalinya.
"Hem, seperti bau obat!"
Ia lalu mencari kantong plastik dan dengan bantuan sendok, ia mengambil sedikit sekali cairan itu.
Maksudnya nanti, ia akan menanyakan pada Mantri desa, cairan apa itu.
Sebagai tenaga medis di desanya, Tejo yakin pak Mantri pasti paham, cairan itu sejenis apa.
Pria tua itu tidak merapikan tempat itu, walau pun ada keinginan kuat di hatinya untuk sekedar membenahi kekacauan di tempat itu.
Ia keluarkan ponselnya, mengambil gambar dan merekam tempat itu untuk berjaga jaga sekiranya nanti diperlukan.
Dengan motor matiknya, Tejo meluncur menuju ke rumah sang Mantri desa.
"Cairan apa ini?"
Tanpa ba bi bu, Tejo menyodorkan plastik bening ke bawah lubang hidung si Mantri.
"Ini obat bius, dosis tinggi! Di mana kau temukan itu?", tanya Seno, nama mantri desa itu.
Keduanya sudah menjalin pertemanan cukup lama, sehingga tidak perlu lagi menjaga image saat bertemu.
" Di gubug Bayu, barusan tadi!"
"Cairan yang sama yang kutemukan di kelamin keponakanmu itu!", jawab Seno datar.
Ia sudah menduga, ada seseorang yang sudah mencelakai Rangga, tapi apa motifnya, Seno tak berani berspekulasi.
" Maksudmu?". Tejo bertanya dengan kening berlipat dalam.
"Mungkin Nadira yang melakukannya, dia kan seorang siswi di akademi perawat, tentu bukan hal asing baginya tentang cairan itu", sahut Seno datar.
" Wah, ini tidak bisa dibiarkan, ini namanya penganiayaan, bisa dituntut itu!", sero Tejo sarat emosi.
Ia tidak mampu membayangkan, andai senjata keperkasaannya itu diciderai seperti itu.
"Kau yakin dengan omonganmu? Bagaimana jika kejadiannya ternyata keponakanmu yang menggangu Nadira dan gadis calon perawat itu cuma membela dirinya?"
Tejo terpaku, ia tidak sampai berpikir seperti itu.
"Jangan bodoh Tejo! Nadira bukan gadis lugu yang tidak tahu apa apa!
Gadis cerdas itu sudah tentu mengumpulkan banyak bukti untuk berjaga jaga jika keponakanmu itu kembali mengusiknya.
Ingat, uang gadis itu banyak, dari hasil menjual kebun orang tuanya.
Cukuplah jika hanya untuk menyewa pengacara yang akan membelanya.
Lantas, jika sang pengacara itu bertanya, mengapa bisa Nadira menusuk kelamin keponakanmu itu?
Apa jawaban yang akan dilontarkan oleh Rangga?"
Kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut Seno, benar benar menampar Tejo, ia merasa malu bukan kepalang.
"Apa pun yang terjadi aku akan mendukung Nadira, gadis yatim piatu itu.
Bahkan sebagai saksi ahli jika dibutuhkan, aku mau! Dan gratis!"
Seno sengaja menekan kata gratis di ujung kalimatnya.
Kepala Tejo menunduk dalam, ia malu bukan main di hadapan Seno.
"Aku pamit No! Terimakasih atas pencerahanmu hari ini. Tapi aku mohon, jagalah rahasia ini ya! Biar aku yang akan menatar keponakanku itu".
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, bukan geramnya hati Tejo. Amarahnya siap meledak jika bertemu dengan keponakan istrinya itu.
Plak..! Plak..!
Begitu bertemu Rangga, Tejo menampar pemuda itu dua kali, di pipi kiri dan kanannya.
" Mamang, apa apaan ini?", seru Rangga marah dan kaget.
Pipinya memerah, bercap jari pamannya.
"Apa yang kau lakukan pada Nadira hah!? Jawab!"
Suara Tejo menggelegar kencang, seakan bisa meruntuhkan dinding kamar tempat Rangga istirahat.
Gelegak emosinya begitu kentara, matanya melotot dengan wajah merah padam dan otot leher bertonjolan keluar.
"Jika tak bisa menjawab, pulang kau sekarang! Aku tak sudi menampung bajingan seperti kau!
Dan ingat, kau akan mengalami lumpuh layu seumur hidupmu karena Nadira sudah merusak 'milik'mu itu! Kau juga tidak akan bisa memberi nafkah bathin pada istrimu kelak!"
Braraakk...!
Setelah mengusir dan menyumpahi keponakan istrinya, Tejo keluar kamar sambil membanting pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara dan getaran yang dahsyat.
Hingga istrinya, Mira yang sedang duduk di kursi makan, terlonjak saking kagetnya.
"Ayah! Apa yang kau lakukan?", pekik Mira histeris.
Rangga sedang sakit, bagaimana bisa suaminya bertindak sekasar itu?
" Kau urus saja keponakanmu yang bejat itu!", jawab Tejo sambil mendengkus marah, udara yang keluar dari mulutnya pun terasa berat.
Tentu Mira melongo, pikirannya benar benar kosong karena ia tidak tahu apa apa dan tidak bisa mencerna dari kejadian di depan matanya.
Setelah suaminya menghilang dari pandangannya, Mira menyerbu kamar Rangga.
"Apa yang kau lakukan sehingga pamanmu marah?", tanya Mira tak sabar dan sesak dengan rasa penasaran yang seakan menjebol dadanya.
Tidak biasanya suaminya berlaku kasar pada anak kakaknya, Masitha Siregar.
Andai sang kakak yang keras kepala dan tegas itu tahu, kesalahan apa yang telah dilakukan oleh Rangga, maka habislah anak itu!
" Rangga, jawab jujur! Apa yang sudah terjadi?", kejar Mira dengan nafas memburu.
"Bibi tanya sajalah dengan mamang, aku mau pulang!"
Bukannya menjawab, Rangga sibuk mengotak katik ponselnya, ia sedang memesan ojek online untuk membawanya pulang ke rumahnya.