(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saputangan dan Wanita Penuntut
“Bagaimana hasil pemeriksaan anda, dokter ?” Fahmi buru-buru mengambil tab dan mengikuti Edward masuk ke ruangannya.
Kemarin Edward cuti sehari untuk berobat ke dokter spesialis, tapi bukan sekedar itu saja, Edward juga cuti dari Lily yang hampir tidak pernah berhenti menghubunginya untuk mendesak Edward agar menolak keputusan daddy Robert.
“Dari hasil pemeriksaan, kondisiku normal dan baik-baik saja, Fam. Dokter Rizal mengambil kesimpulan penyebabnya adalah stres makanya dia tidak meresepkan aku obat malah menyuruhku pergi ke psikiater.”
Edward melemparkan kartu nama ke atas mejanya yang langsung diambil oleh Fahmi. Tertera nama dr. Adrian Suherman Sp. Kj.
“Apa ada berita baru tentang wanita di hotel, Fam ?”
Fahmi tidak langsung menjawab, kelihatan ia ragu-ragu untuk bicara pada Edward yang mendongak karena asistennya diam saja.
“Ada apa, Fam ?”
Fahmi mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja Edward.
“Kemarin saya diminta datang ke hotel untuk bertemu dengan manajer housekeeping dan mereka menyerahkan benda itu, ditemukan di kolong tempat tidur.”
“Ini saputanganku, Fam,” Edward menunjukkan inisial namanya yang dibordir di salah satu sdut saputangan berwarna biru muda dengan list putih di sekelilingnya.
“Tapi aku sudah lama tidak memakai saputangan lagi. sepertinya sejak aku mengambil spesialis di Amerika.” Edward mengerutkan dahi untuk memastikan ingatannya.
“Bagaimana mungkin benda ini ada di sana padahal aku sudah tidak pernah membawanya lagi. Semuanya masih ada di rumah mommy, aku yakin tidak membawa satu pun ke apartemen.”
“Apakah dokter pernah memberikan saputangan ini kepada salah satu teman perempuan atau mungkin pasien wanita ? Semula pihak hotel juga tidak yakin kalau ini milik anda tapi inisial kedua hurufnya cocok dengan nama dokter.”
Edward memijat pelipisnya sambil mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat sesuai yang dikatakan Fahmi tapi ia menggelengkan kepala.
“Aku yakin tidak pernah, Fam.”
“Entah dokter membawa benda ini malam itu atau wanita tadi tidak sengaja meninggalkannya. Saya akan mencari tahu kemungkinan wanita itu kenal dengan dokter atau justru sangat dekat dengan dokter.”
Edward menghela nafas dengan wajah sarat dengan beban masalah tapi detik berikutnya ia masih berusaha tersenyum.
“Bisakah aku minta bantuanmu untuk terakhir kalinya, Fam ?”
“Tidak akan kata terakhir, dokter. Sekalipun dokter sudah tidak menjabat sebagai wakil direktur di sini, saya tetap menganggap dokter atasan saya.”
“Terima kasih Fam karena hanya kamu yang selalu mengerti aku. Tolong tuntaskan masalah kejadian di hotel, mungkin setelah bertemu dan minta maaf pada wanita itu, hidupku bisa lebih tenang meskipun masih banyak masalah yang harus aku hadapi di depan.”
“Saya pasti akan mencarinya sampai ketemu, dokter.”
Edward tersenyum sambil manggut-manggut kemudian beranjak dari kursi kerjanya.
“Dimana rapatnya, Fam ? Rasanya seperti seorang pesakitan yang akan mendengarkan keputusan pengadilan,” seloroh Edward sambil tertawa getir.
“Ruang Gladiola di lantai 8, dokter.”
“Aku ke sana sekarang Fam,” Edward menepuk-nepuk bahu Fahmi saat melewati pria itu. Tidak lupa ia mengambil saputangan yang ada di atas meja.
“Tolong sampaikan terima kasih pada pihak hotel, Fam, aku akan menyimpannya dan memastikan apakah jumlahnya ada yang berkurang saat ke rumah mommy.”
“Baik dokter.” Fahmi menganggukan kepala dan membungkukkan badannya sekilas lalu mengikuti Edward keluar dari ruangan.
***
Edward menghela nafas saat melihat Lily sedang berdiri di dekat pintu masuk utama rumah sakit. Tidak aneh wanita itu sampai datang kemari karena sudah 3 hari Edward tidak menanggapi pesan dan panggilannya bahkan Edward sengaja tidak pulang ke apartemen supaya Lily tidak bisa menemuinya.
Wajah Lily kelihatan ketus dan tatapan matanya membuat Edward langsung menariknya keluar dan membawanya ke parkiran mobil lalu tanpa disuruh Lily langsung masuk ke kursi penumpang depan.
“Kenapa kamu menghindariku lagi ?”
“Aku tidak menghndar hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Hari ini secara resmi aku diminta mengundurkan diri dari rumah sakit lalu bertahap aku akan melakukan serah terima pekerjaan juga pasien. Aku diberi batas waktu sampai akhir bulan.”
“Jadi kamu tidak berhasil membujuk daddy-mu untuk membatalkan perjanjian bodoh itu ? Kamu mau saja warisanmu dikuasai gadis kampung itu dan dipecat karena memilih berpisah dengannya ?”
“Aku tidak akan melawan karena salahku juga tidak teliti membaca sebelum menandatanganinya.”
“Tapi…”
“Lily, tolong belajarlah untuk sabar. Apakah kamu akan meninggalkanku karena aku bukan lagi calon pengganti daddy dan ahli waris keluarga Hartawan ?”
“Aku hanya memikirkan bagaimana nasib kita kalau kamu tidak punya pekerjaan tetap ? Lagipula kamu adalah anak kandung mereka, mana bisa warisan yang menjadi hakmu dialihkan pada orang asing yang berstatus menantu ?”
“Aku akan belajar menerimanya sekalian membuktikan pada daddy kalau aku bisa hidup tanpa bayang-bayang nama Hartawan. Belajarlah untuk bersabar, untuk beberapa saat ada baiknya kita hidup lebih sederhana. Aku berjanji akan segera menikahimu setelah mendapat pekerjaan tetap.” Edward mengusap kepala Lily sambil tersenyum.
“Jadi aku harus pindah kost ? Lalu kamu tetap harus keluar dari apartemen itu ?” Edward mengangguk.
“Aku memang punya tabungan tapi tidak sebanyak yang kamu kira. Baru 4 tahun aku menjadi dokter spesialis dan selama ini daddy memberiku gaji sama seperti dokter spesialis lainnya, hanya ada tambahan pendapatan sebagai wakil direktur.”
“Kamu menyandang nama Hartawan tapi orangtuamu memperlakukanmu seperti anak pungut,” gerutu Lily membuat Edaward hanya tertawa pelan.
“Sejak dulu daddy mengajarkan aku dan Erwin filfasat hidup adalah perjuangan, sekalipun sebagian dari hidup ini bisa dibeli dengan uang tapi kami berdua tidak pernah diijinkan atau diberi kesempatan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan kekayaan orangtua.”
“Tapi mereka terlalu murah hati pada gadis kampung itu ! Apa Erwin tidak pernah protes ?”
“Aku tidak tahu karena hidup Erwin lebih banyak dihabiskan di luar negeri. Sebaiknya kamu tidak usah membahas soal Elsa lagi karena setiap kali menyebut namanya, kita sama-sama dibuat kesal jadi jangan biarkan dia jadi toxic dalam hidupmu.”
Lily menghela nafas, raut wajahnya masih terlihat kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena Edward sudah memutuskan untuk menerima semua konsekuensi yang harus ditanggungnya.
“Mau aku temani cari tempat kost yang baru ?” Edward kembali membelai rambut Lily yang dibiarkan tergerai.
“Hhmmm.”
“Gitu dong sayang,” Edward menoel ujung dagu Lily dengan tatapan menggoda. “Jangan ngambek terus. Aku sangat senang kalau kamu selalu ada di sampingku sebagai bentuk dukungan. Bersabarlah sebentar, aku akan berusaha mencari pekerjaan baru dan bekerja keras untuk membahagiakan istri dan anak-anakku kelak.”
“Memangnya kamu mau punya berapa anak ?”
“Kalau aku bilang sepuluh, kamu sanggup ?” Edward menggoda Lily sambil tertawa.
Lily hanya tersenyum, mendadak enggan membalas candaan Edward.
Aku lelah hidup susah dan harus berjuang setengah mati untuk yang namanya kebahagiaan, Ed. Aku bukan orang yang sabar menunggu, itu sebabnya aku tidak tahu apakah masih bisa mendampingimu dengan kehidupanmu yang sekarang.
dasar sundel bolong