Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Tumpukan baju di atas ranjang menjadi saksi bahwa sedari tadi Shana tengah mencari baju yang pas untuk dipakainya. Berulang kali mencoba, lalu memandangi penampilannya di cermin, kemudian meletakkannya di sana. Tidak ada yang cocok di hatinya.
Padahal peduli apa soal penampilan? Karena yang terpenting dari pertemuan ini hanyalah untuk menekan pelakor itu untuk menjauhi suaminya. Shana menggigit kukunya, perasaannya gusar sekali. Satu jam lagi dia harus sudah di sana.
Tidak mungkin memakai pakaian biasa, karena Shana tidak ingin penampilannya dianggap rendah dan mendapatkan cemooh oleh jalang itu. Jadi, setelah merenung beberapa saat. Shana mengambil midi dress yang dibeli Kaivan sebagai hadiah ulang tahunnya saat tahun lalu.
Midi dress berlengan panjang berwarna putih dengan bawahan cokelat. Di bagian dada terdapat corak bunga mawar berwarna cokelat. Di bagian rok terdapat lipit yang menambah kesan kasual. Jadi, Shana tersenyum dengan melihat penampilannya sendiri di cermin.
Untuk make-up dia memilih yang simpel, namun terlihat padu dengan midi dress yang dipakainya.
Sempurna.
Setelah mengambil tas kecil berwarna putih, Shana pun segera keluar kamar untuk memakai flatshoes putih kesayangannya. Bersamaan dengan itu, bunyi klakson di depan rumah terdengar.
"Tumben Non minta antar ke saya...,"ujar Mang Ujang saat Shana sudah duduk di jok belakang. Dia tidak mendapatkan jawaban, hanya senyum tipis Shana. Jadi, mobil pun melaju.
Entah mengapa, jantung Shana berdebar kencang. Firasatnya mengatakan untuk tidak pergi, namun dia tetap keras. Ingin menemui perempuan jalang yang terus-menerus mendekati suaminya.
Jemari yang diletakkan di atas roknya saling bertautan cemas. Pandangannya selalu tertuju ke arah kiri. Berulang kali dia menghembuskan nafas panjang. Namun, tetap saja debar di dadanya tak kunjung membaik.
Bahkan sampai mobil menepi dan berhenti di depan sebuah kafe. Perasaan gugupnya melanda semakin kencang. Tangannya mulai membuka pintu, "Pak, nggak usah tungguin saya. Terima kasih, ya, Pak." Setelah mendapatkan anggukan, Shana segera keluar.
Mata Shana mengelilingi setiap inci sebuah Kafe yang menjadi tempat pertemuan mereka. Untuk pertama kalinya. Mungkin bagi perempuan jalang itu. Karena dengan mudahnya, Shana sudah menemukan posisinya.
Kaki Shana mulai terayun, memasuki pelataran kafe yang belum ramai itu. Dulu, seingat Shana kafe ini akan ramai ketika memasuki waktu makan siang. Karena sebagian pengunjungnya adalah orang-orang pekerja kantoran. Yang di mana kantor mereka ada tepat di sebelah kafe ini. Jadi, tidak heran orang-orang kantor sering mengunjunginya.
Termasuk Kaivan.
"Hai, udah lama nunggu, ya?"sapa Shana sambil menarik satu kursi di hadapan perempuan berkuncir satu.
Awalnya Raisa gelagapan, dia tidak menyangka bahwa istri Kaivan ternyata jauh dari ekspetasinya. Dia pikir, istri Kaivan itu istri yang tampilannya membosankan. Tidak enak untuk dipandang. Ternyata ... tidak.
Gerak pandangnya naik-turun, memandangi Shana yang tersenyum kaku dari atas kepala sampai bawah kakinya. Susah payah dia menelan air ludahnya sendiri.
"Ng ... Nggak kok, aku juga baru sampai,"balas Raisa. Dia berusaha menampilkan senyum semanis mungkin, namun Shana tahu perempuan busuk itu tengah gemetar.
Waiters datang membawa buku menu. Tepatnya hanya untuk Shana, karena perempuan di hadapannya itu sudah memesan white coffee terlebih dahulu.
"Saya mau pasta, sama jus lemonnya satu." Setelah waiters pergi, Shana kembali pada posisinya. Memberikan tatapan mengerikan pada lawan di hadapannya itu. Seakan-akan dia tidak segan-segan untuk memakannya sampai tulang keringnya juga.
Astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan? Batin Shana.
"Jadi ... apa yang sebenarnya mau kita bicarakan?"tanya Raisa setelah menyesap kopinya.
Shana berdecak sambil memalingkan wajah, "Aku rasa ... kamu pasti tau,"ujarnya. Lalu, menoleh, "Jauhi Kaivan."
Bukannya merasa kalah, tapi Raisa memberikan tanggapan yang tidak seharusnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan satu tangan. "Punya hak apa kamu ngatur-ngatur aku?"
"Hak? Kamu bicara soal hak? Kaivan itu suamiku. Sedangkan, kamu? Hanya bocah ingusan yang menggilai suami orang."
Tangan Raisa terkepal di bawah meja, rahangnya tampak mengeras dengan mata yang sedikit memicing. Membuat Shana menyeringai, dengan yakin dia akan membawa kemenangan.
Raisa baru saja membuka mulut, hendak mengeluarkan suara. Namun, kedatangan waiters membuat niatnya urung. Matanya hanya membeliak seakan menyudutkan Shana.
"Terima kasih..." Shana mengangguk ramah dengan senyum tipisnya pada waiters, sebelum akhirnya menghujam anak panah tepat di sudut mata perempuan itu. "Aku rasa, Kaivan juga tidak senang didekati olehmu. Jadi—"
"Apa? Dia tidak senang?" Raisa tertawa kecil, "Tidak senang bagaimana? Kita sudah melakukan hubungan seks. Dan ... Dia tampak menikmatinya."
Shana tidak salah dengar, kan? Apa perempuan itu terlalu banyak bermimpi sampai bisa mengucapkan hal konyol itu?
"Kamu pikir ... aku percaya dengan omong kosong mu?"
Raisa berdecak, tubuhnya dia condongkan agar suaranya bisa terdengar tepat di telinga Shana. "Kamu pikir saja sendiri. Mana mungkin Kaivan datang ke sini, kalau bukan untuk melindungiku."
Kening Shana mengernyit. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sosok yang perempuan itu bilang. Namun, Kaivan tidak ada di sana.
Jadi, "Kayaknya kamu nih orangnya suka tidur, makanya mimpinya keterusan,"cibir Shana lalu menyesap jus jeruknya.
Raisa berdecak, "Kamu seharusnya sadar. Mana mungkin pria matang seperti Kaivan akan setia jika menemui gadis lugu sepertiku,"ujarnya percaya diri. "Oh ... Satu lagi. Kaivan itu paling suka gaya helikopter. Pasti kamu—"
Byur!
Raisa terbelalak dengan mulut menganga, pandangannya turun memperhatikan kemejanya yang baru saja terkena jus jeruk Shana. Dengan demikian, Raisa pun berdiri dan membalas aksi Shana. Menyiram tubuh Shana dengan kopinya.
Kini, balik Raisa yang menyeringai. Puas sekali dia membalas perbuatan Shana. Entah mereka sadar atau tidak, tindakan mereka menjadi buah bibir beberapa pengunjung yang mulai memasuki kafe.
"Biadab!"pekik Shana memegang piring yang berisi pastanya. Semua orang menganga saat piring itu hampir melayangkan isinya, namun gagal. Karena sekarang, sebuah tangan familiar tengah menggapai kedua tangan Shana.
Deru nafas Shana sempat terhenti ketika melihat tangannya dipegang. Wajahnya sontak mendongak, melihat siapakah orangnya.
Dan ternyata ... dia Kaivan.
"Kamu ngapain, sih? Malu tau, nggak?" Pertanyaan macam apa itu? Kaivan meletakkan piring yang masih dalam genggaman Shana ke atas meja. "Ayo, pulang!"
Langkah kaki Kaivan besar-besar membelah kerumunan orang-orang yang tengah menonton aksi kekanakan Shana dan Raisa. Shana sempat berbalik, menatap wajah jalang yang tengah tersenyum penuh makna.
Sebelum akhirnya memandangi satu tangan Kaivan yang menggenggam pergelangan tangannya. Benar kata Raisa, ternyata Kaivan diam-diam datang ke sini untuk melindungi jalang itu.
Rasa kebas menghantam di sudut hati Shana. Dia memandangi lelakinya yang tengah menariknya dengan perasaan kecewa. Kenapa Kaivan tidak membiarkan saja pasta itu menghampiri wajah Raisa? Kenapa?