Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Milikku!
Setengah hari menghabiskan waktu di rumah, rasanya sangat lama bagi Raina. Meski yang dia lakukan hanya tiduran, tetapi karena ada Nero di dekatnya, Raina seperti tertekan. Walau tidak ada kata-kata sinis lagi, tetapi tatapannya masih mengintimidasi.
Raina jadi serba salah, tak bisa istirahat dengan tenang. Bahkan, tadi ketika dirinya mandi pun, hanya dilakukan ala kadarnya. Membawa ganti baju ke kamar mandi, lantas setelah keluar, kembali tiduran di ranjang. Tidak menyisir rambut, apalagi memanjakan wajah dengan rangkaian skin care.
"Andai saja hubungan kami baik, tinggal satu kamar begini juga nggak akan canggung. Kami bisa ngobrol, bercanda, mungkin itu lebih seru," batin Raina sambil menatap Nero sekilas, yang kala itu duduk di sofa dan asyik memainkan ponsel.
Tampak dari samping, Nero tetap terlihat tampan. Rahangnya kokoh, hidungnya mancung, rambutnya lurus dan rapi, meski sekarang bagian samping sedikit memanjang dan menyentuh telinga.
Raina menarik napas panjang dengan pelan. Fisik Nero adalah gambaran lelaki yang mendekati sempurna. Bahkan, ia dulu tak mengingkari itu. Walau usia terpaut jauh, tetapi bagi Raina, Nero adalah lelaki paling menawan yang pernah ia temui. Idola kampus saja masih tidak sebanding dengannya, kalah jauh.
Raina sempat bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Anne lebih memilih Raksa. Karena menurut Raina, kakaknya itu juga masih kalah dengan Nero.
Perihal perangai yang angkuh, egois, dan kejam, bukankah itu karena dendam dan benci? Jika kepada Anne, seharusnya tidak begitu, kan? Tidak ada dendam dan kebencian yang mendasari, murni perasaan cinta yang datang dari hati.
"Tuan!"
Panggilan pelayan dari luar yang disertai dengan ketukan pintu, menyadarkan kembali pikiran Raina yang sempat berkelana. Namun, baru saja ia bangkit dan hendak membukakan pintu, ternyata Nero yang beranjak lebih dulu.
Raina terdiam. Sembari menyandarkan punggung, ia mencuri pandang pada wajah Nero yang masih dingin dan datar. Lantas, kembali menatap ketika pintu terbuka lebar. Ternyata pelayan datang membawakan makanan dan minuman, yang tak tahu untuk siapa. Namun, dilihat dari porsinya ... sepertinya itu untuk dua orang.
"Bawa masuk!" Suara Nero kembali memecah keheningan, setelah beberapa saat lamanya hanya ada hening dalam kamar itu.
Dengan patuh, pelayan melangkah masuk. Membawa makanan dan minuman yang dia bawa, kemudian ditata di atas meja kecil yang berada tepat di dekat jendela.
"Sudah, Tuan. Saya permisi."
Sepeninggalan pelayan, kamar kembali sunyi. Hanya langkah kaki Nero yang terdengar samar. Lelaki itu menuju meja kecil di mana makanannya berada, lantas duduk di salah satu kursi sambil menatap ke luar. Gemerlap lampu kota terlihat jelas, beriringan dengan bintang yang turut mengintip dari balik kaca jendela.
Sementara Raina, hanya diam membisu di tempatnya. Mata belaka yang tetap aktif memandangi Nero.
Namun, tak lama kemudian ia kembali salah tingkah. Bagaimana tidak, Nero langsung menoleh dan menatapnya tanpa aba-aba. Sudah kepalang tanggung untuk menunduk, Nero sudah menangkap basah dirinya.
"Jangan berharap aku akan mengantarkan makanan ini ke sana," ujar Nero. Tidak dengan nada tinggi, tetapi cukup tegas.
"Sebentar, Om." Dengan agak ragu, Raina menyibak selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Lantas turun dan melangkah pelan ke tempat Nero.
Raina juga sempat menggulung rambutnya sebelum duduk di kursi, di hadapan sang suami.
"Makan!" perintah Nero.
"Iya, Om."
Tanpa menatap Nero, Raina meraih sepiring nasi dan semangkuk sup ayam. Lalu menyantapnya dengan pelan. Rasanya sangat sulit ditelan, padahal tekstur nasinya sedikit lembek. Entah mengapa. Mungkin karena keberadaan Nero di sana.
Demi menenangkan hatinya agar bisa menikmati makan malam, Raina mencuri pandang ke arah Nero. Sialnya, lelaki itu sedang menatap ke arahnya secara terang-terangan. Untuk kedua kalinya Raina tertangkap basah. Sangat menyebalkan. Alih-alih mendapat ketenangan, malah perasaan kacau yang menghampirinya sekarang.
"Jangan bangkit sebelum makananmu habis!" kata Nero, memberikan peringatan.
Sejak tadi dia mengawasi gerak-gerik Raina, yang tampak terpaksa memasukkan makanan ke mulutnya.
"Iya, Om." Meski tenggorokannya makin ciut dan perutnya kian terasa penuh, tetapi Raina tak berani membantah. Apalagi setelah tahu bahwa Nero sudah selesai makan dan terus menatap ke arahnya sambil merokok, makin tak berkutik saja dia.
Hampir satu jam waktu yang Raina habiskan untuk menyantap makanan itu, cukup melenceng dari waktu normal. Namun, setidaknya ia berhasil. Tak ada makanan atau minuman yang ia sisakan.
"Kamu ingin menggantikan posisi pelayan?" tegur Nero saat melihat Raina bangkit dan membereskan bekas makan mereka.
"Aku ... aku—"
"Minum obatmu dan duduk di sana!" potong Nero sembari menunjuk sofa dengan dagunya.
Raina kembali menurut. Ia tinggalkan meja tersebut, berikut dengan bekas makan yang masih berantakan. Lantas, meminun obat dan duduk di sofa seperti arahan Nero.
Ternyata ... sesaat kemudian lelaki itu menyusulnya. Duduk di samping Raina dengan jarak sekitar sejengkal.
Awalnya Raina biasa saja. Namun setelah Nero menyalakan TV dan melihat pembahasan seputar bisnis, Raina mulai merasa bosan.
Bayangkan saja, antara Raina dengan Nero tidak ada interaksi apa pun. Sementara di TV hanya wawancara dua orang yang menjabarkan poin-poin bisnis. Sama sekali tidak ada yang menarik.
"Andai yang ditonton drama romansa atau komedi, nggak mungkin bikin ngantuk," batin Raina sembari menyandarkan kepala di sofa.
Entah benar karena suasananya atau justru efek obat, yang jelas mata Raina makin tak bisa membuka sempurna. Sudah tak terhitung berapa kali dia menguap, rasa kantuk itu benar-benar mendera tanpa bisa dikompromi.
Sampai kemudian, kesadaran Raina benar-benar hilang karena daya tarik mimpi lebih kuat dari kenyataan. Lantas, kepalanya terkulai lemah ke samping, dan parahnya justru ke arah Nero.
"Kamu." Nero menggeram sendiri, saat menatap Raina tertidur nyaman dan bersandar di lengannya.
Wajah cantik polos itu tampak damai, lepas dari segala gurat kesedihan dan ketakutan.
"Jangan pernah bermimpi untuk lepas dariku. Kau milikku, Raina," ucap Nero seraya menatap wajah yang kini terbuai dalam lelap. Cukup cantik. Namun sayang, belum cukup mampu untuk melunakkan keangkuhan Nero.
Bersambung...