Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- "Gue Gak Bakal Biarin Lu Mati."
Begitu permainan selesai, Hanni segera mendekati Michael dengan mata yang berkaca-kaca, gadis itu dengan lembut memegang pergelangan tangan Michael, tetapi dengan pelan Michael menepisnya.
"Gue... gue minta maaf," ucapnya lirih.
"Gue cemburu, Han. Bagaimana bisa bokap gue lebih sayang sama lu daripada gue, anak kandungnya sendiri, apa karena lu anak dari perempuan yang dia cintai? terus gimana sama nyokap gue?"
Hanni segera menyeka air matanya, udara di sekitar mereka berubah menjadi tegang, yang terlihat santai saat itu hanyalah Hannah, gadis itu terus tersenyum licik.
Hanni segera berlutut di depan Michael, membuatnya mundur beberapa langkah, Michael merasakan emosi yang saling bertentangan, kecewa, marah dan juga sesuatu lainnya. Selama hampir dua bulan dia melihat orang tuanya bertengkar hebat, bahkan ayahnya menjadi lebih sering bermain fisik kepadanya dan juga ibunya, itulah yang membuat dia kecewa.
"Walaupun gue ngomong kalau gue benci sama bokap gue. Faktanya jauh di lubuk hati gue, gue pengen banget dapet pelukan dari bokap gue lagi, gue pengen ngerasain kepala gue di elus lagi, gue pengen di dengerin pas lagi cerita, gue pengen di tanya keadaan gue kayak gimana, gue pengen dapetin hak gue sebagai seorang anak, gue pengen dapetin tanggung jawab dari seorang ayah sebagaimana mestinya. Tapi sayangnya di balik semua keinginan gue, semuanya gak ada yang bener-bener gue dapetin, gue kecewa dengan apa yang terjadi, gue capek nanggung semuanya sendirian, bukan cuman gue Han... tapi nyokap gue yang selama ini nahan rasa sakit karena bokap gue!"
Semuanya terdiam, baru kali ini mereka melihat betapa emosionalnya Michael. Berbeda dengan Michael yang mereka kenal sebagai anak pendiam, kali ini ada sesuatu yang membuatnya terlihat rentan.
"Andai kalau gue ngelawan, dunia pasti bakal teriak dan menghakimi gue betapa durhakanya anak ini tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi," lanjutnya.
"Gue minta maaf, gue bener-bener minta maaf..." lirih Hanni sambil terisak, gadis itu masih berlutut di depan Michael.
"Jadi selama ini lu nge rahasiain semuanya? lu dapet kasih sayang bokap gue, perhatiannya, dan lain sebagainya..." Michael terdiam, mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya yang terasa kosong.
"Gue-" belum sempat Hanni menjawab, Michael pergi meninggalkannya, dia keluar dari lapangan dengan emosi yang campur aduk, Denzzel melirik Hanni sebentar lalu segera mengikuti Michael, begitu pun dengan yang lainnya.
Denzzel menghampiri Michael yang sedang bersandar di dinding pembatas, laki-laki itu berdiri di samping Michael, memperhatikan sudut-sudut sekolah dari lantai dua. Entah bagaimana, dalam situasi tersebut Denzzel kembali mengingat masa-masa saat dirinya masih berada di kelas 10 dan juga 11, bermain bola bersama teman-teman sekelasnya, bermain petak umpat dan lain sebagainya, jujur saja Denzzel sangat merindukan suasana seperti itu.
Michael melirik Denzzel dari sudut matanya, air matanya sudah berkumpul dan siap untuk jatuh ke pipinya yang lembut.
"Gue gak mau mati," ucap Michael.
Denzzel menatap Michael, tatapannya melembut, laki-laki itu pun mengulurkan tangannya untuk menyeka air mata Michael yang berhasil jatuh ke pipinya, tangannya bertahan di sana untuk waktu yang lama sebelum akhirnya dia kembali menariknya kembali.
"Lu gak akan mati, gue gak bakal biarin lu mati. Kita harus pulang bareng-bareng, gue gak bakal maafin lu kalau lu kenapa-napa, ngerti?"
Michael tersenyum tipis lalu mengangguk, Denzzel pun segera menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Disisi lain, Rean berdiri sambil memperhatikan tubuh San yang kini terbaring di tanah dengan di tutupi kain bewarna coklat tua.
"Thanks, udah selalu jadi temen yang baik buat gue dan yang lainnya," ucap Rean.
Reygan berlutut di samping tubuh San, laki-laki itu berusaha menahan air matanya untuk tidak terjatuh. Tetapi tidak berhasil, yang ada dia semakin terisak, begitu pun dengan Yahezkael. Sang ketua kelas hanya menghembuskan nafasnya, dia pun memberi isyarat kepada Yaksa, Vino dan Chaiden untuk bersiap-siap mengangkat San dan membaringkannya di jempana, tetapi Vino malah pergi meninggalkan mereka disana, Yahezkael yang melihatnya lantas mengepalkan tangannya erat.
"Brengsek!" geramnya yang ingin menyusul Vino dan memukulnya, tetapi Yaksa segera menahannya.
"Mending bantuin kita daripada malah bikin keributan, bukan waktunya!" seru Yaksa, Yahezkael pun menepis cengkraman tangan laki-laki itu dengan cukup kasar lalu mulai bersiap-siap mengangkat tubuh San.
Kembali lagi kepada Denzzel dan juga Michael, kini laki-laki itu mundur beberapa langkah untuk kembali menatap Michael, senyumannya yang lembut membuat hati gadis itu merasa tenang, mereka berdua segera melihat Vino yang memasuki kelas dengan wajah yang gusar.
"Vino, lu gak apa-apa?" tanya Michael.
Laki-laki itu tidak menjawabnya, dia langsung duduk di kursinya sendiri. Denzzel kembali menatap Michael, di selingi dengan helaan nafas.
"Mason di bunuh sama Simon," ucapnya yang membuat Michael terkejut.
"G-gimana kondisinya?"
"Terlalu sadis, bagian kepala sama potongan tangannya di masukin ke dalam oven, kita gak tau anggota tubuhnya yang lain ada dimana."
Michael memijat pangkal hidungnya, merasa frustasi dengan serangkaian kejadian yang begitu menakutkan dan kejam, ini sudah termasuk pembunuhan.
"Ini berlebihan... kenapa Simon ngelakuin ini semua, apa motifnya?"
Denzzel mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, dia pun memberikannya kepada Michael. Gadis itu mengambilnya dan menatap jepitan rambut yang berbentuk kelinci itu dengan kerutan yang dalam di keningnya, jepitan tersebut terasa familiar baginya.
"Gue nemuin itu di atas oven, yang pertama kali nemuin Mason di dalam oven itu Yahezkael, dan pastinya kalau ada orang lain, mungkin langsung nge laporin ke kita semua."
Michael menatap kedua mata sahabatnya itu, dia menggigit bibir bagian dalamnya, misteri tentang siapa Simon di antara teman-temannya semakin membuatnya penasaran, apalagi apa motif dari orang tersebut yang sudah menciptakan permainan konyol ini.
"Gue rasa gue tau siapa pemilik jepitan rambut ini..."
Denzzel mengangkat sebelas alisnya, menatap Michael dengan begitu penasaran, pikirannya menerka-nerka bagaimana saat mereka semua sudah menemukan siapa Simonnya, apakah mereka bisa pulang.