Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Kimi
Bajaj kuning itu kini melaju seperti semula di Jalan Ampera Raya yang sibuk. Adi memacunya lebih hati-hati, berusaha tak membuat panik mesin tua yang ditungganginya.
Warung mini bank, bengkel dan toserba tadi tampak semakin jauh tertinggal. Adi mencoba lebih tenang, karena ia harus menjaga ritme mesin sambil melirik kaca spion untuk memastikan tidak ada kendaraan yang terlalu dekat di belakang.
Setelah beberapa puluh meter, Adi berbelok ke timur, memasuki Jalan T.B. Simatupang. Kimi, di belakang mencoba menikmati perjalanan. Gadis itu sesekali memandangi jalanan penuh hiruk-pikuk di sekeliling.
Adi tetap fokus ke depan, sementara Kimi mencoba meredakan ketegangan yang masih menyelimuti.
Mereka melaju jauh hingga menyeberangi jembatan Sungai Ciliwung. Kimi dan Adi sempat melihat airnya yang tampak lebih jernih, dan untuk sesaat, semangat mereka kembali bangkit.
Namun, harapan mereka segera pudar saat melihat kemacetan parah di depan. Lalu lintas tampak tersendat, membuat mereka tak mungkin dapat bergerak maju.
“Oh my God!” ucap Adi. “Jam berapa sekarang?” meski Adi memakai jam, namun rasa paniknya membuat ia memilih bertanya kepada Kimi.
Kimi memeriksa ponsel. “Jam sebelas lewat.”
“Perfect!” gumam Adi dengan nada putus asa. “Macet parah sih ini.”
Kimi mengangguk dalam tatapan cemas.
Adi melongok lewat jendela bajaj. “Bang, ada apa ini ya, kok siang-siang macet gini?” tanya Adi pada seorang pengendara motor yang sedang mengobrol.
“Katanya ada mobil gede mogok, Pak, di depan!”
Adi menghembuskan nafas sambil melihat kemacetan yang tak mungkin bisa dilewati meskipun menggunakan bajaj. Adi menengok ke belakang. Dilihatnya antrian kendaraan di belakang. Ia sadar bahwa memutar balik juga bukanlah pilihan mudah.
Adi kembali menggenggam setang bajaj, wajahnya yang semula putus asa kini berubah, tampak penuh tekad. “Kimi, bisa cek Google Maps. Sepertinya kita butuh rute alternatif.”
Kimi cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi navigasi. “Sebentar, aku lihat ada jalan kecil di sebelah kiri, mungkin bisa kita ambil.”
“Target kita ke mana baiknya?”
“Untuk ke Bantar Gebang… ini dia Di, kita bisa menargetkan Jalan Raya Mabes Hankam. Cukup jauh sih, tapi berdasarkan petunjuk real time, di sana lalu lintas cukup lancar.”
“Baiklah, tolong aturkan rutenya...”
“Oke Di, sebentar!”
Tak lama kemudian suara Google Maps terdengar dari ponsel Kimi, memberikan petunjuk dengan nada yang tenang dan datar.
Adi merasa lega mendengar petunjuk itu. “Itu dia! Kita ambil rute ini. Meskipun jalannya kecil, kita mungkin bisa lolos dari kemacetan.”
Kimi mengangguk. Adi memutar kemudi, mengarahkan bajaj ke kiri memanfaatkan celah terakhir di kemacetan menuju gang kecil yang direkomendasikan Google Maps.
Bajaj mereka memasuki gang cukup sempit. Mereka melewati rumah-rumah dan sekolah. Adi mengemudikan bajaj dengan hati-hati, sementara Kimi memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kekhawatiran.
“Jalannya sempit, Di,” ujar Kimi dengan nada cemas. “Hati-hati…”
Adi menatap jalan di depan dengan penuh perhatian. “Kita harus terus maju. Kita hanya bisa berharap Google Maps memberi panduan yang benar dan tidak menyesatkan.”
Saat mereka memasuki kawasan Gedong, tiba-tiba Google Maps tak bersuara. Adi mulai merasa ragu. Jalanan mulai membingungkan dengan berbagai persimpangan, dan yang membuatnya semakin bingung, tidak ada tanda-tanda yang jelas menuju Jalan Raya Mabes Hankam. Dia melirik ke Kimi.
“Kenapa berhenti?”
Kimi pun tak tahu, ia segera memeriksa ponselnya, “Oh sorry, aku tak sengaja mengeluarkannya,” ujarnya dengan nada cemas.
Kimi mencoba mengulangi proses. “Sebentar... Oh, ya. Sepertinya ke arah sana, Jalan Tengah Gang Taruna terus ke timur ke Jalan Ujung Gedong melewati SMK Pertiwi,” katanya sambil menunjukkan arah di layar ponselnya.
Adi mengikutinya, mengarahkan bajaj mereka ke arah yang ditunjukkan. Jalanan mulai berubah menjadi lebih padat ketika mereka memasuki Jalan Tengah Gang Taruna. Lalu lintas menjadi semakin sulit, dan Adi harus berkonsentrasi penuh agar tidak menabrak kendaraan lain.
Ketika mereka sampai di depan SMK Pertiwi situasi semakin menantang. Jalur itu dipenuhi oleh siswa yang tampak berhamburan keluar sekolah. Ke warung-warung, ke mesjid dan area-area lain di luar sekolah.
Adi berusaha memajukan bajajnya pelan menembus keramaian. Beberapa siswa SMK melihat ke arah mereka dengan tatapan aneh. Kimi merasa risih. Ia terpaku sambil menunduk di belakang. Tak lama kemudian mereka pun lolos dari kerumunan.
Beberapa detik kemudian terdengar adzan Dzuhur berkumandang. Adi terus memacu bajaj menuju jalan yang sedikit lebar, kemudian mengikuti arahan navigasi menuju gang lain yang tiba-tiba melewati area tak terduga: tempat penampungan sampah.
“Aduh, aku nggak suka ini, kotor dan bau sekali?” Kimi berbisik, suaranya hampir tertelan oleh deru mesin bajaj yang terdengar mengerang sewaktu melahap jalan bergelombang.
“Bertahanlah, kita harus terus maju,” jawab Adi, meski dalam hatinya dia merasa sedikit tertekan karena mencium aroma busuk menyengat. “Mungkin ini belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Bantar Gebang,” ujar Adi.
Setelah keluar dari gang itu, Google Maps kembali mengeluarkan perintah, kali ini meminta mereka untuk belok ke kanan di sebuah gang kecil yang ramai.
“Serius? Gang ini?” Adi melirik Kimi dengan skeptis, sambil menunjuk jalan sempit yang hampir tertutup oleh deretan warung dan kendaraan yang diparkir sembarangan.
“Google bilang belok kanan di sini,” Kimi meyakinkan, meski ia sendiri tidak terlalu yakin.
Dengan sedikit ragu, Adi mengarahkan bajaj ke gang itu. Jalanan sempit ini berbeda jauh dari gang yang mereka lewati tadi.
Tiba-tiba, suasana berubah menjadi pasar dadakan, dengan pedagang yang menawarkan berbagai macam barang dagangan di pinggir jalan. Bajaj pun merangsek pelan, berjuang melewati orang-orang yang sibuk berbelanja, lagi-lagi membuat mereka menjadi pusat perhatian seketika.
“Astagfirullooaladziim!” Kimi menutup wajahnya dengan tas meski ia tahu ia memakai niqab. “Di, kita nyasar ke pasar.”
Adi juga merasa absurd dengan situasi ini. “Ini pasti rute paling aneh yang pernah aku lewati. Tapi kita sudah terlanjur di sini, jadi kita harus terus maju.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan bajaj berderak-derak melewati jalanan yang semakin sempit.
Kimi terus memantau Google Maps yang mengarahkan mereka ke rute-rute yang semakin tidak masuk akal. Beberapa kali, mereka harus berhenti dan menunggu pedagang atau pembeli yang menghalangi jalan untuk memberi mereka ruang.
“Tunggu, kita harus belok ke kiri di sini,” Kimi memberi arahan, menunjuk ke sebuah gang yang bahkan lebih sempit dari yang sebelumnya. “Tapi hati-hati, ini benar-benar sempit.”
Adi hanya bisa menghela napas dan mengikuti arahan Kimi. Bajaj itu nyaris menyentuh dinding-dinding rumah yang berjajar rapat di sepanjang gang. Orang-orang yang mereka lewati menatap heran, seakan tidak percaya ada bajaj yang berani melewati gang sekecil ini.
“Ini pasti rute Google paling absurd,” gumam Adi, hampir tidak percaya dengan apa yang sedang ia alami.
Kimi khawatir, tapi ia masih berusaha berpikir positif. “Setidaknya kita masih bergerak. Kalau pakai mobil, mungkin kita udah nyerah dari tadi.”
Bajaj mereka terus berjuang melewati rute-rute sempit itu, hingga akhirnya mereka keluar dari labirin gang-gang kecil dan kembali ke jalan yang lebih lebar. Mereka merasa lega saat kembali berada di jalan lebar, meski tantangan belum sepenuhnya berakhir.
Setelah menyeberang sebuah jembatan kecil terdengar suara adzan Dzuhur berakhir. Suaranya berasal dari sebuah mesjid.
“Di, berhenti dulu!” seru Kimi tiba-tiba.
“Kenapa harus berhenti?” tanya Adi.
“Kita sholat dulu!” ajak Kimi.
“Sholat? Perjalanan kita masih jauh…”
“Itu ada mesjid. Ayo berhenti, kita sholat dulu!”
“Nggak usah lah, waktunya mepet.”
Kimi melotot, meski ia tahu Adi tak melihatnya. “Adiiii, berhenti nggak?” teriak Kimi dengan marah. “Bilang nggak usah lagi… Puter balik!” suruh gadis itu dengan tegas.
Bajaj berhenti. Adi merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar ancaman Kimi dengan suara yang tiba-tiba berubah sangat tegas.
“Cepetan, puter balik!” suruh Kimi lagi.
“Oke, oke!” sahut Adi. Ia mengembuskan nafas panjang. Adi sadar ia harus menghargai Kimi. Ia pun memutar bajajnya kemudian menghampiri mesjid yang ditunjuk Kimi.
Mereka turun dan masuk ke area mesjid. Di mesjid itu tak hanya ada mereka. Melainkan telah ada beberapa pria dan wanita. Adi pergi ke area bersuci laki-laki, sementara Kimi ke area bersuci wanita.
Selesai berwudhu Kimi tak melihat Adi. Gadis itu pun memutuskan untuk segera bergabung dengan jamaah sholat Dzuhur perempuan.
Selesai sholat Dzuhur dan berdo’a Kimi keluar mesjid dan mendapati Adi sudah duduk di teras mesjid. Sekitar lima meter darinya, beberapa perempuan tampak berkumpul di teras itu.
“Sudah sholat belum?” tanya Kimi.
“Nggak usah lah, yuk!” ajak Adi sambil berdiri.
“Ya ampuuun, jadi belum sholat?”
“Nggak usah…” jawab Adi.
“Sholat dulu!” suruh Kimi, mulai marah.
“Kok kamu jadi nyuruh-nyuruh aku sih? Terserah aku dong mau sholat mau nggak,” kilah Adi.
“Astaghfirulloohaladziim… Aku nyuruh kamu sholat karena Allah memerintahkan sholat kepada setiap orang Islam, ngerti nggak? Sebagai Muslim kita itu diwajibkan melaksanakan sholat. Sholat itu tiang agama. Cepetan sholat dulu!”
Adi mendengus. “Nggak ah, nggak! Kan kamu sudah. Aku sudah hargain kamu, nganter kamu ke mesjid.”
“Astaghfirulloohaladziim… Kamu ngomong apa sih? Amal aku ya amal aku, amal kamu ya amal kamu. Aku nggak ngerti deh. Kalau kamu sholat, itu untuk kebaikan kamu sendiri, bukan untuk aku, begitu juga sholat akuuu.”
“Ya udah kalau begitu, biar aku yang tanggung sendiri.”
“Kamu ya, disuruh sholat!” Kimi melotot.
Para wanita yang melihat pertengkaran mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil berbisik-bisik.
“Kalau kamu nggak mau sholat, ya sudah, tinggalkan aku di sini, aku bisa pulang sendiri kok! Sana, kamu pergi saja sendiri ke Bantar Gebang! Aku nggak mau ya, disupirin sama seorang Muslim tapi nggak suka sholat!” tegas Kimi.
Adi tercekat, tampak tersinggung. “Ya sudah, aku juga bisa pergi sendiri. Aku tidak butuh bantuan kamu! Ingat itu!” kata Adi sambil berlalu pergi.
“Okay, fine! I don’t care about you anymore!” (Oke, baiklah! Aku nggak peduli lagi sama kamu!) teriak Kimi.
Adi pergi menghampiri bajaj tanpa menghiraukan Kimi. Pria itu menyalakan bajajnya kemudian melaju.
Tapi tiba-tiba ia ingat, ia masih membutuhkan Google Maps Kimi. Selain itu ia pun merasa tak tega meninggalkan Kimi sendirian di wilayah tak dikenal itu.
Baru beberapa meter melaju Adi pun berhenti. Adi turun, kemudian mendekat ke arah mesjid.
“Apa lagi?” tanya Kimi, jutek. “Just go!” (Sana pergi!)
Adi mendengus di dekat Kimi. “Aku sholat dulu!” kata Adi ketus seraya masuk ke tempat wudhu. Dalam kekesalannya Kimi tersenyum di balik niqab. Gadis itu menghembuskan napas.
“MasyaAllah!” ucap salah seorang perempuan yang sedang duduk di teras mesjid.
Kimi melirik ke arah kumpulan perempuan di teras itu. Mereka tampak riuh membicarakan Kimi.
“Hebat Kak, harus tegas memang sama suami model begitu. Coba saya bisa begitu juga sama suami saya…”
“Iya, ya, aku juga. Coba bisa gitu…”
“Astaghfirlloohaladziiiiim…” gumam Kimi. “Nggak Kak, cuma sopir bajaj kok!” sangkal Kimi dengan nada masih kesal. Gadis itu tidak berbohong. Sekalipun bukan profesi, Adi yang sekarang memang sopir bajaj.
Perempuan-perempuan itu berbisik-bisik lagi sambil terdengar tawa-tawa kecil di antara mereka.
“Ya ampuun saking keselnya sama suami kali ya?”
“Iya, sampai-sampai disebut cuma sopir bajaj…”
“Mana ada sopir bajaj pakaiannya kece begitu.”
“Astaghfirullooaladziiim…” ucap Kimi. Ia bisa mendengar jelas kasak-kusuk itu. Gadis itu mendengus, kemudian duduk di teras mesjid melepas lelah sambil menunggu Adi selesai sholat.
Beberapa menit kemudian Adi keluar dari mesjid lalu mengajak Kimi bergegas. “Yuk berangkat!”
“Sudah sholatnya?”
“Sudah…” jawab Adi, acuh tak acuh.
“Tunggu dulu!” cegah Kimi.
“Apalagi sih?” tanya Adi, heran.
Kimi bergegas menghampiri bajaj kemudian mengambil kantong belanjaan. Lalu dikeluarkannya dua bungkus roti dan dua botol air mineral.
“Nih, makan!” kata Kimi sambil menyerahkan sebungkus roti ukuran besar kepada Adi dan sebotol air mineral. Kebetulan Adi merasa sangat lapar. Ia pun memakan roti itu dengan lahap.
“Jangan lupa, bismillah dulu,” kata Kimi mengingatkan. Adi menurut, tak banyak protes lagi.
Kimi duduk agak menjauh. Gadis itu pun memakan rotinya dan meminum air mineral. Selesai makan, Kimi mengeluarkan dua pasang sandal.
“Dan ini pake dulu sebelum berangkat!”
“Loh kok sandal sih?” tanya Adi, terkejut.
“Iya, tapi ini sandal gunung, cocok buat ke Bantar Gebang,” ucap Kimi berusaha meyakinkan Adi.
“Kan aku mintanya dibeliin sepatu…” protes Adi. “Emang nggak ada sepatu gunung yang keren?”
“Nggak sempet nyari, adanya ini.”
Adi terdiam dengan tatapan aneh. “Aku sudah rapih pake kemeja loh,” kata pria itu.
“Astaghfirulloohaladziiim… Daripada pake kemeja terus telanjang kaki, lebih aneh lagiii… Lagian, jangan dulu mikirin style deh, dan nggak usah banyak protes juga. Cepetan pake!” suruh Kimi.
“Hhhhh… ya udah deh,” sahut Adi, pasrah.
Adi memakai sandalnya. Kimi pun mengganti sepatunya dengan sandal yang sama. Habis itu mereka berpamitan kepada perempuan-perempuan di sana yang masih saja cekikikan melihat pertengkaran mereka.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.