Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tergoda Lagi
Pernikahan Raksa dan Anne di Jakarta sudah usai, kini keduanya akan menggelar pesta kedua di Surabaya. Tepatnya di Deluxe Hotel—hotel milik Kendrick yang saat ini dipegang Raksa.
Acara yang mereka gelar sangat mewah. Tamu yang diundang banyak dari kalangan atas. Di antaranya rekan-rekan bisnis Nero yang dulu mengenal Raksa dengan baik. Sejauh ini memang tidak ada yang tahu konflik di antara mereka. Pernikahan Nero dengan Raina, juga Raksa dengan Anne, hanya menjadi tanda tanya besar. Masing-masing hanya bisa beropini, tetapi tak tahu bagaimana kebenarannya.
Nero memang pemain peran yang ulung. Dia tak pernah menunjukkan kebenciannya pada Raksa ke publik. Dia tetap bersikap baik, seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Bahkan, dengan tenang dia mengakui bahwa hubungannya dengan Anne sudah berakhir, jauh sebelum Anne berhubungan dengan Raksa. Sebuah pernyataan yang sama dengan yang ia katakan pada Raina—dulu.
Seperti halnya hari ini. Dia pulang dari kantor lebih awal dari biasanya, semata-mata untuk persiapan menghadiri pesta pernikahan Raksa dan Anne.
Baru jam tiga sore, Nero sudah tiba di rumah. Ia langsung menuju kamar, dan mendapati Raina sedang menonton TV di sana.
"Om—"
"Nanti pakai ini." Nero memotong ucapan Raina, seraya meletakkan papper bag di sampingnya.
Raina menatap paper bag tersebut, lantas beralih pada Nero. Sekilas saja karena lelaki itu sudah menjauh dan sibuk melepas jasnya.
Raina tak banyak bertanya, hanya mengangguk sambil berkata 'iya'. Dia sudah tahu bahwa nanti malam Nero akan mengajaknya ke pernikahan Raksa, setelah kemarin hanya mengucapkan 'selamat' lewat telepon, karena kesehatan belum memungkinkan untuk datang ke Jakarta. Terlebih lagi, Nero juga tak ada niatan untuk hadir di sana.
"Nanti ada MUA yang akan ke sini, merias kamu. Bersiaplah!" ujar Nero tanpa menoleh.
Berbeda dengan Raina yang terkejut dan sontak kembali menatap Nero, walau yang tampak hanya punggungnya.
"Harus dengan MUA? Aku—"
"Kenapa? Mau menolak?" Nero berbalik dan melayangkan tatapan tajam ke arah Raina. "Kamu ingin mengadu pada Raksa kalau aku tidak memperhatikan kamu, begitu?" sambungnya dengan sinis.
Raina menunduk seketika. "Maaf, maksudku nggak gitu. Aku hanya ... menganggap itu berlebihan."
"Kamu lupa siapa aku?"
Mendengar jawaban Nero yang lebih sinis, Raina memilih diam. Sekadar tangannya yang mencengkeram ujung rok dengan erat. Ya, harusnya dia sadar siapa Nero. Pebisnis besar yang pasti dikagumi banyak orang. Sebagai Nyonya Nero, memang tidak seharusnya dia tampil apa adanya. Nanti malah menodai citra Nero.
"Siapkan air hangat!" perintah Nero sesaat kemudian.
Lagi-lagi Raina menurut. Tanpa banyak protes, ia bangkit dan bergegas menuju kamar mandi.
Awalnya, semua berjalan normal. Raina tak keberatan. Sepanjang menyiapkan air hangat itu, tak sedikit pun dia mengeluh. Malah menurutnya itu lebih baik, dari pada berhadapan dengan Nero yang selalu menatap dingin dan tajam.
Namun, ketenangan Raina buyar ketika dirinya sudah selesai menyiapkan air hangat dan bersiap keluar. Pasalnya, saat itu pula Nero masuk ke kamar mandi dengan bertelan-jang dada, dan hanya melilitkan handuk di pinggang yang panjangnya berada di atas lutut.
Raina langsung menunduk, dengan pipi yang menghangat dan mungkin ... juga merah. Lantas ia mempercepat langkah agar secepatnya berjauhan dengan Nero. Namun sial, Nero justru memanggil dan memberikan perintah baru untuknya.
"Ambilkan shampoo-ku."
Tanpa menjawab atau sekadar mendongak, Raina kembali berbalik. Kemudian, mengambil shampoo milik Nero yang disimpan dalam lemari vanities.
"Ini," ujar Raina sambil menyerahkan shampoo tersebut.
Maksud hati menunduk karena ingin menghindari dada bidang Nero dan juga perut sixpack-nya, tetapi Raina justru dihadapkan pada simpul lilitan handuk yang tampak longgar. Sepertinya tak perlu dihentak, cukup dengan sentuhan pelan saja kain itu sudah melorot. Ahh tidak, bahkan hanya digunakan untuk melangkah pun pasti bisa lepas dengan sendirinya.
Raina jadi panas dingin karena itu. Meski belum pernah melihat seperti apa wujud 'sesuatu' yang ada di dalam sana, tetapi pikiran Raina sudah mampu membuat gambaran sendiri. Mungkin begini, mungkin begitu, dan itu membuat detak jantungnya berdegup kencang tanpa bisa dikendalikan. Bahkan ketika dirinya sudah keluar dan menutup pintu kamar mandi dengan rapat, perasaan itu masih juga ada.
"Sadar, Raina, dia hanya mau mandi, kamu jangan tergoda. Kamu harus ingat, yang dia cintai hanya Kak Anne, bukan kamu," batin Raina, memperingatkan dirinya sendiri.
Lantas, hal itu diperkuat dengan bayangan tentang malam lalu, di mana dirinya terbangun pagi hari dalam keadaan tidur di sofa, sendirian. Padahal, malamnya dia diminta Nero untuk menemaninya menonton televisi. Namun, lelaki itu pergi tanpa membangunkan dirinya.
Memang seperi itulah mereka. Meski tinggal satu kamar, tetapi Nero tak pernah tidur di sana. Dia selalu pindah ke kamar lain dan meninggalkan Raina seorang diri.
"Mending aku keluar aja, sebelum Om Nero selesai mandi," gumam Raina. Ia memutuskan untuk keluar kamar, dari pada terjebak pada situasi yang sama untuk ketiga kalinya.
Bersambung...