Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Jejak-Jejak Cinta
Dara meringkukkan tubuh seperti posisi janin di dalam rahim ibu. Ia merasa kedinginan, kulitnya bahkan sampai merinding. Ia meraba-raba mencari sosok Damar, ingin mendapatkan kehangatan dalam pelukannya.
Namun… tidak ada siapa-siapa. Dara terbangun sendirian. Damar sudah pergi, meninggalkan hanya jejak sisa gelora cinta mereka semalam. Mata Dara telah sepenuhnya terbuka. Masih berbaring lemas dengan sekujur tubuh yang terasa ngilu.
Dara merasa sedikit kehilangan, tetapi juga penasaran. Siapakah Damar sebenarnya? Apa rahasia yang disimpannya? Mengapa dia muncul dan menghilang dengan sangat misterius? Dia bukan hanya telah membuat Dara tergila-gila, tetapi juga semakin menggelitik rasa ingin tahunya.
Dara bangkit dan duduk. Ia tidak tahu ini jam berapa. Di gubuk itu tidak ada apa-apa. Bahkan ternyata ia hanya berbaring di lantai dingin, padahal semalam sepertinya mereka bergumul di atas tempat tidur. Atau mungkin kepalanya terlalu ditutupi kabut nafsu sehingga tidak memedulikan apa pun lagi selain menikmati sentuhan Damar.
Dara segera meraup pakaiannya yang berserakan, mengenakan kembali satu per satu. Ia harus segera pulang, atau ada yang akan menyadari bahwa ia tidak ada.
Hari masih sangat dini. Langit masih berwarna abu-abu muda, matahari belum muncul. Dari warna langit, Dara memperkirakan mungkin ini belum jam enam.
Dara melangkah sambil sesekali mengernyit, merasakan perih di area kewanitaannya. Sepanjang perjalanan pulang, Dara tak mampu menghentikan senyum yang terkadang singgah tanpa bisa ia tahan. Bibirnya tertarik ke sisi kiri dan kanan begitu saja. Di pelupuk matanya masih terbayang adegan dirinya bergumul penuh gejolak hasrat dengan Damar.
‘Apa yang akan dipikirkan Mama dan Papa jika mereka tahu aku sudah menyerahkan keperawananku pada orang asing? Kami bahkan melakukannya berkali-kali, dan aku berencana akan tetap melakukannya besok dan besoknya lagi?’ Bahkan ketika berpikir seperti ini, Dara tidak menyesali apa yang telah ia perbuat.
Dorongan untuk memutar balik kakinya malah lebih kuat, alih-alih kembali ke rumah Oom Bernard, Dara ingin berbalik ke gubuk Damar saja. Meskipun itu gubuk yang buruk, bukan gedung mewah seperti rumah Oom Bernard, Dara merasa dirinya seharusnya berada di sana, bersama Damar, merajut cinta setiap hari, setiap saat.
Pikirannya masih dipenuhi Damar, dan bibirnya masih tersenyum, ketika kakinya telah tiba di depan gerbang rumah Oom Bernard. Dara bersiap mendorong pintu besi itu, ketika mendadak pintu terbuka.
Tubuh Dara terdorong ke depan, hampir terjerembab. Tetapi sebuah tangan yang kuat menahannya agar tidak jatuh.
Dara mengangkat kepala, dan senyumnya seketika lenyap. Pak Wira.
Pak Wira memelototinya penuh-penuh, hampir seolah ingin menelannya bulat-bulat.
“Dari mana lo? Pagi-pagi buta udah keluyuran?!”
Dara tidak menjawab. Ia merasa tidak wajib menjawab Pak Wira. Dia bukan atasannya. Dara bekerja pada Oom Bernard. Ia bukan bawahan Pak Wira, apalagi Siti.
Dara melangkah masuk tanpa mengindahkan Pak Wira yang bergeming di pintu, tetap menatapnya tanpa berkedip, bahkan hampir memutar tubuh seiring langkah Dara yang semakin masuk.
Dara bersikap masa bodoh. Yang ia pedulikan sekarang adalah harus segera menelepon Papa, mengatakan bahwa ia tidak lagi ingin pulang. Papa juga tidak perlu lagi datang berkunjung. Kasihan dia harus jauh-jauh ke sini, mana harus buang uang untuk menyewa mobil. Itu semua tidak perlu lagi.
Di dalam kamarnya, Dara segera memijit nomor rumah. Papa sendiri yang menjawab.
“Pa, Papa masih belum menyewa mobil kan?” Dara bertanya tanpa basa-basi.
“Maaf Dara, Papa masih sibuk, kebetulan ada pesanan kue dalam minggu ini. Lumayan untuk menambah bekal. Jadi Papa belum sempat.” Suara Papa penuh penyesalan.
“Ooh… bagus Pa. Kebetulan. Papa gak usah ke sini, Dara udah gak apa-apa kok.” Dara malah merasa lega.
“Loh? Apakah mereka sudah bersikap baik? Oom Bernard sudah kembali ke Indonesia?”
“Belum Pa. Tapi Dara sudah punya teman.”
“Sudah punya teman? Dari mana? Memang Dara bisa keluar-keluar?” Papa terdengar heran.
“Enggak, Pa. Dia karyawan sini juga. Dia baik sama Dara. Setidaknya ada satu yang bisa jadi teman. Jadi Dara sudah tidak merasa sendirian. Pokoknya Papa gak usah ke sini ya, maaf Dara udah cengeng.” Dara terkekeh di akhir kalimatnya.
“Syukurlah kalau begitu. Dara yakin Papa gak usah ke sana?”
“Iya Pa, sayang uangnya. Lagi susah begini, lebih baik ditabung kan?” Dara meyakinkan.
“Baiklah kalau begitu. Dara baik-baik ya, dan salam untuk Oom Bernard.”
Dara mengakhiri panggilan telepon dan mengembuskan napas lega. Ini adalah tempaan agar dirinya dewasa. Mungkin situasi buruk ini untuk melatih dirinya agar tahan banting.
‘Untunglah Tuhan menciptakan orang bernama Damar,’ Dara mengenang dengan perasaan hangat, dan kembali tersenyum-senyum.
Ia lalu berjalan untuk mengambil gayung berisi peralatan mandi. Sekujur tubuhnya tidak terlewat satu inci pun dari jilatan Damar. Meskipun terasa jorok jika dibayangkan sekarang, semalam Dara sangat tergila-gila akan rasanya. Sebenarnya ia merasa sayang jika mandi, karena jejak Damar akan terhapus.
‘Tapi aku bisa menyelinap pergi ke sana lagi malam ini, untuk meminta dia mengulanginya. Ternyata itu sangat enak.’ Pikiran itu membuat pipinya panas, merasa dirinya sangat mesum.
Sebelum pergi ke kamar mandi, Dara memandang bayangan dirinya di cermin. Dan tersentak.
Di lehernya, banyak jejak cinta berwarna kemerahan. Bukan hanya satu dua, banyak. Benar-benar jelas dan nyata. Pantas saja Pak Wira tadi memelototinya. Sekarang, Dara panik.
Dengan tergesa, ia membuka pakaian dan menatap tubuhnya di cermin. Di sekujur tubuhnya, lebih banyak lagi jejak cinta yang ditinggalkan Damar. Sebagian masih berwarna kemerahan, menunjukkan itu masih baru, mungkin yang ditinggalkan tadi subuh. Sebagian sudah agak ungu kehitaman, mungkin itu yang paling awal di malam kemarin.
Dara tertegun. Yang di tubuhnya bisa ditutupi dengan pakaian. Lalu bagaimana yang di leher? Jika Pak Wira hanya memelototinya, ia tak yakin Siti tak akan berkomentar. Dan komentarnya pasti sepedas dan sehina mungkin, karena ini kesempatan untuk menyerang Dara. Bahkan Dara yakin, Siti pasti melapor pada Tante Mir.
Dara bukan gadis yang suka mengenakan make-up, jadi tidak memiliki foundation untuk menutupi jejak-jejak di lehernya. Ia berpikir keras. Ketika tidak menemukan solusi, ia pasrah.
Masa bodoh. Siti bukan atasannya, biarkan ia berkomentar semaunya. Jika semua orang memusuhinya, selama Oom Bernard belum kembali, ia akan tinggal bersama Damar saja.
‘Ini hidupku dan tubuhku. Tidak ada yang berhak menilainya. Hanya aku yang memiliki hak sepenuhnya atasnya.’
Dengan pikiran seperti itu, Dara melangkah ke luar kamar. Ia sudah bertekad, tak akan menjawab apa pun yang dilontarkan Siti atau Pak Wira.
Benar saja, ketika berpapasan dengan Siti. Siti menoleh sampai lehernya hampir terpuntir.
“Heh, itu cupang dapat dari mana? Giiila... semalam pergi ke mana sih, tiba-tiba dapat stempel segitu banyak? Dasar gatel. Diem-diem ternyata lo menyelinap pergi ya?”
Dara tetap berderap ke kamar mandi, menulikan telinga.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author