Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 26 ~
Sudah hampir dua bulan kami di rumah tanpa mas Bima, aku dan Lala menghabiskan hari-hari kami sesuai jadwal pada umumnya.
Senin sampai sabtu aku pergi bekerja dan Lala ke sekolah. Sementara di hari minggunya kadang kami pergi ke pasar tradisional, supermarket, sesekali menemani Lala bermain timezone di mall.
Pernah juga kami menghabiskan waktu bersama papi dan mami dengan menikmati pemandangan alam di perbatasan kota Lumajang, Malang, Pasuruan dan Probolinggo.
Meski perjalanan dari Surabaya ke gunung Bromo lumayan jauh, namun Lala begitu antusias ingin mendaki gunung itu.
Mas Bima pun sempat menelfonku ketika kami di sana. Dan Lala bilang ingin mengunjungi lagi bersamaku dan mas Bima.
Mendengar permintaan Lala, mas Bima langsung mengangguk setuju, bahkan ia berjanji akan membawaku dan Lala naik hellikopter.
Nanti ayah pinjam Helikopter buat bawa Lala sama bunda keliling Bromo, ya!
Itulah sebagian kata-katanya yang ku ingat.
Mas Bima sendiri memang bisa mengendalikan helikopter, dan aku tak tahu kapan janjinya itu bisa terealisasikan. Mengingat hubunganku dengannya saja masih jalan di tempat, rasanya nggak mungkin janjinya itu dapat terlaksana dalam waktu dekat.
Semalam saat mas Bima menelfon, dia bilang bahwa lusa akan pulang, karena memang masa dinas di lapangannya sudah berakhir dan akan di gantikan oleh personel yang lain.
Mas Bima tak mengatakan kapan tepatnya atau pukul berapa sampai di rumah, akan tetapi dia mengatakan jika pulang sebelum pukul empat, dia akan menjemput Lala ke sokolah.
Mas Bima bahkan mengajakku untuk bertemu di sekolah Lala di hari itu, biar sama-sama jemput Lala, katanya. Lala pasti akan sangat bahagia jika ayah dan bundanya sama-sama menjemputnya.
Kebahagiaan Lala memang prioritas utama bagi mas Bima dan juga aku.
Tapi jangan lupa Arimbi, jantungmu itu sangat tidak sopan, dia begitu kurang ajar dan tak tahu diri, seharusnya selain mempersiapkan kebutuhan rumah tangga yang habis, kamu juga harus mempersiapkan mentalmu, kondisikan jantungmu supaya tak berdetak secara berlebihan
Aku mendesah, mengingatkan diriku sendiri tentang betapa jahatnya detakan itu.
"Ini shampo buat ayah ya, bun?" Tanya Lala, dia sedang duduk di atas trolly belanjaan yang ku dorong.
Saat ini kami memang sedang berada di supermarket untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang hampir habis. Aku harus nyetok di rumah, supaya pas habis, tinggal ambil di lemari persediaan.
"Iya, nak"
"Shampo ayah sudah habis, ya?"
"Belum habis si, La. Tapi kan bunda harus nyetok, supaya pas habis, sudah ada di rumah, jadi nanti nggak perlu keluar buat membelinya"
Lala hanya mengangguk, entah mengerti atau tidak, tapi sepertinya dia cukup paham dengan penjelasanku.
"Itu apa bun?"
"Ini aromatherapi buat di lemari ayah, bunda kemarin lihat sudah habis, jadinya bunda beli, nanti bisa langsung di gantung"
"Gantungnya di mana bun?"
"Di lemari ayah, dekat baju-bajunya ayah yang di gantung"
"Nanti biar bajunya ayah jadi wangi ya bun?"
"Iya sayang"
Aku kembali mendorong trolly kali ini ku arahkan pada stand khusus untuk kebutuhan anak.
"Bunda beli sabun juga buat Lala"
"Iya, sabunnya Lala juga hampir habis"
"Lala mau yang rasa strowberry bun"
"Nggak rasa anggur?" Aku menatap Lala yang tengah melihat-lihat botol sabun yang berjejer rapi di rak.
"Lala bosan, mau ganti boleh?"
"Ya boleh dong sayang, pokoknya sesukanya Lala"
"Kalau gitu mau strowberry aja bun"
"Okay, bunda ambil yang strowberry ya"
"Eungh"
"Terus pasta giginya mau yang rasa apa?"
"Sama kaya sabunnya"
"Strowberry juga berarti?
"Iya"
Setelah dari stand kebutuhan kamar mandi dan sejenisnya, ku bawa trolly ke area stand susu dan bahan makanan pokok, terakhir ke stand buah dan sayur.
Kini trolly sudah terisi penuh dengan barang yang ku beli, kami mengantri di kasir untuk membayar belanjaan.
Karena hari jum'at adalah hari yang pendek, aku bisa memanfaatkan sebagian waktuku untuk belanja.
Usai belanja, Aku meminta tolong pada pekerja buruh untuk membawa barang belanjaan ke mobil kami, karena aku cukup kewalahan membawa barang yang cukup banyak.
"Bun, mau burger" Lala menatap ke arah restauran cepat saji.
"Lala lapar?" aku sedikit menunduk agar bisa menatap putriku.
Anak itu mengangguk.
"Okay, kita makan burger dulu"
Ku gandeng tangan Lala dan mengarahkan kaki menuju restauran.
Sembari menunggu menu yang ku pesan siap, aku dan Lala saling bercanda dan menggoda. Saat tengah asik dan fokus dengan permainan tebak-tebakan hewan, aku mendengar suara seorang pria yang tak asing bagiku.
"Halo gadis cantik!"
Ketika ku palingkan wajah untuk menengoknya, wajah mas Saka sedang tersenyum cemerlang dengan kacamata bertengger di atas hidung.
"Mas Saka" Aku bangkit, menautkan kedua tanganku.
"Hai Bi" Mas Saka tampak melirik kesana kemari seperti mencari seseorang. Sementara Lala terlihat bingung, dari raut wajahnya, sepertinya Lala tak ingat dengan mas Saka.
"Sendirian saja Bi?"
"Sama Lala, mas"
"Maksudku nggak sama suami?"
"Beliau lagi dinas di luar privinsi"
"Oh" Mas Saka mengangguk faham. Lalu kembali memfokuskan netra ke manik bulat Lala.
"Ingat sama om dokter?"
"Om dokter?"
Setelah mas Saka mengatakan itu, barulah kebingungan Lala terjawab.
"Yang pernah periksa Lala saat di rumah sakit"
"Iya, Lala ingat"
"Boleh om duduk?"
"Boleh"
Dia langsung duduk di depan kami. Sementara perasaanku mendadak was-was.
Bagaimana tidak, pertemuan ini adalah petaka bagiku, sebab aku yakin Lala akan mengadukannya pada mas Bima, itu artinya aku harus mempersiapkan kata-kata untuk menjelaskan pertemuan tak sengaja ini.
"Sepertinya ini kebetulan yang menyenangkan ya Bi?"
"Maksudnya?"
"Aku senang bisa bertemu denganmu" Akunya jujur.
"Boleh minta nomor ponsel?"
Aku tak langsung menjawab, tidak mungkin aku memberikan nomor ponselku ke mas Saka, nanti mas Bima malah semakin tak melihatku.
"Mas bisa kasih kartu nama mas padaku, nanti biar aku yang hubungi mas lebih dulu"
"Yakin mau menghubungiku dulu?" Selidiknya dengan mata memicing.
"I-iya, kalau suami mengijinkan" kataku tak enak hati.
"Aku mengerti"
Beberapa saat kemudian, pesanan kami akhirnya datang.
"Mas sudah pesan?"
"Sudah" Pria itu melipat tangan di atas meja seraya memperhatikan Lala yang begitu senang dengan burger di depan matanya.
"Silakan kalian makan, saya baru saja makan tadi"
"Bun, Lala mau caosnya dikit aja"
"Mau pakai caos?"
"Mau"
"Lala berapa tahun usianya?" tanya Mas Saka tiba-tiba.
"Mau lima tahun ya bun?" Lala bertanya padaku.
"Iya, beberapa bulan lagi, nak"
"Sudah sekolah?" tanya Mas Saka Lagi.
"Sudah, tapi di playgroup"
"Sebentar lagi mau TK berarti?"
"Iya tapi kata ayah mau di RAnya uyut abi"
Mas Bima memang sudah merencanakan untuk memasukkan Lala di RA-nya kakek abi. Nanti bisa langsung lanjut di MI-nya, seperti aku dan mas Bima dulu.
"Mau jadi hafidzah ya?" Sembari terus mengunyah, Lala menjawab setiap pertanyaan mas Saka.
"Hafidzah itu apa, om?"
"Hafidzah itu penghafal Al-Quran untuk anak perempuan, nak" jawabku.
"Kayak bundanya Lala, bunda juga good bacaan Al-Qurannya" Mas Saka melirikku sekilas.
"Berarti kayak ayah juga ya bun, ayah juga hafal satu buku Al'Quran"
"Iya, nak"
"Jadi suamimu santri juga dulunya, Bi?"
"Iya, kami satu ponpes, cuma beda beberapa tahun"
"Cukup jauh selisih usia kalian?"
Aku mengangguk meski agak sedikit ragu.
"Berapa tahun?"
"Delapan" balasku menunduk.
Selang sekitar sepuluh menit, Ku lirik mas Saka melihat jam di pergelangan tangannya sebelum kemudian berkata.
"Saya duluan ya Bi, saya sudah harus ke rumah sakit"
"Iya mas, silakan"
"Om duluan ya, La. Kapan-kapan mau ketemu om lagi, kan?"
"Mau om"
"Okay, salam buat ayah ya"
"Nanti Lala sampaikan ke ayah"
"Anak pintar" sebelum bangkit mas Saka mengulurkan tangan lalu mengusap lembut puncak kepala Lala.
"Salim dulu nak" perintahku yang langsung di laksanakan oleh Lala.
Mas Saka pun membiarkan Lala mengecup punggung tangannya.
"Mari Bi"
"Nggeh mas, hati-hati"
Pria itu berjalan menjauh dari meja kami.
Seperginya mas Saka, aku agak sedikit lega. Aku merasa tadi obrolan kami terasa garing, aku sendiri merasa canggung jika harus mengobrol dengan pria, dimana statusku adalah istri orang.