Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir
Semburat keemasan muncul di ufuk timur saat Ruby menyibak tirai jendela kamar tidurnya. Pagi ini Ruby sudah terlihat segar selepas mandi. Perutnya sudah semakin membesar, begitu pun dengan kakinya sudah terlihat membengkak. Akan tetapi perempuan itu masih tetap bekerja dan masih ragu untuk mengambil cuti, sebab menurut dokter jika tanggal perkiraan lahir calon buah hatinya masih beberapa minggu lagi.
Tak jarang Ruby merasakan kontraksi palsu yang nyatanya cukup membuatnya meringis kesakitan hingga dilarikan ke bidan setempat, namun kelahiran pun masih tak datang. Belum lagi dengan rasa pegal dan nyeri di area pinggang yang kerap kali menyergap, membuat Ruby hanya bisa berserah dan memohon agar selalu diberi kekuatan dan ketabahan dalam menjalani semua prosesnya hingga melahirkan nanti terlebih tanpa adanya seorang suami di sisi.
"Nak, kau belum berniat untuk meminta izin cuti?." Fatimah menatap pada tubuh Ruby yang cukup kepayahan saat bergerak. Terbelenggu oleh perut buncitnya yang terlihat bulat seperti bola.
"Mungkin sekitar satu minggu lagi Ruby baru akan meminta cuti. Lebih tepatnya menunggu hingga lepas gajihan, barulah Ruby akan ajukan cuti." Tersisa gelak lirih dalam suara Ruby meski sejujurnya menyiratkan rasa pedih.
Menabung, menabung dan menabung untuk biaya kelahiran. Ruby memang getol menabung demi sang calon buah hati. Persalinan butuh banyak biaya. Baik secara normal atau pun caesar, sama-sama membutuhkan banyak biaya, dan dirinya tak ingin merepotkan siapa pun jima soal uang , termasuk Fatimah begitu melahirkan nanti.
"Tapi kau sudah terlihat sangat kepayahan, Nak," ucap Fatimah yang merasa begitu khawatir dengan keadaan Ruby.
"Bibi, tenanglah." Ruby menatap lembut wajah Fatimah. Ia usap tangan paruh baya itu penuh kasih. "Aku baik-baik saja. Tuhan akan selalu melindungi disetiap langkahku. Jadi, Bibi tidak perlu khawatir."
Fatimah menunduk. Entah mengapa, pada pagi ini suasa hatinya tak seperti biasa. Ia mendadak cemas, serta dadanya terasa sesak tanpa sebab. Bahkan sebelum pagi menyapa, Fatimah keluar masuk kamar hanya unpbituk memastikan jika Ruby tidak terbangun dan mencarinya. Ia hanya takut jika Ruby tiba-tiba melahirkan namun dirinya tak mendengar.
"Akhir-akhir ini Bibi merasa cemas." Fatimah menatap lekat wajah cantik Ruby sementara kedua tangannya bergerak menangkup perut bulat besar itu seraya mengusapnya pelan.
"Bibi, senantiasa sebut nama putrimu ini dalam setiap doa. Niscaya, kebaikan dan pertolongan akan selalu datang. Yakinlah, diri ini tak akan pernah sendiri."
Bulir bening dari sudut mata Fatimah menganak sungai. Cairan yang sekuat tenaga ia tahan, tak terbendung lagi.
"Berhati-hatilah, Nak. Doa Bibi selalu menyertaimu."
"Terimakasih, Bibi," ucap Ruby seraya mendekap tubuh Fatimah dan sesekali mengusap bulir bening yang membasahi ke dua pipi paruh baya itu.
💗💗💗💗💗
"Ruby, apa kau tau?." Mario yang sedang mengaduk sup iga sapi dalam paci menoleh kebelakang, bertanya dan menatap Ruby yang sedang mengiris kentang di sebuah kursi di belakang tubuhnya.
"Tentang?."
"Mungkin sama sepertimu, Istriku kerap mengeluh pegal di seluruh badan saat tengah malam. Aku tak tega, hingga berinisiatif mengusap bahkan memijatnya meski tanpa diminta. Apa kau juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan istriku?." Mario cekatan mengambil mangkuk selepas sup matang. Meski mengajak Ruby berbicara, Tangan pria itu tak diam. Menyiapkan pesanan pelanggan.
Ruby terdiam. Memang hal yang baru saja disebut Mario, rata-rata juga dialami setiap ibu hamil. Pegal, dirinya pun juga merasakan.
"Aku rasa apa yang dialami istrimu juga dialami ibu hamil pada umumnya, termasuk diriku." Ruby tersenyum tipis kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.
Sementara Mario yang sudah mengetahui jika Ruby tak memiliki suami, dibuat tak enak hati. Kebenaran tetang setatus Ruby tanpa sengaja ia dengar saat Ruby dan Kiran saling berinteraksi. Di resto hanya Mario dan Kiran-lah yang mengetahui jika Ruby sorang janda. Selebihnya tak ada tau. Mereka mengira jika Ruby bersuami, dan wanita itu bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Tak sedikit dari para pekerja yang iba pada Ruby. Gadis yang masih terbilang sangat muda itu bekerja dalam keadaan perut besar yang membuat siapa pun yang melihat merasa sesak. Akan tetapi, mereka pun memuji kerja keras dan semangat Ruby yang tak pernah surut meski pergerakannya tububnya kian terbatas.
💗💗💗💗💗
Ada yang kembali berdesir di dalam diri begitu Ruby mendengar sesuatu yang sesungguhnya tak ingin perempuan itu dengan. Sean kembali datang. Ia baru saja mendengar pemberitahuaannya dari Mario.
"Tuan Sean menginginkan desert Mangga buatanmu yang rasanya sama persis dengan yang kau buat waktu itu. Ayo, kerjakan. Kita tak punya banyak waktu," titah Mario yang sudah bergerak menuju tempat pendingin untuk mengambil bahan baku yang akan dipergunakan.
Ruby masih terdiam. Timbul rasa tak asing yang kini mulai menjalar di bagian perut dan pinggang. Perempuan itu mulai mendesis. Ya Tuhan, begitu mendengar mlnama Sean disebut. Perutnya mendadak melilit.
"Ayo, kau tentu masih mengingatnya 'kan, meski waktu itu terkesan dadakan," ucap Mario yang membuat Ruby terkesiap.
"Te-tentu, tentu aku masih mengingatnya. Jangan khawatir," jawab Ruby setengah terbata. Menetralisir rasa nyeri di bagian perut dan pinggang yang kini terasa bertambah.
Bahan baku yang sudah disiapkan Mario di meja, lekas Ruby kupas. Mengabaikan rasa sakit yang bukan hanya menyerang perut namun sudah mencapai pinggang.
Saat masih mengupas mangga, piisau dalam gengaman sempat terlepas saat rasa nyeri itu menghantam dalam hingga menciptakan peluh dingin yang membasahi pelipis.
Beberapa kali mengalami kontraksi palsu membuat Ruby mulai mengerti. Ia terus berdoa dan mengaturkan pernafasan. Perempuan itu tetap tenang dan memasang wajah biasa saja agar tak menghebohkan para pekerja lain dengan rasa sakit yang di dera.
Bukankah menurut dokter jadwal HPL masih beberapa minggu lagi, tetapi kenapa rasanya sesakit ini.
"Ruby, aku cukup membantumu di bagian ini dan ini saja ya." Mario berceloteh. Sesekali menggoda Ruby dengan membantu dibagian yang tak terlalu penting mengingat Mario memang tak pernah membuat desert Mangga kesukaan Sean sebelumnya.
"Tidak masalah, Kakak cukup mempersiapkan wadahnya saja. Lagi pula, i- ini ha-hampir selesai." Ruby meringis, menyentuh perut besarnya. "Sshhh." Perempuan itu mendesis.
"Hei, Ruby. Kau kenapa?." Mario terkejut begitu melihat Ruby meringis seraya mencengkeram pinggang. Terlebih wajah perempuan itu sudah pucat dengan kening yang dipenuhi bulir keringat.
"A-aku, tidak apa-apa, Kak."
"Perhatian, Tuan Sean sudah mencapai area area parkir dan selesaikan hidangan kalian dalam waktu lima menit." Ultimatum sang atasan membuat Ruby dan Mario kembali ke mode awal. Bergerak cepat untuk menyelesaikan sajian, namun...
"Aww..." Pekikan Ruby terdengar seiring cairan yang merembas di pakaian bawah wanita itu yang mana membuat Mario yang dengan jelas bisa melihat kejadian itu, sontak berteriak.
"Ru-Ruby, Tolong!" Mario berteriak. Wajahnya sudah tak kalah pucat dari Ruby. Sementara koki lain berlari menghampiri ke dua rekannya. Kehebohan pun tak terelakkan lagi. Ruby di gotong menuju ke luar resto. Pada saat itu pula bertepatan dengan Sean yang keluar dari kendaraan pribadinya.
Pria tampan itu berdiri, dengan pandangan mengerut. Mendengar kehebohan dari pintu utama Resto, namun bukan untuk menyambutnya melainkan...
"Tolong panggil Ambulance, asisten koki Mario akan melahirkan." Salah satu koki memerintahkan pada pertugas keamanan yang sigap berlari kearah pos penjagaan untuk menghubungi rumah sakit terdekat.
Semua orang berkerumun, bukan hanya pekerja tetapi juga para pengunjung. Diliputi rasa penasaran yang membuncah, membuat Sean bergerak mendekati kerumunan. Matanya terfokus pada satu titik pada apa yang menjadi objek yang membuat sekumpulan orang berkerumunan.
Sepasang matanya membulat sempurna, menatap wanita hamil dengan memakai seragam khusus pegawai resto yang terbaring kesakitan dengan menyetuh bagian perut besarnya.
Sean menelan ludah kasar, ia tak bisa melihat wajah sang perempuan sebab tertutup para karyawan yang berusaha menolonggnya. Akan tetapi saat satu orang beranjak, disitulah ia bisa melihat wajah seorang wanita yang nampak pucat dengan anak rambut yang menutupi sebagian wajah.
Peredaran darah dalam tubuh selah terhenti, begitu pun dengan nafasnya. Ia tak mampu berkata-kata begitu melihat wajah perempuan hamil itu yang begitu mirip dengan seseorang yang masih terpatri jelas dalam relung hati terdalam.
Ruby?.
ama rio dan selena
lha kalau kayak emak seperti diriku iki dengan body yg lebih berisi dak semok yoo harus di permak bb nya juga😁😁😛😛
perlu rasa percaya kepada pasangan sean