Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Tepat saat lonceng digaungkan. Wali kelas 3-1 memasuki ruangan. Di belakangnya wajah baru murid pindahan berhasil membuat ruang kelas gaduh. Para siswa bersorak riuh karena terpesona dengan kecantikan murid baru itu. Mereka sepakat bahwa murid baru itu memiliki kecantikan di atas rata-rata.
Memang agak berlebihan, tapi banyak yang setuju kalau visual murid baru itu bisa disandingkan dengan para selebriti yang masuk dalam daftar The Most Beautiful Woman.
“Wih, primadona baru di sekolah kita, nih. Lo setuju, nggak?” Mike bertanya sambil menyenggol teman sebangkunya, Alfian.
“Cantik parah.” Alfian melotot. Bola matanya hampir copot melihat makhluk Tuhan yang satu ini. Laki-laki itu kemudian menoleh ke bangku belakang, meminta persetujuan Joano. “Iya, kan?”
Joano mengangguk. Ia setuju dengan pendapat kedua temannya. Murid pindahan itu memang sangatlah cantik. Tapi bukan itu yang sedang dia pikirkan, melainkan perkataan Luna yang sedari tadi mengganggunya. Menuduh dirinya iri dengan Daniel. Yang benar saja. Joano menyipitkan matanya, menatap Luna yang duduk di bangku depan kemudian beralih pada Daniel yang duduk di bangku paling belakang. Mengamati mereka bergantian. Pertanyaan Luna kembali terlintas di pikirannya.
“Lo juga iri kan sama Daniel? Ngaku!”
Pertanyaan Luna tidak mau hilang dari pikiran Joano, bahkan ketika murid pindahan itu sedang memperkenalkan diri, dia tidak benar-benar mendengarkannya.
"Permisi, tasnya boleh digeser?" Suara itu membuyarkan lamunan Joano. Pandangannya lalu beralih pada murid pindahan yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya.
“Disuruh duduk di bangku kosong.” Kata murid pindahan itu.
Joano baru tersadar jika hanya ada satu bangku kosong di kelas ini, dan bangku itu berada tepat di sebelahnya. “Eh, iya.” Katanya, lalu memasukkan tasnya ke dalam laci meja belajarnya.
"Hi, gue Mike." Mike yang duduk di bangku depan mengulurkan tangan saat murid pindahan itu baru saja duduk.
"Gue, Alfian." Teman sebangku Mike ikut mengulurkan tangan, tidak ingin melewatkan momen berkenalan secara langsung dengan primadona baru di sekolah.
"Gue, Joano." Joano juga ikut mengulurkan tangan. Tidak mungkin dia hanya menonton saat kedua temannya tiba-tiba sok ramah pada gadis baru yang akan menjadi teman sebangkunya. Sebagai orang yang suka berteman dengan siapa saja, tentu Joano menyambut baik kehadiran murid pindahan itu.
"Kami adalah tiga sekawan di kelas ini." Kata Alfian tiba-tiba.
Murid pindahan itu tersenyum tipis, menampilkan lesung pipinya di sebelah kiri. Dia lantas membalas uluran tangan teman-teman barunya satu per satu. "Bella."
"Bella, lo tahu nggak setengah delapan itu angka berapa?" Mike tiba-tiba mengajukan pertanyaan random yang sama sekali tidak berhubungan dengan topik perkenalan. Atau, mungkin pertanyaan itu adalah cara untuk lebih mengakrabkan diri dengan Bella supaya gadis itu cepat berbaur dengan lingkungan baru. Entahlah.
Bella berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Empat?" Tebaknya masih ragu-ragu.
"Salah, jawabannya nol?"
Joano dan Alfian ikut menatap bingung mendengar jawaban Mike.
“Kok bisa?" Bella mengajukan pertanyaan sambil menatap bingung, padahal dia sempat berharap kalau jawabannya benar.
"Soalnya angka delapan adalah kombinasi dua angka nol yang ditumpuk ke atas."
Jawaban Mike kontan membuat ketiga orang di hadapannya menahan tawa.
"Suka gue sama tipe bercanda kayak begini. Masih alami, belum terkontaminasi dunia pendidikan." Komentar Alfian.
"Berarti jawabannya juga bisa angka tiga, dong." Joano berusaha untuk memberi jawaban lain.
"Kok bisa?" Alfian memberikan reaksi sama persis seperti Bella, membuat gadis itu mengulum senyum.
"Kalau angka nol dibelah secara horizontal, kalau angka tiga dibelah secara vertikal. Jawabannya sama, setengah delapan."
Jawaban Joano mengundang gelak tawa ketiganya.
"Jangan ketawa-ketawa, buka LKS halaman sepuluh!" Wali kelas 3-1 yang sedari tadi menjelaskan materi pelajaran pun terganggu dengan kebisingan yang mereka sebabkan.
Begitu mendapat instruksi, keempatnya segera membuka buku mereka dan menyimak materi pelajaran yang sedang dijelaskan.
Sementara itu, Luna yang memperhatikan mereka sedari tadi hanya bisa menggelengkan kepala. Dia lalu bergumam, "Seneng kan lo ketemu cewek cakep."
...***...
Luna baru sampai di ambang pintu ketika mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Seperti biasa mereka saling berteriak satu sama lain, memperdebatkan sesuatu yang Luna sendiri sudah jengah mendengarnya.
"Kalau bukan sama wanita itu, kenapa nggak pulang, Mas? Kamu tidur di mana? Bareng wanita itu, kan?" Marisa berteriak sambil terus mengikuti ke mana arah langkah kaki suaminya.
"Udah aku bilang, aku lembur!" Tegas Satria.
"Alasan kamu selalu sama. Lembur! Lembur! Lembur!" Marisa mulai kehilangan kendali, dia mengambil sembarang benda yang ada di dekatnya kemudian membanting hingga hancur berkeping-keping.
Satria menarik dasinya, melepas satu kancing kemejanya. Tiba-tiba dia merasa tercekik oleh pakaiannya sendiri hingga membuat dirinya sulit bernapas. Laki-laki itu menghela napas kasar kemudian menjawab, "Kamu bilang aku harus naik pangkat, giliran aku kerja keras untuk mendapatkannya, kamu malah nuduh aku yang aneh-aneh. Kamu maunya apa, sih?!"
Marisa tertawa getir. "Kamu pakai alasan itu untuk menutupi perselingkuhanmu, kan? Kamu udah dua kali gagal naik pangkat, Mas. Berhenti bilang kamu kerja keras untuk keluarga kita."
"Kamu yang seharusnya berhenti nuduh aku selingkuh, Mar!" Satria teriak tak kalah garang, urat-uratnya bahkan terlihat jelas saat dia berusaha membela diri. "Udahlah, aku capek debat sama kamu. Apa pun yang aku katakan juga kamu tidak akan percaya. Terserah kamu saja, lah.”
Satria meraih blazer-nya yang ada di atas sofa, hendak melangkah pergi, namun kakinya tertahan saat melihat Luna mematung di ambang pintu. Laki-laki itu ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan di tenggorokan. Alih-alih mengatakan apa yang ingin dia sampaikan, Satria justru berlalu begitu saja dari hadapan Luna lantas keluar dan masuk ke mobil.
Tidak ingin suaminya keluar rumah begitu saja, Marisa dengan cepat mengikuti Satria.
Mesin mobil berdengung, kendaraan itu lalu menjauh dari pandangan Luna. Seolah pertengkaran barusan tidak pernah terjadi.
Itu bukan pemandangan baru. Sedari Luna kecil memang sudah seperti itu. Bertahun-tahun tidak ada perubahan. Seharusnya Luna sudah terbiasa dengan keadaan itu, tapi tetap saja perasaan jengahnya sangat menyakitkan. Andaikan orang tuanya tahu bagaimana perasaannya sesungguhnya, apakah mereka akan tetap bertengkar? Mereka terlalu dewasa untuk tidak mengetahui perasaannya. Tapi mereka pura-pura tidak mengetahui, memilih untuk tidak peduli.
Rumah itu lengang.
Luna menunduk, air mata yang sedari tadi dia tahan sekuat tenaga akhirnya mengalir membasahi pipinya. Gadis itu berjalan gontai menuju sofa, merebahkan tubuhnya di atas sana sambil menatap nanar piala-piala yang berjejer di rak dinding.
Sejak kecil, Luna bukanlah murid yang pintar, bahkan selama duduk di bangku sekolah dasar dia tidak pernah berada di peringkat sepuluh besar. Luna tidak tertarik belajar, apalagi di bidang akademik.
Namun, pola pikir gadis itu berubah setelah melihat keluarga bahagia yang anaknya berprestasi di bidang akademik. Sejak saat itu, Luna bertekad untuk tekun belajar. Dia ingin merasakan hal yang sama. Membuat bangga keluarganya dan membuat mereka rukun seperti dulu lagi.
Tapi ternyata Luna salah. Dia memang mendapatkan banyak piala dari lomba antar sekolah dan lain sebagainya, bahkan dinobatkan sebagai lulusan terbaik saat SMP. Tapi itu tetap tak membuat keluarganya bangga, tak membuat keluarganya kembali harmonis. Mereka selalu apa pun alasannya, selalu bertengkar apa pun keadaannya. Mereka bahkan tidak pernah mengucapkan selamat saat dia memenangkan lomba, tidak pernah datang saat dia menerima rapor sekolah, juga tidak pernah datang saat hari kelulusannya. Harapan Luna untuk menarik perhatian orang tuanya tidak pernah terlaksana.