"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Kesepuluh Buku Itu
Cobaan yang telah meluluhlantakkan hidupku, tidak membuatku cepat beranjak dari kota pekanbaru. Esoknya, aku kembali mengarungi jalanan kota, mencoba kembali mengadu peruntunganku di tengah kota yang sibuk itu. Seiring mentari yang terus memuntahkan sinar teriknya, aku terus menyusup hingga ke jantung kota dengan hanya berjalan kaki.
Waktu yang terus bergulir, mulai menggeser mentari ke tepi barat. Rasa haus perlahan terasa mencekik kerongkongan, dan rasa lapar juga mulai membuat tubuhku sedikit gemetar. Sudah lewat setengah hari aku melangkahkan kakiku saat itu, namun tak ada satupun pekerjaan yang aku dapatkan.
Aku berteduh di bawah pohon rindang yang tumbuh di depan sebuah ruko yang sedang dibangun. Sambil melepas letih, aku memandangi para Tukang bangunan yang sedang beristirahat di bawah terpal biru yang terpasang di depan bangunan yang sedang mereka bangun.
Di depan mereka yang berjumlah enam orang, terhidang kopi hitam dalam sebuah teko plastik. Aroma kopi yang dituang ke gelas mereka terbawa angin hingga ke hidungku. Minuman yang selalu ku seduh sehabis shubuh itu membuat jakunku turun naik. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak punya uang lagi sepeserpun, meskipun minuman itu sebenarnya banyak tersedia di kedai-kedai pinggir jalan tempatku berada.
“Sini Dek!” Salah seorang dari Tukang bangunan memanggilku.
Aku melihat ke samping kiri dan kanan, dan juga ke belakang, mungkin saja orang itu tidak memanggilku.
“Kamu! Ayo sini!” Panggil Tukang itu lagi meyakinkanku bahwa dia memang sedang memanggilku.
Aku berjalan mendekati tukang yang berjarak kira-kira delapan meter dariku itu. “Apa mereka memperhatikanku yang dari tadi melihati kopi yang mereka minum?” pikirku mendekat agak malu-malu.
“Mau ngopi?” tanya Tukang yang kulihat dari wajahnya masih berumur sekitar empat puluhan.
“Tidak Pak!” jawabku berbasa-basi dan agak ragu-ragu.
Tukang itu menuangkan kopi ke gelas kaca yang masih kosong di samping teko yang berisi kopi yang masih berasap. “Ayo sini duduk!” ajak Tukang itu mempersilahkan aku duduk di sampingnya.
Dengan sedikit gugup, akupun duduk di atas tikar pandan yang terbentang, berbaur dengan orang asing yang belum kukenali.
“Ngopi dulu!” ujar Tukang itu meletakkan segelas kopi di depanku. Sepertinya sesama penikmat kopi mengetahui apa yang dirasakan penikmat kopi lain. “Ayo di minum!” imbuhnya tersenyum.
Aroma kopi yang sedari tadi menggodaku, semakin tercium jelas. Tenggorokkanku yang kering tak sanggup lagi menahan godaan minuman hitam itu. Tanpa ragu lagi akhirnya aku menjangkau kopi yang telah dituangkan untukku.
“Mau kemana?” tanya Tukang itu padaku sambil melihat tas yang aku bawa.
“Nyari kerja Pak,” jelasku, lalu menghirup kembali kopi panas yang masih dekat dengan bibirku, sedikit demi sedikit.
“Ooo… sudah dapat?” tanya Tukang itu lagi.
“Belum,” jawabku menggeleng.
Tukang itu mengangguk-angguk seperti mengerti betapa sulitnya mencari perkerjaan di kota yang sedang kuhuni.
“Bisa tolong carikan Pak?” sambungku berharap dengan berani. Karena kulihat Tukang itu orangnya tampak ramah dan baik hati.
“Bapak cuma kuli Dek! Kerja apa yang bisa Bapak carikan buat kamu? Palingan cuma jadi kuli! Hehehe,” Tukang itu sedikit tertawa.
“Jadi kuli juga bolehlah Pak! yang penting dapat uang!” ujarku dengan yakin.
Tukang itu memperhatikan diriku, lalu tersenyum. “Apa kamu sanggup ngangkat-ngangkat pasir?
“Sanggup Pak!” jawabku dengan tegas dan meyakinkan.
“Kalau kamu mau coba, tidak apa-apa. Datang ke sini besok pagi. Jangan sekarang ya! Nanti pakaianmu kotor,” saran Tukang itu sambil menyentuh kemeja putih yang kukenakan. “Tapi kalau kamu tidak sanggup nantinya, bilang ya? Jangan di paksa!
“Baik Pak!” anggukku sangat senang.
Esok hari, aku menjalani aktifitasku sebagai kuli bangunan di kota Pekanbaru. Walau aku tak pernah bermimpi menjalani profesi itu sedari kecil, namun aku harus tetap mencobanya demi mendapatkan uang. Ku mulai berteman dengan orang-orang yang berbau semen dan pasir, dan berjibaku di bawah terik matahari yang menyengat dan menghitamkan kulitku.
Batu bata, tumpukan pasir, dan adukan semen, yang harus ku angkat, perlahan membuat tubuhku terasa penat dan sakit. Namun, itulah pekerjaan yang bisa kudapatkan. Aku harus tetap menjalaninya selagi aku masih bisa berusaha. Sedangkan lamaran yang kumasukan sebelumnya, tak ada kabar satupun.
Niatku untuk menyambung Kuliah, sepertinya hanya mimpi belaka. Waktu yang kuhabiskan dari pagi hingga petang di tempatku berkerja sebagai kuli bangunan, tak memungkinkan untukku mewujudkan mimpi itu. Kuliah sambil kerja yang sering ku dengar dari orang-orang, tidaklah semudah yang aku perkirakan.
Seminggu berlalu, aku telah mendapatkan uang dari hasil kerja kerasku sebagai kuli bangunan. Telapak tanganku yang memar akibat mendorong gerobak sepanjang hari, akhirnya menerima gaji. Otot yang menegang dan tulang yang terasa ngilu, seakan terobati saat jari-jariku menghitung uang hasil jeri payahku. Dan yang paling teringat di saat menerima gaji pertama dalam hidupku di ketika itu ialah Rani.
Sudah lebih dari sepekan aku tidak mengetahui kabar Rani. Aku sangat merindukannya dan ingin berbagi cerita dengannya. Walaupun aku bukan orang yang suka menelpon, namun untuk mengirim pesan pada Rani sudah tak mungkin lagi. Salah satu cara yang teringat olehku di saat itu adalah dengan menelponnya melalui Wartel. Pergi ke Warung Telekomunikasi yang banyak tersedia di zaman itu adalah satu-satunya jalan untuk menghubungi Rani.
Malam setelah gajian di hari itu, segera ku berlari menuju Wartel yang dekat dengan rumah Bibiku. Nomor handphone Rani yang masih tersimpan di memoriku, tidak akan membuat aku kesulitan untuk menghubunginya. Dan uang yang ku terima di hari itu, juga akan lebih dari cukup untukku berlama-lama bercerita dengan Rani dan membayar biaya sewa Wartel yang mungkin akan mahal.
Di dalam ruang telpon yang disediakan pemilik wartel, kusegera menekan nomor yang tertera di tombol telepon. Dua belas angka yang hanya beda satu dengan nomor handphoneku dulu, ku tekan dengan lancar dan tanpa ragu-ragu. Namun, nomor yang kuhubungi itu tidak aktif. Ku coba kembali untuk menghubunginya lagi, namun tetap hanya suara operator yang selalu terdengar di telingaku saat itu. Akhirnya aku keluar dari bilik telepon setelah berkali-kali mencoba menghubungi Rani.
Aku duduk di depan bangku kayu yang di sediakan di depan Wartel, menunggu untuk beberapa saat. “Mungkin saja Rani sedang mematikan handphonenya. Aku akan mencoba menghubunginya setelah beberapa saat,”pikirku saat itu sambil terus menunggu.
Setelah setengah jam, aku kembali mencoba melakukan panggilan lewat telepon Wartel. Namun, hal yang sama yang ku temui. Nomor Rani belum juga bisa dihubungi. Aku kembali menunggu untuk beberapa saat, lalu mencoba menghubunginya kembali. Tapi tetap saja, hanya operator seluler yang berbicara. Terus ku ulang-ulang melakukan hal yang sama di malam itu, hingga akhirnya Wartel itu tutup, namun Rani tidak juga bisa dihubungi.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,