"Patah hati yang menyakitkan itu, ketika kita menunggu ketidakpastian."
(Sinta Putri Adam)
---------------------------------------------------------------------------
Tidak ada cinta. Namun, anehnya ku sematkan dia di setiap doa ku.
Lucu bukan? tapi itulah kenyataannya.
Enam tahun, ku jaga hati untuk dia yang dulu datang dengan janji manis. Memberikan sepucuk surat cinta dan cincin sebagai tanda ikatan. Hingga hari, di mana berjalan dengan cepat, kami bertemu. Namun, enam jam aku menunggu seperti orang bodoh, dia tidak datang. Jika sudah begini kemana harapan itu pergi. Aku kecewa, sakit, dan merasa bodoh.
"Aku membenci mu Muhamad Farel Al-hakim."
"Aku membencimu."
Ikutin kisahnya yuk hu...
IG: Rahma Qolayuby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Melihat hantu
"Abi, umi mendengar beberapa perawat membicarakan dokter Sinta."
"Membicarakan apa, umi? Jangan menguping orang lain, pamali."
Farel menajamkan pendengarannya tatkala orang tuanya membicarakan Sinta. Farel penasaran apa yang di bicarakan orang lain tentang Sinta.
"Dokter Sinta katanya sedang dekat dengan seseorang."
Deg!
Farel mengepalkan tangannya kuat dengan rahang mengeras. Hatinya berdenyut nyeri mendengar Sinta dekat dengan orang lain. Farel merasa tak berdaya dengan keadaan nya seperti ini. Bagaimana bisa ia memiliki Sinta sedang dirinya cacat. Tapi, mendengar Sinta bersama orang lain hati Farel tak rela.
Pantas saja dia bersikap dingin. Apa dia sudah melupakan ku. Dia milikku, hanya milikku.
Batin Farel tak terima. Jika Sinta harus bersandar dengan orang lain. Tapi, apa yang harus Farel lakukan. Bicara saja dengan Sinta Farel tak bisa. Farel terlalu malu untuk memulainya. Apa kah Sinta masih mau dengan dirinya yang cacat. Kenapa harus seperti ini.
"Pelan-pelan bicaranya, umi. Nanti Farel mendengar."
Tegur Abi Zaenal tak ingin putranya semakin terpuruk. Walau bagaimanapun, Abi Zaenal tahu perasaan putranya.
"Ini juga sudah pelan, bi. Farel kan tidur, jadi aman."
"Iya, tapi jangan keras-keras juga."
"Andai Farel mau di rawat dengan baik. Kemungkinan kakinya bisa sembuh. Dan, dia bisa melanjutkan lamarannya. Umi mau Sinta jadi mantu umi."
"Tapi kan tergantung Farel, mi. Lihatlah, sampai saat ini dia sulit di rawat."
"Kalau begitu terus, bisa-bisa Sinta di ambil orang."
Semakin kesini, omongan kedua orang tua Farel membuat Farel semakin sakit hati. Farel benar-benar tak terima dan tak rela. Sinta tak boleh bersama siapapun selain dirinya.
Farel mencengkram selimut erat meluapkan sakit hatinya.
"Kenapa kaki ku harus lumpuh."
Jerit batin Farel benar-benar sakit. Melihat sikap dingin Sinta saja membuat Farel sudah tak karuan. Apalagi jika Sinta benar-benar bersama orang lain.
Itu tak boleh terjadi.
...
Sebelum berangkat ke rumah sakit bunda Husna. Sinta pergi dulu ke rumah sakit lamanya untuk mengambil buku catatan medis yang tertinggal. Walau Sinta sangat ahli dalam hal medis Sinta masih membutuhkan buku catatan itu.
Sesampai nya di sana, Sarah menyambut kedatangan Sinta.
"Aku kangen banget sama kamu, Sin."
Sarah memeluk Sinta erat. Tak ada Sinta membuat Sarah merasa kesepian.
"Sama."
"Gitu aja jawabnya?"
"Terus, harus bilang apa?"
Sarah menggelengkan kepala sudah biasa dengan karakter Sinta. Sarah menggandeng lengan Sinta masuk ke dalam.
"Kamu gak bilang jika pasien yang kamu rawat Kak Farel?"
Tiba-tiba Sarah teringat akan sesuatu. Jadi Sarah menanyakan hal itu.
"Maaf, aku pun baru tahu pas waktu mau memeriksanya."
"Beruntung banget kamu bisa di pilih menggantikan dokter Marsel merawat kak Farel."
"Tunggu. Kok, kamu seakan tahu apa yang terjadi dengan pasien?!"
Bingung Sinta menghentikan langkahnya. Menatap Sarah dalam. Sinta seolah ada yang aneh di sini.
"Ih, kamu lupa. Waktu itu aku mau ngasih tahu kamu. Jika kak Farel mengalami kecelakaan. Tapi, keburu kita di panggil pas waktu ada kejadian kecelakaan beruntun. Kamu yang mengambil alih operasi korban yang mukanya banyak kaca."
"Aku juga tahu dari dokter Rafael, karena dia yang pertama menanganinya. Tapi, dokter Rafael tidak sanggup lalu di gantikan oleh dokter Marsel."
Sinta terdiam memutar ingatan pada kejadian itu. Sinta ingat jika Sarah memang bertanya tentang Farel. Namun, waktu itu Sinta enggan membahas karena hatinya masih sakit.
Andai, Sinta tahu lebih awal mungkin Sinta tak akan membiarkan hatinya membenci. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Sinta tak bisa berkata apa-apa lagi. Semua sudah jalan nya begitu. Dan, Sinta pun tak bisa berbuat apapun. Yang penting, kini Sinta tahu kenapa Farel tak datang waktu itu. Walau Sinta harus menahan rasa sakit setiap kali melihat Farel menangis.
Ya, Sinta tahu. Farel selalu menangis dalam kesendirian. Merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Itulah kenapa Sinta selalu bersikap dingin. Sinta tak mau ia terlihat lemah. Bahkan Sinta juga bersikap ketus, hanya ingin Farel kembali semangat menjalani pengobatannya.
Plak!
Sinta melotot terkejut karena Sarah memukul lengannya.
"Maaf, habis kamu diam saja. Aku cape ngomong sendiri."
"Maaf-maaf. Aku sedikit banyak pikiran."
Alibi Sinta jadi tak enak hati.
"Lupakan, sekarang bagaimana keadaan kak Farel?"
"Alhamdulillah, keadaan jauh lebih baik dari sebelumnya."
"Kamu memang yang terhebat. Pantas saja kamu selalu jadi mahasiswa kesayangan dokter Marsel."
"Gak gitu juga kali."
Mereka kembali melanjutkan langkahnya sambil terus berbincang. Sampai di ruangan Sinta dulu.
"Dokter Rafael juga kan bekerja di rumah sakit bunda Husna. Apa kamu sudah bertemu?"
"Benarkah. Tidak. Aku baru tahu."
"Ya ampun. Masa kamu gak ketemu dokter Rafael sih. Perasaan kalian bekerja di rumah sakit yang sama."
"Beneran. Bahkan aku baru tahu jika dokter Rafael bekerja di sana dari kamu barusan."
"Ketemu."
Sinta tersenyum cerah tatkala menemukan catatan bukunya. Buku yang terlihat sudah usang namun banyak ilmu di dalamnya.
"Aku harus pergi, sampai ketemu di lain waktu. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Eh, tunggu, Sin--"
"Aku buru-buru."
"Huh. Padahal aku mau bilang, jika dokter Rafael nitip salam dan minta nomor kamu."
Keluh Sarah jadi bingung sendiri. Kenapa juga bisa lupa. Harusnya Sarah menyampaikannya dari awal. Sarah terlalu asik menanyakan kabar tentang Farel. Sarah memang mengidolakan Farel. Mahasiswa terpopuler yang di juluki dad boy. Namun, bukan hanya itu saja yang membuat Farel populer. Farel mahasiswa cerdas dengan nilai tertinggi. Dan juga anak basket. Saking populernya sampai-sampai nama Farel terkenal di fakultas kedokteran. Padahal, gedung mereka jauh.
"Jika begini aku yang bingung sendiri, sial."
Sarah benar-benar merutuki kebodohannya. Jadi bingung sendiri. Pasalnya Sinta melarang Sarah memberikan nomornya pada siapapun tanpa seizin dari Sinta. Sarah tak mau kena amuk. Karena pernah satu kali Sarah memberikan nomor Sinta pada anak hukum. Tahu-tahu nya Sinta mendiamkan Sarah selama dua Minggu.
Sinta memang tertutup, bahkan tak memberikan celah bagi siapapun untuk dekat dengannya. Bukan Sinta tak mau, tapi Sinta sudah terikat di masa lalu. Menjaga hatinya hanya untuk Farel seorang. Namun, takdir menguji hati mereka berdua hingga berada di situasi yang sulit.
"Bilang apa aku pada dokter Rafael. Apa aku harus berbohong lagi."
Dret!
"Astaghfirullah. Baru saja memikirkan cara berbohong. Dokter Rafael malah menelepon."
Keluh Sarah bulak balik bak setrikaan. Bingung antara mengangkat atau membiarkannya saja. Kenapa jadi Sarah yang kewalahan. Sarah memang bukan tipikal orang yang mudah berbohong. Jika Sarah berbohong akan ketahuan.
"Apa yang harus ku lakukan. Biarkan saja."
Sarah bicara sendiri dengan kebingungannya. Berlari seolah menghindar dari seseorang. Membiarkan ponselnya terus berdering.
Para perawat merasa heran melihat tingkah dokter Sarah yang terlihat ketakutan seolah melihat hantu.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih