Menjadi istri Demon tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dihadapi Rosela tang semua dari hidup normal menjadi tidak normal lantaran ia hidup tak hanya berdampingan dengan sesama manusia saja, melainkan dengan para makhluk tak kasat mata. Namun Rosela tidak mengeluh, ia justru cepat beradaptasi mengungkap semua permasalah. makhluk astral dan segala permasalahannya. Dari sini Rosela juga tahu siapa orang yang melenyapkan kedua orangtuanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin Supriatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 PAK PO
Karena Pak Po tak lagi punya kekuatan, iapun kewalahan menghadapi singa yang mencoba menjadikannya sebagai mangsa. Singa itu menyerang dari berbagai sisi dan Pak Po mengindari serangan itu. Akibatnya, Sebagian tubuh Pak Po mengalami lika lecet dan baret gara-gara singa tersebut.
"Aduh aduh ini kucing napa juga ada di sini? Sana pergi! Hush hush!" usir Pak Po seperti mengusir ayam saja.
Si kucing besar tentu saja tak mempan diusir dengan cara seperti itu. Sebagai raja hutan yang paling ditakuti, singa juga punya harga diri. Berani-beraninya hantu yang berubah menjadi manusia memperlakukannya dengan cara seenak jidatnya.
Raja hutan itu terus mendekat sambil mengaum. Kebetulan singa ini juga sedang sangat lapar. Dia tidak akan pergi sebelum mendapatkan mangsanya.
"Lah malah mendekat, gimana ini aduh aduh." Pak Po mulai panik. Ia mencoba menggunakan kekuatannya untuk melarikan diri tapi tetap saja tidak bisa. Kekuatan Pak Po benar-benar hilang. Ia jadi manusia biasa tulen sekarang. Hanya wajah tampan tapi bloonnya saja yang tetap dan sama sekali tak berubah.
Si singa sudah kehabisan kesabaran menghadapi Pak Po. Tidak ada jalan lain lagi kekaknya Hans itu, terpaksa Pak Po memilih panjat pohon sambil menunggu bantuan datang. Untungnya, semasa Pak Po hidup dulu, dia punya keahlian sebagai kukang alias kang manjat layaknya simpanse sehingga Pak Po pun bisa selamat dari kejaran Singa
Si singa mencoba ikut memanjat juga sambil mengeluarkan suara auman yang menakutkan. Tapi ternyata si raja hutan itu tak setangkas dan sejago Pak Po.
Tentu saja Singa marah karena ia tak bisa mengejar Pak Po naik ke atas pohon. Raja hutan itu hanya mondar mandir saja mengelilingi pohon sembari menunggu sampai kapan Pak Po bisa bertahan di atas pohon.
Merasa aman, Pak Po pun bersandar di salah satu dahan pohon sampai ketiduran. Bangun-bangun, hari sudah malam dan ia kaget karena hari sudah berganti dengan gelap.
Karena kaget, Pak Po pun terjatuh dari atas ketinggian dan ia pun mendarat dengan mulus di tanah. Untung saja singa yang tadi hendak memangsanya sudah tidak ada dan pergi entah ke mana.
"Auwhh ... apes apes, malah jatuh lagi. Haduh pinggangku, haduh, kayaknya tulangku patah ini. Aduh aduh ..." Pak Po merintih kesakitan. “Nggak enak banget jadi manusia ya.”
Saat menjadi hantu, anak buah Refald ini tak pernah takut pada apapun kecuali pada raja dan ratu demitnya. Tapi sekarang dia manusia. Dan Pak Po ada di tengah hutan belantara seorang diri, di tengah malam pula.
"Kakekkk!" Seru Hans yang akhirnya datang dari atas langit-langit. Iapun mendarat di sisi kakeknya.
"Hans cucukuuuuhhuuuuhuuu … Aduh aduh sakit. Pingganggku encok ini Hans."
Senang karena cucunya datang, Pak Po pun merengek lagi. Ia mencoba bangun tapi tidak bisa.
"Kakek jangan bikin masalah lagi. Ngapain juga kakek tiduran di tengah hutan belantara begini. Kasur di rumahku kurang empuk apa?" Omel Hans.
"Tiduran apanya? Aku jatuh dari atas pohon itu. Lihat ini, tulangku patah." Pak Po mencoba berdiri tapi tidak bisa.
“Masa sih?” Hans memeriksa luka kakeknya dan memang kelihatannya serius. "Wuah Kek, ini parah. 5 tulang kakek patah. Tulang leher retak. Untung kakek mantan hantu. Coba kalau manusia biasa, mungkin kakek takkan bisa buka mata lagi."
“Tunggu apalagi? Sembuhkan aku sekarang? Aduh aduh … gini amat jadi manusia, ya? Inilah kenapa aku menolak waktu itu. Kenapa rekan-rekanku malah suka sekali memilih jadi manusia. Aduh aduh.” Pak Po terus saja merintih kesakitan.
“Kakek jangan mengeluh terus. Aku tidak bisa mengobati Kakek di sini. Kita harus pulang dulu. Lagian ngapain juga kakek panjat pohon segala? Mau tutorial jadi Kingkong?”
“Tutorial kepalamu peyang? Kakekmu ini hampir saja diterkam singa. Untung aku jago manjat, jika tidak, mungkin yang kau temukan hanya pakaianku yang sobek-sobek ini.”
Hans geleng-geleng kepala melihat tingkah kakeknya yang konyol ini. Ia hendak menggendong kakeknya dan mengobati lukanya di rumah. Namun, sebuah auman membuat Hans langsung waspada.
5 meter dari tempat Hans dan pak Po berada, muncullah raja singa yang tadi mengincar Pak Po. Singa itu mendekat dan siap menyerang dengan cara melompat untuk menerkam Hans yang duduk di samping Pak Po.
“Nah kan, baru juga diomongin, si kucing itu malah nongol!”
“Itu bukan kucing Kek, itu Singa.”
“Tetap saja bagiku itu kucing.” Pak Po ngotot.
Dengan sikap tenang, Hans hanya menatap tajam mata singa itu dan sebelum di Singa tersebut menerkam kepala Hans, mendadak mata singa itu berubah coklat saat menatap Hans. Secara tak terduga, mata singa itu tak lagi memerah seperti sebelumnya. Singa itupun langsung jinak dan menunduk pada Hans. Bahkan tingkahnya seperti sedang memberi hormat pada Hans.
“Pergilah, jangan memangsa manusia lagi. Lindungi dirimu dari serangan manusia dengan tinggal di pedalaman hutan yang tak pernah dijamah tangan manusia. Jika aku melihatmu berkeliaran di sini dan mengancam nyawa manusia, aku sendiri yang akan menghabisimu,” ujar Hans dan ajaibnya singa itu menurut.
Si singa menundukkan kepala dan langsung balik badan pergi begitu saja meninggalkan Pak Po dan Hans. Tak ada auman menakutkan seperti yang terdengar sebelumnya. Raja hutan itupun langsung menghilang di balik semak-semak belukar.
“Hans, kau bisa berbicara dengan Binatang?” tanya Pak Po takjub, ia juga baru tahu kalau cucunya bisa menjinakkan Binatang.
“Bukankah Paman Dewa juga bisa, Kek? Ibu juga bisa. Tentu saja aku bisa. Ayo Kek, naik ke punggungku?”
“Wuah, kau hebat. Kau adalah raja hutan yang sesungguhnya.”
“Ayo Kek, mau sampai kapan tiduran di situ?”
“Gimana caranya aku naik, tubuhku ini sama sekali tidak bisa digerakkan. Kau bilang kan tulangku banyak yang patah.”
“Ck, Kakek ini merepotkan sekali. Kalau tahu begini lebih baik kakek jadi pocong oneng saja selamanya. Menyebalkan sekali.” Hans terpaksa menggendong kakeknya di depan seperti ia menggendong Rosela.
Hans melayang di udara sambil mengamati keadaan sekitar hutan yang luasnya tak terhingga menuju ke kediamannya. Sesampainya di rumah, ia dikagetkan dengan para pasukan demit yang menjadi manusia, tubuh mereka penuh dengan perban. Ada yang di kepala, lengan, dan bahkan kaki mereka. Yang mirip mumi pun juga ada. Di tambah muka mereka semuanya gosong. Entah apa yang sedang terjadi di rumah mewahnya Hans.
Keadaan rumah sangat berantakan. Hans sangat frustasi melihat semua ini. hanya Rosela yang tenang dan telaten mengobati luka-luka para pasukan demit ini.
“Apa yang kalian lakukan di rumahku?” tandas Hans meletakan kakeknya begitu saja di kursi sehingga Pak Po mengerang kesakitan karena dibanting gitu aja.
“Kami … tidak melakukan apa-apa Tuan muda. Sungguh,” jawab Mas Gen agak-agak takut Hans murka.
“Kalau tidak melakukan apa-apa, kenapa rumahku jadi hancur berantakan begini? Tidakkah kalian duduk dan diam saja di rumah ini? Jangan bergerak sedikitpun! Terus itu? Kenapa kompor itu bisa meledak, ha?” wajah Hans memerah karena marah.
“Hans, bisa nggak obati aku dulu. Marahnya nanti saja, aku sangat kesakitan,” pinta Pak Po dengan wajah melas. Tapi Hans malah cuek bebek.
BERSAMBUNG
***